Share

Aku tidak mendapatkan nomor ponselmu?

Lizzie paling malas pergi ke kelas psikologi kriminal. Setiap sesinya terasa begitu lama. Tapi jika tidak mengikutinya Lizzie akan kena masalah. Padahal kelas itu tidak ada hubungannya dengan jurusan seni yang diambil. Hanya buang waktu, uang, dan juga menimbulkan stress tambahan. Tapi yang paling buruk dari itu semua adalah Levin dan Marie ada disana.

Tiba di kelas dia melihat sekeliling dengan putus asa, beberapa tempat sudah terisi apalagi bagian depannya. Mungkin gara-gara gosip ada pembicara untuk kelas kali ini, Lizzie merasa kelasnya padat dan sesak. “Oh sial … apa aku harus duduk dilantai sekarang? kenapa pula tiba-tiba orang-orang tertarik pada kelas psikologi kriminal?” Lizzie mengerang mengedarkan pandangan mencari kursi kosong mana saja yang bisa dia tempati.

“Lizzie!”

Oh, tidak jangan! Lizzie tidak suka itu, ekspresi mukanya langsung meringis begitu Marie melambaikan tangan padanya.

“Aku sudah menempati kursimu. Ayo kemari!” ujarnya lagi yang membuat Lizzie tidak punya pilihan selain mendekat. Senyuman gadis itu terlalu menawan, membuat Lizzie tidak sanggup menolak ketulusannya yang murni. Alhasil Lizzie berakhir duduk disebelah Levin. Memang tidak nyaman tapi sepertinya Lizzie perlu pembiasaan diri.

“Kau sudah lihat pesanku kan? sepertinya gosip itu benar. Kelas ini jadi sesak dengan para mahasiswi,” kata Marie.

“Ya,” sahut Lizzie acuh tak acuh. Dia melirik ke arah Levin yang membuat wajah setengah bosan. “Hei, apa kau membuat ekspresi kuda sejak datang di kelas?”

“Ya, dia memang begitu sejak awal,” jawab Marie yang langsung cepat menanggapi pertanyaan Lizzie untuk kekasihnya sambil terkekeh. “Dia tidak mau ikut kelas ini, tapi aku memaksa karena aku pikir justru ini akan bermanfaat baginya. Apalagi dari yang kudengar mereka mengundang pengacara kondang sebagai pembicara hari ini. Waktu aku berkunjung kerumah ayahmu bilang kau ingin jadi pengacara, ‘kan?”

“Seharusnya kau tidak terlalu mendengarkan omongan orang itu,” kata Levin menjawab kekasihnya sambil menguap. “Masih terlalu dini untuk membicarakan omong kosong itu.”

“Dasar berandalan durhaka,” ujar Lizzie ceplas ceplos seperti biasa, hal itu cukup menarik perhatian si pemuda kepadanya. “Lagipula aku benar-benar penasaran bagaimana bisa kalian yang bertolak belakang ini bisa berakhir bersama?”

Levin menatap Lizzie ketika pertanyaan itu terujar begitu saja dari bibirnya. Lizzie kurang lebih tahu apa yang dipikirkan oleh si pemuda disebelahnya. Kira-kira seperti ‘Kalau aku memang seberandalan itu, kenapa kau mau tidur denganku?’. Tapi Lizzie tidak ambil pusing.

Meski sekadar ceplas ceplos, tapi Lizzie serius dengan perkataannya. Marie adalah gadis yang baik. Dia berasal dari keluarga yang bersih dan cemara jika boleh dibilang. Marie memang bukan tipikal mahasiswi yang masuk jajaran terpintar se-universitas, tapi semua orang menyukainya. Lizzie pernah dengar bahwa alasan dia mengambil jurusan psikologi karena ingin menjadi seorang konselor dan membantu memecahkan permasalah semua orang dengan kontribusinya.

Sejauh yang Lizzie tahu, Marie tinggal bersama dengan Levin. Bajingan tampan tapi sudah Lizzie cap sebagai si muka kuda yang bercita-cita menjadi pengacara. Herannya, dia tidak mau mengakui hal itu didepan kekasihnya tapi di depan Lizzie jelas-jelas Levin menyatakan keras-keras soal impiannya itu. Obrolan yang mengalir begitu saja setelah mereka tidur bersama. Ya, Lizzie tahu bahwa dia tidak pantas duduk disebelah Marie, saat dia sudah mencicipi kekasihnya diatas ranjang. Tapi satu hal yang pasti, Levin tidak cukup baik untuk Marie, semua orang mungkin sudah tahu itu.

“Karena dia mempesona,” kata Marie setelah jeda lama dengan wajahnya yang merona merah. Gadis itu menggigit bibir bawahnya malu-malu sambil melirik wajah kekasihnya. Levin langsung bereaksi menggaruk rambutnya yang berantakan sambil melirik kearah lain.

Pemandangan itu agak … entahlah bisa dibilang merusak suasana hati? Lizzie memutar bola matanya, mengeluarkan pena dan kertas sesaat setelah sang Professor menempati posisinya di depan. Samar dia mendengar wanita itu bilang tentang pembicara yang akan mengisi kelasnya. Seseorang yang katanya adalah teman dia dibangku kuliah. Basa basi yang tidak menarik dan bisa dibilang sangat membosankan bagi Lizzie.

“Jadi tolong arahkan perhatianmu pada Pak Daxon—”

Lizzie membeku, mendengar nama itu. Sedikit demi sedikit dia mendongak dan matanya langsung melebar ke arah pria yang ada didepan sana. Daxon benar-benar definisi dari pria paling menggiurkan, mulai dari ujung rambutnya yang di semir rapi hingag ujung sepatu kulitnya yang mengkilap. Bagaimana bisa pria itu berdiri dikelasnya sebagai pembicara pula? Lizzie menatap pria itu, mulutnya ternganga. Ini tidak mungkin. Sama sekali tidak bisa dia percaya. Daxon seharusnya hanya pria yang lewat di mimpinya, persis seperti yang dia katakan pada pria itu pagi ini.

Panas merekah di dalam perutnya, rasa melilit yang menyebalkan langsung membuat dia mual. Apalagi pagi ini dia sudah bersikap seperti seorang femme fatal, padahal kenyataannya Lizzie hanya seorang mahasiswi tanpa dukungan orangtua yang mencari uang secara instan.

“Seperti yang dikatakan oleh beliau, saya adalah seorang pengacara,” kata Daxon melipat kedua tangannya seraya bersandar di meja. Pembawaan pria itu agak berbeda dengan yang Lizzie ingat. “Jadi, ada yang bisa menjelaskan padaku tentang psikologi kriminal?”

“Yah, Pak,” Marie mengangkat tangannya, membuat pandangan Daxon terarah pada meja yang mereka tempati. Oh, sial. Lizzie tidak punya pilihan selain memalingkan muka, bersikap sealami mungkin ketika Marie bicara disebelahnya.

Tapi alih-alih bersikap natural Lizzie justru menenggelamkan kepalanya di atas meja sebelum kemudain menghantamkannya ke atas buku sketsanya. “Kenapa, jadi begini semesta? Kenapa kau melakukan ini kepadaku?” Dia menggeram dalam hati.

Dalam situasi itu Lizzie hanya mendengarkan Marie menjelaskan apa yang dia ketahui, saat itu Lizzie pikir Daxon mungkin tidak akan peduli sehingga dia kemudian mengarahkan pandangannya ke depan. Saat itulah, mata mereka bertemu. Lizzie tidak ingin berperasangka bahwa Daxon memang sejak awal menatapnya dan bukan pada Marie. Tapi dari gerak-gerik pria itu sepertinya dia sudah memata-mati. Wajah Lizzie langsung memucat, jantungnya berdegup lebih kencang. Bahkan disaat seperti itu, Lizzie bisa melihat bahwa pria itu malah tersenyum kepada dia.

Sialnya Lizzie kontan langsung tidak bisa fokus. Malah kelebatan bayangan yang terjadi diantara mereka semalam mulai berdatangan seperti sedang memutar film. Daxon yang membelikannya minuman, Daxon yang menyeret dia kerumahnya, Daxon yang dihisapnya, Daxon yang menyentuhnya seolah dia adalah barang paling berharga di dunia, Daxon pria yang menidurinya semalam hingga dia kewalahan. Wajah Lizzie langsung merah padam. Ini tidak bagus.

Singkatnya kelas berakhir jauh lebih lama daripada yang biasanya tapi setidaknya Lizzie cukup bernyali besar mengikuti kelas hingga usai. Semua orang mulai mengemasi barang mereka. “Sampai jumpa nanti, Lizzie sayang,” ujar Marie yang langsung beringsut dan bergegas keluar bersama kekasihnya Levin. Saat itulah, Lizzie tidak cukup mengantisipasi bahwa Daxon mendekat kearah mejanya.

Bayangkan saja dia berdiri dalam pakaian dalam lucu.

“Oke pakaian dalam,” kata Lizzie lebih kepada dirinya sendiri untuk menetralisir kegugupan. “Harus membayangkan dia dalam pakaian dalam.”

“Kalau kau kebetulan mencari sukarelawan untuk itu, aku rasa aku cukup senggang.”

“Apa?” pekik Lizzie, menatap kearah sumber suara. “Oh, Halo Pak Daxon.”

Pria itu tersenyum memamerkan gigi putihnya yang berkilau. “Kalau kau butuh bantuan untuk merealisasikan imajinasi semacam itu, aku dengan senang hati bersedia menjadi modelnya,” tuturnya lagi seolah tidak ingin menyerah dengan topik tersebut.

Wajah Lizzie langsung merah padam. “Oh, aku… uh …. tidak seharusnya kau mendengar hal itu. Aku hanya gugup, dan biasanya itu cukup berhasil untuk … kau tahu motivasi?”

Daxon tertawa lepas, saat itu terjadi Lizzie berharap dia betul-betul sudah mati.

“Ngomong-ngomong materi yang kau sampaikan sangat bagus, dan um … terima kasih,” tutur Lizzie lagi mencoba untuk menutupi seluruh rasa malunya dengan mengalihkan pembicaraan menjadi sesuatu yang lebih normal.

“Tentu saja, senang kalau kau menikmatinya,” kata Daxon. “Tapi apakah kau aslinya seperti ini? seingatku kau cukup berani saat kita berada di … kamarku?”

Lizzie memeluk tasnya lebih dekat, ingin segera kabur darisana. “Jika berkenan tolong jangan bahas hal itu disini, Pak.”

“Bapak? Masih segar dalam ingatanku kalau kau memanggil aku ‘Om tampan’ tapi sekarang kenapa tiba-tiba memanggilku Bapak? Kau sedikit menyakiti hatiku.” Lizzie mengedarkan pandangan, dia mendapati ada beberapa pasang mata yang melihat kearah mereka. Jika dia terus berada disini lebih lama orang-orang akan mulai membicarakan sesuatu yang menyebalkan dan membuat kupingnya panas.

“Aku tidak yakin apakah kau senggang, tapi ada kedai kopi di dekat gedung seni, kurasa kita bisa bicara di—”

“Pak Daxon!” teriak Levin berlari ke arahnya dengan senyum lebar. “Hai terima kasih sudah datang dan menjadi pembicara hari ini. Mata kuliah ini menjadi sedikit lebih menyenangkan daripada sebelumnya.”

Entah Lizzie harus bahagia atau bingung, tapi yang pasti ekspresinya sekarang pasti sekarang tidak enak dipandang. Keberadaan Levin disini sangat membingungkan. Tapi Lizzie berharap mereka tidak mengenal secara personal, mengingat Daxon tadi bahkan terus saja mengungkit soal malam panas mereka. Bisa gawat bila ada orang yang tahu soal itu, terlebih orang itu Levin.

“Begitukah senang sekali aku mendengarnya kalau begitu,” sahut Daxon santai. Saat mereka sedang asyik berbincang Levin mengalihkan pandangannya pada Lizzie.

“Oh? Kau masih disini Lizzie? Bukankah harusnya kau sudah ada di kelas seni sekarang?”

Lizzie mengeluarkan ponselnya dan melihat jam disana. Raut mukanya terkejut. “Kau benar, aku harus segera pergi.”

Dia langsung bergegas pergi, setidaknya Levin memberinya jalan untuk keluar. Lizzie berjanji akan membelikannya minuman nanti, walaupun kemunculannya agak aneh karena beberapa saat yang lalu Marie menyeret dia pula untuk keluar. Kenapa dia bisa ada disini lagi?

***

Lizzie kelur kelas dengan posisi kacau, dia terus terusan melakukan kesalahan dan bahkan berakhir merobek kertasnya berkali-kali karena tidak bisa berkonsentrasi. Untungnya professornya cukup bijaksana dan memberikan keringanan kepada Lizzie untuk mengumpulkan tugasnya dilain waktu. Mungkin Lizzie harus bersyukur karena lagi-lagi situasi memihak padanya sedikit. Setelah ini dia akan pergi ke kedai kopi hanya untuk sekadar memastikan Daxon ada disana. Jika tidak dia akan langsung menyibukan diri dengan tugasnya.

“Bisa aku minta caramel latte?” ujar Lizzie pada sang pramusaji.

“Tentu saja, aku akan siapkan secepatnya.”

“Terima kasih.”

Dia mengurus beberapa barangnya yang ada ditas selempangnya untuk sekadar merapikan dan mencari keberadaan dompetnya. Lizzie sempat melirik buku sketsanya tadi, terpikir baginya untuk mengerjakan sisa tugasnya disini. Tapi kemudian dia ketika dia melirik ke arah meja dimana Daxon sedang duduk dia agak gelisah dan goyah dan terkejut.

Lizzie menggigit bibirnya, alhasil begitu pesanannya selesai dibuat Lizzie malah mengambil kopinya dan berjalan mendekati Daxon tanpa sadar. Sebelum masuk kelas seni tadi dia memang sempat mengajak pria itu untuk minum kopi. Tapi tidak mungkin dia mengingatnya dan benar-benar ada disini menunggunya kan? Lagipula dia seorang pengacara yang sibuk. Sibuk dengan isi kepalanya tidak terasa dia sudah berada di meja pria itu. Daxon menautkan alisnya.

“Sepertinya kau terlambat.”

“Maksudnya?”

“Kau menyuruhku datang kemari kan beberapa saat lalu sebelum temanmu datang dan memotong pembicaraan kita berdua? sekarang aku sudah disini menunggumu selama kurang lebih dua jam,” kata Daxon sambil menyeruput kopi miliknya. “Untung saja aku tidak punya pekerjaan hari ini. Kalau ada tentu aku sudah tidak ada disini dan menunggumu.”

“Ah… maaf,” sahut Lizzie cepat, sambil memperlihatkan seberapa menyesalnya dia. Dia masih membawa buku sketsa di tangannya dan membungkuk meminta maaf pada Daxon. “Aku benar-benar mengalami hari yang aneh.”

“Karena apa?” suara Daxon terdengar menggoda tapi ekspresinya tidak begitu terbaca.

“Karena kau tiba-tiba saja muncul di kelasku sebagai pembicara. Ini seperti sesuatu—”

“Sarkasme, Lizzie,” potong Daxon cepat membuat Lizzie tersedak.

“Menarik sekali, kau memiliki wajah yang sama sepanjang waktu dikelas tapi sekarang kau terlihat lebih rileks.”

“Itu bagian dari pekerjaanku. Mengatur ekspresi wajah dimuka umum adalah hal dasar yang harus dikuasai.”

Lizzie mencondongkan tubuh ke depan dengan bertumpu pada sikunya. “Oh ya, kau seorang pengacara. Itu menjelaskan semuanya.”

“Pengamatan yang bagus. Jadi apa yang kau lakukan di kelas psikologi kriminal padahal statusmu adalah mahasiswi jurusan seni.”

“Itu syarat untuk lulus. Electives.”

Daxon meringis. “Ah, aku ingat omong kosong seperti itu di perguruan tinggi.”

“Oh ya ada yang seperti itu juga di universitas jadul?” Mata Daxon terangkat dan dia menatap wajah Lizzie lekat-lekat sementara gadis itu malah menyeringai seraya menyeruput kopinya.

“Agak kurang ajar ya sekarang,” desis Daxon balas menyeringai padanya. “Aku mau ambil kue, ada yang kau inginkan?”

“No thanks.”

Pria bertubuh tinggi itu bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke konter. Sementara Lizzie sibuk dengan pikirannya sendiri. Apa ini langkah yang benar? Bisa-bisanya dia bertemu dan mengobrol seperti kawan lama pada pria yang menjadi cinta satu malamnya semalam. Ini saja sudah melanggar aturan. Dia benar-benar merasa isi kepalanya mendadak konslet.

“Ini,” kata Daxon yang tiba-tiba sudah berada dimeja dengan sepiring besar penuh kue. “Aku bertanya pada pemuda disana apa yang biasa kau makan.”

Dia memandang beberapa potong cheese cake dipiring tersebut, mengerutkan alisnya. “Bukankah sudah aku katakan aku tidak ingin apa-apa.”

“Ya aku tahu,” jawab Daxon tenang. “Tapi aku juga bisa melakukan sesukaku, ‘kan?”

Melihat tampilan menggoda dari kue favoritnya, mau tidak mau akhirnya Lizzie menyerah dan memutuskan mengambil sepotong cheese cake untuk dia eksekusi. Sementara Daxon memakan kue rasa kopinya.

“Bagaimana dengan kelas senimu?”

“Sejauh ini baik,” sahut Lizzie singkat. “Tapi aku terkadang merasa bahwa aku melakukan kesalahan dan mengacau. Ya, hal-hal seperti itu.”

“Entahlah, tapi dari penilaianku kau terlihat sangat tertekan untuk sesuatu. Kau bisa dengar ini atau tidak tapi sesekali mengacau itu bukan masalah. Kau masih muda, jadi kau bisa melakukan banyak kesalahan dan memperbaikinya.”

Entah kenapa Lizzie hanya bisa terdiam mendengar sepotong nasehat dari pria itu. Sebenarnya Lizzie tidak terlalu suka membicarakan soal kelas seni-nya. Karena dia merasa muak dan tidak tahan dengan seluruh penolakan yang ayahnya berikan. Ini sulit dan membuatnya tertekan. Tapi disisi lain dia merasa terpenuhi. Pria asing ini rupanya berprofesi sebagai pengacara, dia cukup bijaksana dan tidak mengkritik jurusan yang diambilnya. Orang asing yang memberikannya dukungan bahkan lebih dari ayah kandungnya sendiri.

Lizzie sempat bergidik. Itu adalah pemikiran yang aneh, mengingat dia sudah meniduri pria itu. Gambaran-gambaran saat mereka bersama berkelebat dalam otak Lizzie. Bibir yang sama yang memberinya ciuman panas, lidahnya yang sempat menangkup dadanya. Tangan yang sama yang membelainya di … dimana-mana.

“Kurasa benar,” kata Lizzie seraya memalingkan muka keluar dari jendela. Sementara Daxon memandangnya dengan cermat.

“Tersenyumlah lebih banyak, wajahmu terlihat sangat cantik saat kau bahagia.”

Seketika Lizzie merasa pipinya menghangat oleh kata-kata sederhana pria itu. Dia menyeruput sisa kopinya dalam satu teguk dan kemudian bangkit dari posisinya. “Aku harus pergi,” ujar Lizzie. Dia tidak mau ambil resiko bertingkah aneh dan tidak masuk akal didepan pria itu. Lagipula dia pasti tahu alasannya karena dia mengetahui bagaimana segalanya bermula hingga tercipta relasi rumit ini.

“Aku tidak mendapatkan nomor ponselmu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status