Tidak seperti biasanya di mana Riehla terlihat di Ruang Tamu atau tidak ada bau masakan dari arah Dapur, malam ini Rumah itu sunyi. Layaknya Rumah kosong. Ellio langsung melangkah menuju Kamar dan ia lihat sang istri yang sudah tidur dengan posisi miring.Ellio taruh jas di atas nakas, menoleh ke arah Riehla dengan sorot mata sedih. Sudah berapa hari ini tidak ada percakapan menyenangkan antara keduanya. Tentu keadaan seperti itu tidak baik.Belum berganti pakaian Ellio keluar Kamar. Saat di depan meja makan, lelaki itu mematung. Ellio tahu Riehla pasti sedih dan kecewa dengan sikap Ellio belakangan ini, tetapi Riehla masih peduli pada Ellio dengan menyiapkan makan malam.Mendudukkan diri, menyentuh mangkuk berisi sup ayam yang sudah tidak hangat. Tiba-tiba Ellio meneteskan air mata. Hatinya semakin hancur dengan keadaan yang ia sendiri tidak tahu harus seperti apa. Ingin melupakan tetapi melihat wajah Riehla mengingatkan pada sebuah 'pengkhianatan'.Air mata itu terus menetes. Dapat
"Zena kenapa?" tanya si Bibi yang berjalan di samping Zena."Apa karena aku ya Mama sama Papa bertengkar? Aku takut kalau nanti gak punya Papa lagi." Sembari menatap lurus ke depan dengan wajah sendu."Bibi yakin kalau Mama sama Papa pasti baikan. Mereka kan saling cinta."Zena menoleh ke arah si Bibi. "Benar kan, Bi? Mama sama Papa gak perlu pisah?""Iya." Seraya tersenyum.Rasa sedih dan frustasi yang sudah memuncak membuat Riehla memilih melarikan diri sejenak. Riehla memang pergi dengan pakaian seperti akan bekerja, namun perempuan itu sedang mengendarai mobil ke daerah Pantai.Riehla merasa perlu menenangkan diri. Sudah memarkirkan mobil, Riehla berjalan ke arah Pantai. Pantai pun mengingatkannya pada Ellio. Riehla bisa saja hanya fokus pada anak-anak, tetapi ia tidak bisa tinggal dengan suami yang sikapnya seolah Riehla tidak ada.Apa mungkin keputusan Riehla menikah dengan Ellio itu salah? Riehla pikir jika ia menolak ajakan menikah itu semua tidak akan seperti ini. Tidak perlu
Riehla tidak melarikan diri, ia kembali pada keluarga-nya. Namun, ada yang beda dengan perempuan itu. Bukannya memilih diam karena tidak mengerti dengan sikap Ellio yang tidak juga memberi alasan mengenai sikapnya yang berubah. Riehla terlihat benar-benar mengabaikan Ellio.Seperti saat ini di mana mereka berkumpul di Ruang Tamu, Ellio yang duduk di sofa single, terus memperhatikan anak dan istrinya yang bermain, dan menyadari jika Riehla sejak pulang tidak menaruh perhatian sama sekali padanya.Tidak ada yang Riehla katakan bahkan sekali pun tidak menatap Ellio. Riehla hanya sibuk dengan Zena dan Eden.Ellio merasa bahwa mungkin sikapnya telah merubah Riehla menjadi tidak peduli. Melihat hal itu pun Ellio semakin takut jika Rumah Tangga-nya benar hancur. Ellio tidak ingin hal itu terjadi. Apa pun yang terjadi ia akan mempertahankannya.Beberapa saat kemudian...Riehla masuk ke dalam Kamar untuk meletakkan Eden di tempat tidurnya yang sudah tidur. Ellio yang terduduk di kasur dengan b
Betapa terlihat menyedihkannya lelaki satu itu yang duduk sendirian di meja makan. Menikmati sandwich sebagai menu breakfast yang sejak beberapa saat lalu hanya digigitnya sedikit. Ia rindu hari-hari bersama istri dan anak-anaknya. Kini, ia sendiri dan itu semua karena kesalahannya.Rasa sesal pun memenuhi diri Ellio yang merasa jika semua telah berakhir. Mungkin sebelumnya Ellio bisa menggenggam kembali tangan Riehla, tetapi kali ini rasanya terlalu tidak mungkin untuk Riehla kembali padanya."Kamu benar, Rie. Gimana mungkin aku gak percaya sama kamu. Gimana bisa aku langsung percaya saja," gumam Ellio dengan wajah sendu.Sementara di kediaman Ani, mereka sedang menikmati sarapan nasi uduk di meja makan. Riehla yang sembari menggendong Eden, memperhatikan Zena berbicara dengan Ani.Zena masih terlihat seperti biasanya walau Riehla yakin Zena tidak mungkin sepenuhnya baik-baik saja. Hanya saja Zena tidak mengungkapkan apa yang ada di hati dan kepala-nya. Riehla tahu pasti ada kesediha
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
Hidup lagi capek-capeknya, paling sempurna jika memiliki Bos yang menyebalkan. Rasanya mau menghilang saja dari dunia yang penuh dengan permasalahan. Seperti itulah yang dirasakan Riehla yang harus bekerja lembur sebagai seorang Editor Perusahan penerbit yang baru pulang jam 5 subuh tadi. Niatnya ingin tidur selama 2 jam sebelum kembali berangkat ke Kantor, baru akan tidur sekitar jam setengah 6, ada telepon masuk dari Ellio-CEO. Tahu apa yang dikatakan lelaki berwajah tembok dan bersuhu dingin layaknya kulkas dua pintu? Riehla disuruh datang ke Rumah-nya sekarang juga. Ingin rasanya Riehla mencaci-maki Bos-nya yang satu itu namun ia tidak memiliki keberanian sebesar dinosaurus."Bukannya kamu sedang membutuhkan uang untuk biaya pengobatan Ayah kamu?"Ellio berhasil menyadarkan Riehla bahwa ia memang sedang membutuhkan uang untuk biaya pengobatan Adhi-Ayah Riehla yang dua hari lalu mengalami kecelakaan motor. Salah satu kaki-nya mengalami cedera serius sehingga membutuhkan uang yang