Litara Diany melihat sebuah lampu gantung besar hampir jatuh saat baru saja selesai menghadiri acara reuni di pusat perbelenjaan. Di bawah lampu gantung tersebut terdapat anak kecil yang sedang berdiri dengan wajah murung.
‘Eh?’
Wanita berbaju hitam itu berlari cepat tanpa memikirkan hal lain.
/Hupp…/
/Pranggg…/
Dengan sigap perempuan itu menyelamatkan seorang anak laki-laki dari peristiwa yang hampir membahayakan nyawa. Semua heboh karena kejadian beberapa detik tersebut. Bocah kecil yang terkejut itu pun menangis.
“Huwaa… .”
Ia mencoba menenangkan bocah yang tampak kaget itu dengan membelai kepalanya. “Sshh shhh, tidak apa-apa, semua baik-baik aja.”
Teman-teman perempuan itu bermaksud mendekat, tapi terhalang oleh beberapa pengunjung mall yang sedang berkerumun. Pada saat yang sama seorang pria mendekat. “Alen kamu tidak apa-apa?”
Perempuan itu menoleh ke arah pria dewasa berkemeja hitam yang baru saja berbicara dengan ekspresi khawatir. Raut wajahnya tampak pucat karena terkejut dengan kejadian yang hampir membahayakan bocah itu.
Pandangan keduanya bertemu. "Terimakasih sudah menolong anak saya."
Ucapan pria itu pelan sekali sampai Lita sendiri merasa hampir tidak mendengar kalimat yang diucapkan olehnya.
Orang-orang mulai semakin berkerumun begitu juga pegawai toko dan para petugas keamanan yang tampak ingin mengetahui apa yang baru saja terjadi. Suasana menjadi sangat ramai dalam beberapa menit.
Seorang pria dengan jas abu-abu mendekat setelah memastikan cerita dari orang yang berkerumun. “Permisi, saya yang bertanggung jawab atas keamanan pusat perbelanjaan ini, saya ingin meminta keterangan terkait kejadian yang baru saja terjadi.”
“Baik.”
Saat akan bangkit, tangan bocah kecil itu memeluk Lita erat. “Mama, jangan pergi.”
Lita memandang bingung ke bocah yang sedang mengenggam erat bajunya. ‘Mama?’
“Putranya bisa dibawa, kami akan memeriksa apakah kalian perlu pengobatan atau tidak,” ucap pria yang mengaku sebagai penanggungjawab keamanan.
“Anu, saya– ”
“Mama… hikss,“ ucap bocah laki-laki itu dengan suara parau.
Perempuan berambut panjang itu mengalihkan pandangannya ke arah pria yang tadi mengaku sebagai ayahnya, tapi pria itu justru tampak sibuk membenarkan masker yang baru saja ia pakai.
“Sepertinya saya tidak bisa meninggalkan bocah ini disini,”
“Maafkan saya, terimakasih sudah membantu.”
Pria berjas abu yang menyebut dirinya sebagai penanggungjawab keamanan itu menatap Lita dan bocah tersebut dengan ekspresi bingung. “Ehmm, mari ikut saya… .”
Lita mengikuti pertugas itu dengan tenang, ia mengeluarkan ponselnya sebentar untuk memberitahu teman-temannya agar kembali lebih dulu.
“Kamu tidak apa-apa? Ada yang sakit?” tanya Lita kepada bocah yang masih menangis itu.
Bocah kecil itu menggeleng tapi matanya masih basah dengan air mata.
“Silakan duduk… ,” ucap pria berjas abu-abu.
Lita duduk dengan ekspresi tenang. Tanya jawab panjang lebar itu dilakukannya dengan lancar dalam waktu yang tidak begitu lama.
“Apa putra anda tidak apa-apa?”
“Saya bukan–“
“Ya, dia baik-baik saja, kalau begitu kami permisi dulu,” ucap pria yang belum diketahui namanya itu menyela ucapan Lita.
Perempuan bermata coklat itu terlihat kesal karena pembicaraannya dipotong, tapi ia tidak memiliki kesempatan untuk melakukan protes.
Dua orang dan satu bocah itu keluar dari ruang management mall sambil menenteng bingkisan yang disebut sebagai kompensasi atas kecelakaan yang hampir terjadi.
Lita bermaksud menurunkan bocah kecil itu, tapi tangan bocah itu masih menggenggam erat bajunya.
“Hikss… .”
“Maaf, apa anda bisa menjaganya sebentar? Sepertinya dia terlalu kaget,” ucap pria dengan masker hitam itu.
“Kenapa bukan anda yang menjaga dan menenangkannya? Anda kan ayahnya?” ucap Lita dengan ekspresi kesal.
“Mama jangan marah… , “ ucap bocah itu lirih.
Lita dan pria itu berpandangan dengan ekspresi bingung. “Saya akan menjaganya sampai ia tenang.”
“Terimakasih sudah mau mengerti, saya Ardan, maaf baru memperkenalkan diri.”
Lita diam, ia merasa kesal dengan situasi tersebut tapi tidak tega dengan bocah yang masih ada dalam dekapannya itu.
“Nama mu?” tanya Ardan setelah lama tidak mendapat jawaban. Ia memandangi antara putranya dan Lita dalam waktu yang cukup lama.
“Saya Lita.”
“Saya akan membalas dengan layak untuk kebaikan mu, Lita” ucap pria itu pelan.
“Tidak perlu,” jawab Lita dengan eskpresi datar.
Lita duduk di salah satu kursi setelah memastikan sekelilingnya aman dari lampu gantung maupun benda lainnya yang mungkin berbahaya.
“Kita duduk dulu ya? kaki saya sakit…,” ucap Lita kepada bocah itu dengan lembut. Ia sendiri tidak tahu kenapa bisa selembut itu kepada bocah yang baru dikenalnya beberapa saat.
Tatapan mata Ardan melirik sekilas ke pergelangan kaki Lita. “Kamu tunggu disini sebentar.”
“Anda tidak beralasan lalu kabur meninggalkan bocah ini kan?”
“Tidak kok, saya hanya akan membeli pembersih luka dan akan segera kembali, kaki mu terluka.”
Pria itu langsung melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Lita melihat sekilas ke arah pergelangan kakinya. ‘Pantas aja rasanya sakit.’
Perempuan berambut panjang itu memejamkan matanya sebentar, ia merasa malu karena tiba-tiba mengatakan kalimat yang menurutnya konyol.
Beberapa saat kemudian ia membuka matanya lalu mendapati bocah itu sedang melihat ke arahnya dengan mata basah.
“Maafkan saya, mama,” ucap bocah itu lirih.
“Hmm? kenapa minta maaf?” ucap Lita sambil tersenyum dan mengelus lembut kepala bocah itu, meski ia merasa aneh dipanggil dengan sebutan mama.
“Saya merepotkan mama… .”
Lita mencubit gemas pipi bocah itu. “Nama mu Alen kan?”
Bocah itu mengangguk sambil mengusap air matanya. Lita juga membantu bocah itu mengusap air matanya.
Ia merasa penasaran, tapi lidahnya terasa kaku untuk menanyakan alasan bocah itu memanggilnya mama. Ia tidak ingin anak kecil itu teringat hal yang menyedihkan.
‘Apa bocah ini sangat rindu mamanya hingga memanggil perempuan yang tidak dikenal seperti ku sebagai mama?’
Tidak lama kemudian pria bernama Ardan itu kembali dengan kantong plastik hitam berisi kapas, cairan pembersih luka dan antiseptik. Saat itu ia sudah tidak memakai maskernya.
Orang yang melihat wajah pria itu pasti langsung jatuh hati kepadanya. Pria bergaya rambut comma hair itu memiliki tatapan mata tegas tapi terlihat dingin. Ada tahi lalat di atas mata sebelah kiri. Kumis tipis membuatnya terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya. Meski begitu, ia tetap terlihat mempesona.
“Saya akan mengobati pergelangan kaki mu,” ucap Ardan pelan dengan sorot matanya yang dingin.
Ardan melepas flatshoes yang dipakai Lita perlahan. Ia dengan hati-hati mulai membersihkan luka tersebut, lalu dengan cepat membalutnya dengan plester luka.
“Terimakasih,” ucap Lita pelan. Untuk sejenak ia merasa terkesima dengan tindakan pria itu tapi ia segera menyadarkan dirinya.
‘Aku tidak boleh terlibat masalah dengan orang yang tidak ku kenal,’ gumam Lita dalam hati.
“Mama sakit?” tanya bocah itu dengan eskpresi sedih.
“Tidak kok, hanya sedikit pegal... ,” ucap Lita sekenanya,
Bocah itu kembali memeluk Lita dengan erat seolah takut sang ayah memisahkannya dari perempuan yang menolongnya itu.
“Jadi ini istri baru mu?” ucap seorang perempuan yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ardan.
*****
Hembusan angin sore itu membawa aroma hujan. Tidak lama setelah itu gerimis turun. Namun kedua orang itu tidak beranjak dari tempatnya duduk.Meski tidak terkena air hujan langsung, percikan air yang terbawa angin tetap mengenai keduanya. Udara yang semakin dingin itu mulai merasuk ke pori-pori kulit.Ardan memandang ke arah lain dengan ekspresi kosong. Ia kembali teringat percakapan putranya dan Lita beberapa saat yang lalu.Kenyataan bahwa Alen lebih ingin bersama Lita semakin membuatnya tersadar bahwa perannya sebagai ayah selama ini sangatlah buruk.Kalimat yang diucapkan oleh Alen menjadi lebih terasa menyakitkan karena ia sangat menyayangi putranya. Namun meski hatinya terluka, Ardan tetap menginginkan hal yang terbaik untuk putranya.Lita mengeratkan tangannya tanpa bisa menjawab perkataan Ardan. Ia hanya menatap wajah pria itu dengan ekspresi cemas.“Jangan memberitahu Alen dulu, aku akan berbicara dengannya di waktu yang sudah ditentukan. Kita lakukan seperti biasa sampai wak
Selama beberapa hari Lita terus memikirkan apa yang sudah dikatakan oleh Alen. Meski sikap Alen kembali seperti semula, perempuan itu masih merasa cemas.Ia masih belum mengatakan apa pun ke Ardan. Namun seminggu setelah liburan itu Lita akhirnya mulai memikirkan niatnya untuk berhenti bekerja supaya fokus mengurus Alen saja.Tentu saja ia masih perlu menyelesaikan pekerjaan yang ada dan membuat keadaan stabil lebih dulu. Ia tidak bisa begitu saja meninggalkan tanggungjawabnya pada orang lain.Lita menghela nafas lagi. Ia meijat dahinya pelan. Sikapnya itu sejak tadi diperhatikan oleh Ardan, tapi perempuan itu tidak menyadarinya.Ardan sendiri sempat merasa Lita dan Alen menjadi agak berbeda setelah berkunjung ke taman hiburan minggu lalu, tapi pria itu tidak sempat bertanya.Tidak hanya tentang itu. Kejadian-kejadian sebelumnya pun tidak dibicarakan lagi dan dibiarkan menumpuk begitu saja. Hal tersebut membuat Ardan merasa canggung untuk memulai percakapan.“Apa ada masalah?” tanya A
Suasana sore hari di taman hiburan itu menjadi mendung tiba-tiba. Bianglala itu masih tidak bergerak. Semuanya seolah terhenti di saat yang bersamaan.“Alen? Apa maksud mu?” tanya Lita tergagap.Bocah kecil itu tersenyum tapi ekspresinya terlihat sangat sedih. Alen terlihat ragu, seperti sedang memikirkan apakah ia akan melanjutkan perkataannya atau tidak.Matanya mulai berkaca-kaca karena membayangkan kehidupan dimana Lita harus pergi dari hidupnya.Melihat mata Alen yang berkaca-kaca, Lita pindah tempat duduk di samping Alen. Ia membelai lembut kepala bocah itu, mencoba menenangkannya meski ia sendiri sebenarnya sedang merasa tidak tenang.“Alen, apa kamu mendengar ucapan mama saat di penginapan waktu itu?” tanya Lita mencoba memastikan.Alen mengangguk. Namun kali ini ia tidak berani menatap wajah Lita. Ia lebih memilih mengamati sepatu putih yang sedang dipakainya.“Sayang, kamu salah paham. Mama berkata begitu karena marah, maksud mama tidak seperti yang kamu pikirkan.”Bocah kec
Esok harinya Alen bangun pagi sekali karena bersemangat untuk jalan-jalan. Seperti yang sudah dijanjikan oleh Lita, mereka akan pergi ke taman hiburan lagi.Keduanya diantar oleh Zan. Meski awalnya menolak, Lita tidak bisa mengabaikan permintaan Ardan yang ingin menjaga keamanan putranya.Pukul 10 pagi mereka bertiga sampai di taman hiburan L Fantasy di Bandung. Suasana ditempat hiburan itu sudah ramai seperti biasa. Namun cuaca hari itu lebih cerah daripada sebelumnya.Lita sudah melihat prakiraan cuaca sehingga ia sudah menyiapkan topi dan kipas kecil jika nanti Alen kepanasan.“Zan, kamu ikut masuk atau ada hal lain yang ingin kamu lakukan?”“Om Zan pergi saja ya? aku ingin disini berdua saja dengan mama,” sela Alen sebelum Zan menjawab.“Alen, tidak boleh begitu,” ucap Lita yang kemudian mengelus kepala Alen pelan. Namun bocah kecil itu hanya menggembungkan pipinya.Zan yang melihat itu tertawa. “Tidak apa-apa, saya sepertinya akan mengunjungi kerabat saya disini. Tapi tolong jaga
Lita sengaja berangkat lebih lambat dari biasanya supaya bisa menemani Alen sarapan dan mengantarnya ke playgroup.Ia juga pulang lebih awal meski seharusnya masih lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Perempuan itu ingin menemani Alen makan malam sampai bocah kecil itu tidur.Sebagai ganti waktu yang ia gunakan untuk Alen, Lita harus kembali mengerjakan pekerjaannya setelah ‘putranya’ tidur.Perempuan itu mengurangi waktu istirahatnya karena tidak ingin membuat Alen merasa sendiri. Baginya itulah hal terpenting yang harus dilakukannya.Hal itu berlangsung hingga beberapa hari. Tidur setelah jam 2 dini hari lalu bangun pukul 5, kemudian langsung bersiap. Lita menjalani rutinitas itu dan mengabaikan rasa lelah yang mulai menumpuk pada tubuhnya.Tatapan matanya fokus dengan layar di depannya sedangkan tangannya menari lincah di atas keyboard putih. Lita bahkan tidak sadar jika sejak tadi seseorang sedang mengamatinya dari belakang.Pria itu mengamati jam di tangannya lalu masuk ke dalam
Lita, Ardan dan Alen kembali ke Jakarta pada malam hari setelah hujan reda. Suasana hening dalam perjalanan menyelimuti keluarga kecil itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Lita yang menangkap perubahan suasana hati Alen.Bocah kecil di samping Lita itu tersenyum. “Ya aku hanya masih merasa mengantuk.”“Tapi kamu sudah tidur cukup lama loh.”“Hmmm, tapi aku masih mengantuk.”Ardan melirk dari spion tengah lalu kembali fokus menyetir. “Kamu bisa tidur lagi.”“Ya…”Suasana kembali menjadi hening. Lita akhirnya memilih memejamkan matanya karena tidak tau harus bebicara apa.Setelah ia mengungkapkan amarahnya ke Ardan sore tadi, Lita tetap berada di luar ruangan dekat kolam ikan di penginapan itu. Perempuan bermata coklat itu baru kembali begitu matahari tenggelam.Ia tidak tau harus berkata apa kepada Ardan, jadi ia memilih diam seolah tidak terjadi apa pun. Tidak seperti yang dikhawatirkannya, Ardan juga tidak membahas hal itu lebih lanjut. Sikap pria itu tetap sama seperti biasa.Sesampain