Share

Chapter 4 Bantuan Darurat

“Kate, apa yang terjadi?”

Samar-samar, ia mendengar suara Carl yang terus memanggilnya. Tapi, ia tak punya tenaga untuk menanggapi. Matanya terpejam rapat, satu tangannya yang lain meremas selimut semakin erat.

“Sakiiit ...”

Keringat dingin mulai mengucur, perutnya semakin tegang. Tak lama kemudian, Kate merasa kepalanya bersandar, sebuah tangan besar mengusap lembut perutnya.

“Ssst, tenanglah. Sudah, ya. Jangan marah lagi. Sstt...”

Kate menarik napas panjang-panjang. Beberapa detik kemudian, kram perutnya mereda, kepalanya yang pusing juga menjadi lebih ringan. Perlahan, ia membuka mata. Carl memeluknya, kepalanya bersandar di dada pria itu. Kram perutnya menghilang, Kate merasa tubuhnya kembali normal dan tak kesakitan.

Ia hanya diam, membiarkan Carl menenangkannya. Pikirannya membenci fakta jika sentuhan Carl berpengaruh besar padanya. Ia ingin menyangkal sekeras mungkin, tapi, tubuhnya tak mampu berbohong. Perlahan, wanita berambut cokelat itu menjauhkan dirinya dari dekapan Carl.

“Kau merasa sudah baikan?”

Kate hanya mengangguk singkat. Sepertinya benar apa yang dikatakan dokter tadi. Ia perlu setidaknya tinggal semalam di rumah sakit sampai kondisinya lebih stabil. Carl membantu Kate merebahkan diri.

“Aku mengantuk.”

“Tidurlah.”

Merasa tubuhnya lebih baik dan ringan, Kate memejamkan matanya. Merasakan ketenangan yang membawanya lebih mudah ke alam mimpi. Sejenak, ia melupakan semua masalah.

***

Hal pertama yang membuatnya terbangun adalah rasa mual yang semakin kencang ia rasakan. Kate buru-buru bangkit dari posisinya. Ia segera turun dari brankar dan dengan berisik menarik infus bersamanya. Carl yang terbangun segera menyusul Kate ke kamar mandi. Menit-menit berlalu hingga wanita itu kehabisan tenaga karena terus muntah.

Perlahan, Kate bangkit dan membersihkan mulutnya di wastafel. Meski tubuhnya lemah dan hampir roboh usai muntah cukup lama, ia dapat berdiri tegak karena Carl menahan tubuhnya. Pria itu menggamit pinggang Kate, mempertahankan posisi berdiri dengan baik selama Kate menggosok gigi dan mencuci wajahnya.

“Aku bisa sendiri,” lirih Kate saat berusaha melepaskan tangan Carl darinya.

Sementara Carl tak menjawab, pria itu terus siaga di samping Kate. Baru satu langkah maju, wanita itu hampir terjatuh. Carl dengan mudah langsung menggendongnya, membawanya kembali ke brankar.

“Tubuhmu masih lemah.”

Kate kecewa dengan dirinya sendiri. Ia tak pernah merasa selemah itu sampai saat ini. Duduk bersandar di kepala ranjang, Kate mengumpulkan sisa tenaga yang dimilikinya.

“Sejak kapan kau sering muntah?”

“Belum ada seminggu. Tiap pagi, aku selalu seperti ini.”

“Kau memang harus dirawat dulu sementara.”

“Aku ingin cepat pulang. Tidak nyaman tinggal di rumah sakit.”

“Tentu, kita akan pulang setelah dokter memperbolehkanmu pulang.”

“Apa maksudmu dengan kita? Aku bisa pulang sendiri.”

“Dengan kondisimu yang seperti ini, aku tak akan membiarkanmu tinggal sendiri.”

“Aku juga punya tempat tinggal sendiri, Carl.”

“Kita pulang ke apartemenmu lagi setelah ini.”

“Aku juga punya apartemen baru.”

“Apa?”

“Kau tak akan tahu. Tapi, aku sudah pindah ke tempat baru.”

“Pulang ke mana pun tak masalah, yang jelas kita tetap tinggal bersama.”

“Jangan mencoba mengaturku.”

“Ini pengaturan yang tepat.”

“Sejak kapan kau suka mengatur? Tugasmu hanya menjagaku, bodyguard yang baik seperti itu.”

“Aku bukan bodyguardmu lagi. Tapi, calon suamimu. Mengertilah, Kate.”

“Mengerti apa lagi? Calon suami yang bahkan aku saja tak merasa mengenal? Aku saja tak tahu bagaimana mendeskripsikanmu, apakah bodyguardku atau putra keluarga Spentwood? Aku sama sekali tak mengenal ayah dari bayiku. Luar biasa.”

“Kate, dengarkan aku. Akan kujelaskan semua saat kita pulang. Saat ini, kau harus fokus memulihkan diri. Jangan sampai kejadian tadi malam berulang hingga kau kesakitan.”

Mau tak mau, Kate harus menyetujui pendapat Carl dalam hal ini. Ia harus segera pulih dan cukup kuat untuk mengusir pria di depannya itu. Kate, mengubah pemikirannya. Ia harus banyak istirahat agar segera pulih.

***

Wanita berambut pirang itu melangkah dengan cepat menuju ruang rawat inap sahabatnya. Sayang, seperti hari sebelumnya, ia hanya bisa menelan kekecewaannya karena saat datang, Kate tengah tertidur pulas.

“Aku ingin bicara denganmu, Carl.”

Dengan nada tegas, Elena yang sedang menatap lembut wajah tidur Kate, berbicara pada Carl. Pria itu mengikuti Elena keluar dari ruangan.

“Ada apa, Nona ....”

“Tak perlu memanggilku nona. Kau sudah bukan bodyguard untuk Kate lagi. Oh, ya, pewaris keluarga Spentwood ya?”

“Maafkan aku, tak memberitahu kalian dari awal.”

“Kukira kita sahabat, Carl. Aku memintamu menjaga Kate dari musuh-musuhku, yang mengincar posisiku di perusahaan. Aku juga senang kalian menjadi dekat. Tapi, apa yang kau lakukan sebulan terakhir?”

“Ada hal lain yang harus kulakukan dan itu membuatku harus kembali ke kehidupanku yang sebenarnya.”

“Aku tak mau memperpanjang protes padamu lagi. Hanya saja, aku marah saat melihatmu mempermainkan Kate, apa lagi, seperti yang kau dan aku baru tahu, dia mengandung. Kuduga itu bayimu, kan? Apa yang akan kau lakukan setelah ini?”

“Kate memintaku pergi, ia ingin membesarkan bayi kami sendiri. Tentu saja, aku tak akan membiarkannya.”

“Entah aku harus percaya atau tidak dengan perkataanmu, tapi, satu hal yang harus kau tahu. Aku, sahabat Kate, tak akan membiarkan dia menderita lagi karenamu, Carl. Ingat itu.”

Carl mengangguk dengan tenang sebagai respons dari kalimat Elena. Wanita yang merupakan istri dari bosnya dulu tak diragukan lagi adalah sahabat terbaik bagi Kate. Kini, Carl melihat sendiri, itu semua bukan isapan jempol belaka. Elena melangkah menjauhi Carl sebelum berbalik lagi.

“Oh, ya, tak ada yang lebih buruk dari pada tidak mengetahui apa pun tentang kehidupan orang terdekat. Sayang, Kate harus mengalaminya.”

Setelah mengucapkan kalimatnya, Elena bergegas pergi. Meninggalkan Carl yang mengerutkan kening saat memasuki kembali ruang rawat inap.

***

“Elena tadi kemari. Saat kau sedang tidur.”

“Benarkah? Sejak kemarin dia menjengukku di saat aku tertidur. Sangat disayangkan.”

“Kau bisa menemuinya setelah ini kalau mau.”

“Kenapa begitu?”

“Sore ini, kau boleh pulang. Aku akan mengantarmu ....”

“Syukurlah. Aku akan segera pulang ke rumahku sendiri. Tanpamu tentunya.”

Carl menahan diri sekuat tenaga untuk tidak memulai perdebatan. Tak mudah menghadapi Kate versi keras kepala. Ia hanya mengamati Kate yang sedang berbicara dengan Elena via telepon.

***

“Aku sudah menyimpan nomorku di ponselmu saat kau tidur. Hubungi aku kapanpun.”

“Lagi-lagi, kau bersikap seenaknya. Aku lebih suka sikapmu yang dulu. Inikah Carlos Rionard Spentwood yang sebenarnya?”

Sindiran Kate tak lagi mempengaruhi pria bermata abu gelap itu. Ia sudah mulai terbiasa dengan ketajaman lidah wanita cantik di depannya ini. Carl punya cara sendiri untuk menghadapi Kate.

“Aku tidak berbohong saat mengatakan namaku adalah Carlos Rionard.”

“Dan meninggalkan marga Spentwoodmu dengan sengaja. Siapa yang tak tahu marga itu di seantero Inggris ini?”

Carl menikmati momen menatap Kate lebih lama. Entah kenapa wanita berkaca mata itu bertambah cantik saat marah. Menyadari reaksi Carl yang tampak tenang dan tak terpengaruh kalimatnya, Kate memutuskan segera mengakhiri pertemuan ini.

“Selamat tinggal, Carl.”

Kate tak menunggu jawaban Carl atas salamnya dan langsung masuk ke taxi. Carl langsung berjalan ke arah mobil di belakang taxi yang baru saja berjalan.

“Ikuti taxi itu!”

***

Kate tiba di depan gedung apartemen barunya. Ia baru turun dari taxi dan berjalan santai memasuki gedung. Mendadak, langkahnya terhenti saat pantulan dinding kaca bangunan itu memperlihatkan seseorang berjaket hitam dan menggunakan topi warna senada mengamatinya dari balik pilar. Pria itu lalu berjalan ke arah Kate yang segera masuk ke area lobi.

Sengaja menghentikan langkahnya sejenak, seraya mengangkat ponselnya, seolah sedang memainkan sosial medianya, Kate melihat pria itu juga berhenti dan masih mengamatinya. Ia buru-buru menurunkan ponselnya lalu segera berjalan ke koridor yang menuju ke lift. Pria misterius itu terus membuntutinya.

Begitu memasuki lift, Kate segera memencet tombol ke lantai apartemennya dan segera menutup pintu liftnya. Perlahan, pintu lift menutup. Belum sampai tertutup sempurna, sebuah tangan masuk dan menghalangi tertutupnya pintu lift. Kate menahan napas saat melihat pria yang menguntitnya ikut masuk ke dalam lift. Di belakangnya, masuk seorang pria dan wanita muda.

Karena pintu yang tertahan tetap terbuka cukup lama, Kate segera keluar lagi dari lift sebelum pintunya tertutup sempurna. Jantung Kate terasa akan jatuh saat melirik ke belakang, pria bertopi dan bermasker hitam itu juga mengikutinya keluar dari lift. Tak ada yang bisa Kate pikirkan selain menuju lobi yang cukup ramai saat itu.

Ia berusaha tetap berjalan dengan tenang seraya waspada sambil mencari kontak di ponselnya. Urung saat menatap nama Elena, ia beralih mencari nama lain. Setelah terdiam dua – tiga detik, jarinya menyentuh tombol panggil. Panggilan langsung tersambung.

“Tolong aku. Ada yang mengikutiku.”

“Aku sudah dekat. Tenanglah.”

Kate mengerutkan kening saat pria yang diteleponnya itu langsung menutup panggilan begitu saja. Ia kembali melirik ke arah pria bertopi yang saat ini duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.

Jantungnya terasa hampir berhenti saat melihat pria serba hitam itu berdiri dan berbalik untuk menatapnya. Dengan sigap, Kate mengalihkan pandangan ke tempat lain. Ia terus berdoa dalam hati. Hingga terdistraksi oleh orang-orang yang menatap ke satu arah. Seorang pria tampan dan tinggi dengan pakaian serba mewah berjalan cepat ke arahnya. Kate masih mendengar suara orang-orang di lobi itu.

“Wah, tampan sekali dia. Apa dia juga penghuni apartemen ini?”

Sedangkan yang lain berkomentar, “Aku baru tahu ada pria sesempurna itu tinggal di apartemen yang sama dengan kita.”

Pria yang menjadi bahan pembicaraan banyak orang itu kini berdiri tepat di hadapannya lalu dengan santai menggamit pinggangnya.

“Apa yang terjadi?” bisiknya dengan senyum lebar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status