“Jadi ini istri baru mu?” ucap seorang perempuan yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ardan.
‘Hah?’ Lita melihat ke arah perempuan tersebut dengan ekspresi bingung. Ia baru saja akan membuka suara tapi Ardan lebih dulu berbicara.
“Ada urusan apa kamu kemari?” tanya Ardan dengan ekspresi dinginnya.
“Aku sedang ada kegiatan di sekitar sini lalu kebetulan mendengar ada kejadian yang heboh.”
Perempuan dengan pakaian serba branded itu melirik ke arah Lita dengan ekspresi merendahkan lalu pandangannya beralih ke bocah kecil yang memeluk Lita.
“Kamu ternyata merawat bocah itu dengan baik,” ucap wanita itu masih dengan tatapan datarnya.
Lita masih tidak mengerti dengan situasi apa yang sedang dihadapinya, tapi ia merasa tidak asing dengan wanita yang sekarang masih menatapnya dengan pandangan merendahkan.
“Itu bukan urusan mu.”
“Ya, aku datang hanya untuk memastikan kalau kamu memegang janji mu. Aku lega karena mengetahui kamu benar-benar sudah menikah.”
'Menikah? Ini situasi macam apa?' tanya Lita dalam hati.
“Aku sudah berusaha sebisa ku, tapi kalau kamu sendiri yang bersikap sesuka mu, aku tidak bertanggungjawab dengan apa yang akan terjadi.”
“Tenang saja, aku tidak akan pernah muncul lagi,” ucap wanita cantik itu sambil tersenyum.
Seorang perempuan muda dengan kacamata bundar muncul terburu-buru. “Kak Vera, sebaiknya kita pergi sekarang.”
Wanita bernama Vera itu mengangguk. “Aku pergi dulu Ardan, semoga kehidupan pernikahan mu menyenangkan.” Setelah mengucapkan itu, ia melangkah pergi bersama asisten pribadinya.
‘Vera?’ tanya Lita dalam hati. Ia tampak terkejut karena baru mengingat sosok wanita yang sedang naik daun itu.
Lita melirik ke arah pria bernama Ardan dengan ekspresi kesal. Sejak tadi ia merasa berada pada situasi yang membingungkan.
“Saya tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi melibatkan orang yang baru anda kenal bukankah sangat keterlaluan?” ucap Lita dengan ekspresi marah.
“Maafkan saya, situasinya sedang sulit untuk kami…,” balas Ardan dengan ekspresinya yang masih tetap dingin.
Bocah kecil yang sedari tadi memeluk Lita erat mulai melonggarkan tangannya. “Mama kenapa?”
Ardan diam lalu menghela nafas. “Alen sayang, ayo sini papa yang gendong.”
Ekspresi bocah itu kembali berubah, ia mengabaikan perkataan ayahnya. Bocah itu tampak sangat sedih. “Mama, apa mama mau temani Alen sampai tidur?”
Melihat ekspresi bocah menggemaskan yang berubah menjadi sedih membuat hati Lita ikut terasa tidak nyaman.
“Alen… ,” ucap Ardan setengah memohon. Ia tampak tidak berdaya di hadapan bocah kecil itu.
“Baiklah, saya akan menemani mu hingga kamu tidur,” ucap Lita sambil tersenyum.
“Beneran?” tanya Alen dengan mata berbinar.
“Iya.”
“Asyik!” Alen kembali memeluk Lita dengan erat.
Ardan yang melihat putranya gembira justru merasa hatinya teriris. Ia merasa gagal karena tidak bisa memberikan kenyamanan yang diharapkan sang anak.
“Maafkan saya soal yang tadi, saat di ruangan maupun saat ada perempuan itu,” ucap Ardan tiba-tiba.
Lita mengelus kepala Alen lembut. Namun tatapan matanya memandang tajam ke arah Ardan. “Kenapa anda melakukan itu?”
Pria bermata hitam itu memandang ke arah Lita dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. “Saya tidak bisa menjelaskannya disini.”
Hening, Lita hanya menghela nafas panjang lalu memandang ke arah lain. Alen tampak mengantuk, sesekali matanya menutup seolah kelopak matanya terasa sangat berat.
“Apa mama akan tetap di samping Alen saat Alen bangun?” tanya Alen tiba-tiba.
Perempuan berambut panjang itu diam, ia merasa kasihan tapi tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak ingin memberikan harapan palsu tapi ia tidak ingin juga bocah itu bersedih.
Dalam keheningan itu Alen sudah tertidur lelap dipelukan Lita yang masih saja termangu memikirkan bocah menggemaskan itu.
“Dia sepertinya sudah tidur,” ucap Ardan dengan suara pelan.
“Ya, sepertinya begitu… .”
“Kamu kuliah di kota ini?”
“Tidak, saya sudah bekerja, saya hanya datang berkunjung sekalian reuni dengan teman-teman.”
‘Dia terlihat masih muda,’ gumam Ardan dalam hati. Tatapan matanya fokus mata tahi lalat di bawah mata kanan Lita lalu ia tiba-tiba teringat dengan ibunya yang telah tiada.
Pria bermata hitam itu mengangguk. Eskpresinya berubah lagi saat melihat putranya tertidur pulas di pelukan Lita. “Begitu ternyata, sebentar saya ingin menelepon.”
Lita mengangguk lalu kembali memandangi Alen yang tertidur lelap. ‘Sebenarnya apa yang terjadi sampai bocah ini seperti ini? Kemana ibunya?’
Pandangan matanya fokus mata pipi Alen yang lembut dan bulat. Lita mengusap lembut sisa air mata yang berada di sekitar hidung anak kecil itu. Hatinya terasa ikut sedih saat melihat malaikat kecil itu tampak tidak berdaya dan membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Setelah beberapa menit berlalu, Ardan kembali lagi. “Saya akan mengantar kamu, setelah mengantar Alen.”
Ekspresi bingung Lita terlihat jelas, tapi Ardan langsung berbicara lagi. “Ehmm, dia kesulitan tidur akhir-akhir ini, kalau sekarang dia terbangun mungkin akan lebih merepotkan kamu.”
Dahi Lita mengernyit, ia sedang mempertimbangkan untuk mengantar bocah kecil itu. “Baiklah… ."
Perempuan berambut panjang itu mencoba bangkit sambil tetap menggendong Alen. Namun karena tiba-tiba berdiri, kakinya yang sejak tadi terasa sakit membuat keseimbangan tubuhnya menjadi terganggu.
Saat tubuhnya oleng, Ardan menahan bahunya dengan sentuhan lembut yang membuatnya merasakan sensasi aneh.
“Kaki mu masih sakit?” tanya Ardan sambil menatap pergelangan kaki Lita.
“Sudah tidak apa-apa kok, mungkin karena tiba-tiba berdiri jadi begini, saya akan berhati-hati dan tidak membuat Alen jatuh,” ucap Lita yang segera memundurkan langkahnya dari Ardan.
Pria itu mengangguk lalu melangkahkan kakinya pelan diikuti oleh Lita yang menggendong Alen.
Jika dilihat sekilas, ketiga orang tersebut tampak seperti sebuah keluarga yang bahagia. Pasangan yang tampan dan cantik dengan pakaian berwarna senada, juga seorang putra yang menggemaskan. Namun kenyataannya tidak seperti yang terlihat. Keduanya hanyalah orang yang baru saja saling mengetahui nama masing-masing sejak beberapa waktu yang lalu.
Saat hampir mendekati tempat parkir, Ardan tiba-tiba berhenti lalu berbalik ke arah Lita dengan ekspresi serius.
“Saya minta maaf, tapi saya harap kamu mau membantu saya lagi… .”
“Membantu apa?” tanya Lita bingung, perasannya tidak enak tapi ia tidak mungkin langsung kabur dengan menggendong seorang bocah yang tidak dikenalnya.
“Kamu harus pura-pura jadi istri saya.”
Ekspresi Lita langsung berubah. “Anda mau melibatkan saya di situasi seperti apa lagi?!”
“Lita, kondisi kami sangat sulit, paling tidak demi bocah ini tolong lakukanlah.”
Perempuan berambut panjang itu tampak tidak mengerti dengan ucapan pria yang baru dikenalnya beberapa jam lalu.
“Anak ini akan lebih menderita jika diambil dari saya,” ucap Ardan lirih dengan ekspresi memohon.
Belum sempat menjawab ucapan lawan bicaranya, Lita dikejutkan oleh suara seorang wanita tua dengan intonasi tinggi memanggil pria bernama Ardan.
“Ardan!”
*****
Hembusan angin sore itu membawa aroma hujan. Tidak lama setelah itu gerimis turun. Namun kedua orang itu tidak beranjak dari tempatnya duduk.Meski tidak terkena air hujan langsung, percikan air yang terbawa angin tetap mengenai keduanya. Udara yang semakin dingin itu mulai merasuk ke pori-pori kulit.Ardan memandang ke arah lain dengan ekspresi kosong. Ia kembali teringat percakapan putranya dan Lita beberapa saat yang lalu.Kenyataan bahwa Alen lebih ingin bersama Lita semakin membuatnya tersadar bahwa perannya sebagai ayah selama ini sangatlah buruk.Kalimat yang diucapkan oleh Alen menjadi lebih terasa menyakitkan karena ia sangat menyayangi putranya. Namun meski hatinya terluka, Ardan tetap menginginkan hal yang terbaik untuk putranya.Lita mengeratkan tangannya tanpa bisa menjawab perkataan Ardan. Ia hanya menatap wajah pria itu dengan ekspresi cemas.“Jangan memberitahu Alen dulu, aku akan berbicara dengannya di waktu yang sudah ditentukan. Kita lakukan seperti biasa sampai wak
Selama beberapa hari Lita terus memikirkan apa yang sudah dikatakan oleh Alen. Meski sikap Alen kembali seperti semula, perempuan itu masih merasa cemas.Ia masih belum mengatakan apa pun ke Ardan. Namun seminggu setelah liburan itu Lita akhirnya mulai memikirkan niatnya untuk berhenti bekerja supaya fokus mengurus Alen saja.Tentu saja ia masih perlu menyelesaikan pekerjaan yang ada dan membuat keadaan stabil lebih dulu. Ia tidak bisa begitu saja meninggalkan tanggungjawabnya pada orang lain.Lita menghela nafas lagi. Ia meijat dahinya pelan. Sikapnya itu sejak tadi diperhatikan oleh Ardan, tapi perempuan itu tidak menyadarinya.Ardan sendiri sempat merasa Lita dan Alen menjadi agak berbeda setelah berkunjung ke taman hiburan minggu lalu, tapi pria itu tidak sempat bertanya.Tidak hanya tentang itu. Kejadian-kejadian sebelumnya pun tidak dibicarakan lagi dan dibiarkan menumpuk begitu saja. Hal tersebut membuat Ardan merasa canggung untuk memulai percakapan.“Apa ada masalah?” tanya A
Suasana sore hari di taman hiburan itu menjadi mendung tiba-tiba. Bianglala itu masih tidak bergerak. Semuanya seolah terhenti di saat yang bersamaan.“Alen? Apa maksud mu?” tanya Lita tergagap.Bocah kecil itu tersenyum tapi ekspresinya terlihat sangat sedih. Alen terlihat ragu, seperti sedang memikirkan apakah ia akan melanjutkan perkataannya atau tidak.Matanya mulai berkaca-kaca karena membayangkan kehidupan dimana Lita harus pergi dari hidupnya.Melihat mata Alen yang berkaca-kaca, Lita pindah tempat duduk di samping Alen. Ia membelai lembut kepala bocah itu, mencoba menenangkannya meski ia sendiri sebenarnya sedang merasa tidak tenang.“Alen, apa kamu mendengar ucapan mama saat di penginapan waktu itu?” tanya Lita mencoba memastikan.Alen mengangguk. Namun kali ini ia tidak berani menatap wajah Lita. Ia lebih memilih mengamati sepatu putih yang sedang dipakainya.“Sayang, kamu salah paham. Mama berkata begitu karena marah, maksud mama tidak seperti yang kamu pikirkan.”Bocah kec
Esok harinya Alen bangun pagi sekali karena bersemangat untuk jalan-jalan. Seperti yang sudah dijanjikan oleh Lita, mereka akan pergi ke taman hiburan lagi.Keduanya diantar oleh Zan. Meski awalnya menolak, Lita tidak bisa mengabaikan permintaan Ardan yang ingin menjaga keamanan putranya.Pukul 10 pagi mereka bertiga sampai di taman hiburan L Fantasy di Bandung. Suasana ditempat hiburan itu sudah ramai seperti biasa. Namun cuaca hari itu lebih cerah daripada sebelumnya.Lita sudah melihat prakiraan cuaca sehingga ia sudah menyiapkan topi dan kipas kecil jika nanti Alen kepanasan.“Zan, kamu ikut masuk atau ada hal lain yang ingin kamu lakukan?”“Om Zan pergi saja ya? aku ingin disini berdua saja dengan mama,” sela Alen sebelum Zan menjawab.“Alen, tidak boleh begitu,” ucap Lita yang kemudian mengelus kepala Alen pelan. Namun bocah kecil itu hanya menggembungkan pipinya.Zan yang melihat itu tertawa. “Tidak apa-apa, saya sepertinya akan mengunjungi kerabat saya disini. Tapi tolong jaga
Lita sengaja berangkat lebih lambat dari biasanya supaya bisa menemani Alen sarapan dan mengantarnya ke playgroup.Ia juga pulang lebih awal meski seharusnya masih lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Perempuan itu ingin menemani Alen makan malam sampai bocah kecil itu tidur.Sebagai ganti waktu yang ia gunakan untuk Alen, Lita harus kembali mengerjakan pekerjaannya setelah ‘putranya’ tidur.Perempuan itu mengurangi waktu istirahatnya karena tidak ingin membuat Alen merasa sendiri. Baginya itulah hal terpenting yang harus dilakukannya.Hal itu berlangsung hingga beberapa hari. Tidur setelah jam 2 dini hari lalu bangun pukul 5, kemudian langsung bersiap. Lita menjalani rutinitas itu dan mengabaikan rasa lelah yang mulai menumpuk pada tubuhnya.Tatapan matanya fokus dengan layar di depannya sedangkan tangannya menari lincah di atas keyboard putih. Lita bahkan tidak sadar jika sejak tadi seseorang sedang mengamatinya dari belakang.Pria itu mengamati jam di tangannya lalu masuk ke dalam
Lita, Ardan dan Alen kembali ke Jakarta pada malam hari setelah hujan reda. Suasana hening dalam perjalanan menyelimuti keluarga kecil itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Lita yang menangkap perubahan suasana hati Alen.Bocah kecil di samping Lita itu tersenyum. “Ya aku hanya masih merasa mengantuk.”“Tapi kamu sudah tidur cukup lama loh.”“Hmmm, tapi aku masih mengantuk.”Ardan melirk dari spion tengah lalu kembali fokus menyetir. “Kamu bisa tidur lagi.”“Ya…”Suasana kembali menjadi hening. Lita akhirnya memilih memejamkan matanya karena tidak tau harus bebicara apa.Setelah ia mengungkapkan amarahnya ke Ardan sore tadi, Lita tetap berada di luar ruangan dekat kolam ikan di penginapan itu. Perempuan bermata coklat itu baru kembali begitu matahari tenggelam.Ia tidak tau harus berkata apa kepada Ardan, jadi ia memilih diam seolah tidak terjadi apa pun. Tidak seperti yang dikhawatirkannya, Ardan juga tidak membahas hal itu lebih lanjut. Sikap pria itu tetap sama seperti biasa.Sesampain