Riehla mendudukkan diri di kursi kerja-nya dengan wajah terlihat sangat bingung. Mencoba berpikir apa ia lupa menaruhnya. Tetap saja pemikirannya itu berakhir bahwa ia tidak salah menaruh. "Saya yakin seratus persen Bu kalau saya menaruhnya di meja."
"Terus, ke mana perginya?" Lalu, melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya disusul dengan Riehla yang melihat jam dinding di mana sudah waktunya ketua Editor masuk Ruang Meeting."Gimana ini, Bu?" Dengan wajah cemas. Karir-nya mungkin akan dipertaruhkan."Saya coba bicarakan sama Pak Ellio. Kamu coba cari-cari lagi." Berlalu dari hadapan Riehla.Beberapa saat kemudian...Terus mencari tanpa hasil. Riehla sudah pada tahap menyerah jika mungkin ia akan kena marah besar Ellio. Menoleh ke arah handphone yang tengah bergetar di atas meja. Diambilnya handphone, menerima panggilan masuk dari kepala Editor. Apakah Tuhan akan memberikannya ujian hari ini?"Hallo, Bu.""Ke Ruang Rapat sekarang!""Baik, Bu." Langkahnya memang pasti melangkah pergi dari sana menuju Ruang Rapat, namun hatinya tidak sedikit pun tenang. Sesekali menghela nafas berat. Berpikir apa yang akan terjadi padanya setelah sudah berada di Ruang Rapat. Ketika sudah berada di depan pintu "Meeting Room" Riehla diam sejenak sebelum mengetuk pintu. Ia mencoba mempersiapkan hati, kalau-kalau mungkin disuruh menyerahkan surat pengunduran diri. Mengetuk pintu, membukanya dengan wajah tegang.Manik mata Riehla sempat bertemu dengan manik mata Ellio yang menatapnya lebih mematikan dari biasanya sebelum mengalihkannya pada kepala Editor. Berhenti di dekat kepala Editor."Sudah kamu temukan?" tanya Ellio."Belum, Pak." Dengan nada dibuat tegas. Padahal ia begitu cemas."Masih ada file yang sebelum direvisi kan?""Iya, Pak.""Revisi lagi! Hari ini harus selesai karena besok kamu harus memberikannya pada saya."Tentu Riehla tidak bisa menolak. Memang tidak ada niatan menolak karena Riehla sadar akan kesalahannya dan ia harus bertanggung jawab. Walau hari ini ia juga harus lembur. Entah sudah berapa hari ia lembur. "Baik, Pak.""Kamu bisa kembali ke ruangan sekarang!"Saat melangkah keluar dari sana satu hal yang Riehla syukuri. Ellio tidak marah-marah padanya. Ellio masih memberi kesempatan. Sampainya di Ruang Kerja, Riehla langsung segera mengerjakan pekerjaannya."Apa gak sebaiknya kita beri Riehla waktu dua hari?" kata Kepala Editor."Kita gak boleh mengasihaninya! Yang ada nanti dia malah terus membuat kesalahan." Ellio memang tipe atasan yang tegas.Beberapa jam kemudian...Hari sudah malam, waktunya orang-orang pulang kerja. Begitu pun dengan karyawan-karyawatin yang bekerja di bawah kepemimpinan Ellio. Bukannya turun ke Lobi, Ellio menghentikan lift di lantai tempat Ruang Kerja Riehla berada. Melangkah dengan langkah santai, berhenti di depan kaca. Dilihatnya orang-orang yang sudah tidak ada selain Riehla. Perempuan itu nampak serius. Riehla memperlihatkan bahwa ia cukup bekerja keras.Saat Ellio hendak melangkah dari sana langkahnya terhenti lantaran melihat Riehla yang tiba-tiba menekap hidungnya dengan tangan. Perempuan itu mimisan. Lihatlah, Pak CEO! Karyawati-mu yang satu itu terlalu bekerja keras akhir-akhir ini sampai seperti itu. Tidak adakah rasa kasihan?Disumpalnya hidung dengan tisu, menyandarkan kepala ke kepala kursi. Mengangkat sedikit kepala. Melipat kedua tangan di depan dada. "Kalau aku sebekerja keras kayak gini, apa masa depan nanti tinggal menikmati hasilnya aja? Apa masa depan aku nanti indah?" gumam Riehla. Ellio melangkah pergi dari sana.Drrrtt drrrtt drrrttRiehla ambil handphone yang berada di atas meja, menerima telepon dari Ibu-nya. "Hallo, Bu.""Sudah beberapa hari ini kamu gak ke Rumah Sakit. Kerja kamu pasti lagi banyak banget ya, nak?""Ya gitu, Bu.""Ada gak baiknya terlalu bekerja keras. Kamu bisa sakit.""Ibu tenang saja. Riehla makannya teratur kok. Minum vitamin juga. Oh ya, Bu. Gimana keadaan Ayah?""Semakin membaik.""Syukurlah."Ellio taruh kunci mobil, dompet serta handphone di atas nakas. Saat ia sedang membuka kancing lengan kemeja-nya, pikirannya tertuju pada Riehla. Apa perempuan itu akan baik-baik saja? Mendadak Ellio khawatir. Mengingat katanya selama beberapa hari ini Riehla lembur. "Dia gak pingsan kan?" gumam Ellio. Bagaimana jika Riehla pingsan? Dan ternyata kondisi tubuhnya harus segera dibawa ke Dokter? Ellio pikir ia akan benar-benar terlihat seperti atasan yang kejam.Setelah membersihkan tubuh Ellio yang sudah berpakaian rapi, pergi dari Rumah. Lelaki itu berniat kembali ke Kantor untuk mengecek keadaan Riehla. Bisa gawat jika Riehla masuk ke Rumah Sakit dengan kondisi yang ternyata lumayan parah. Saat melihat toko Roti yang masih buka di depan sana, Ellio menghentikan mobil di depan Toko. Melangkah masuk, membeli beberapa.Setelah memarkirkan mobil, Ellio segera masuk ke dalam. Di jalan sempat bertemu Security. Melangkah masuk dengan langkah pelan sembari menatap ke arah Riehla yang terpantau tidur dengan kepala yang berada di meja. Ellio taruh paper bag berisi roti di meja, lalu diperhatikannya wahah Riehla di mana masih terdapat tisu di salah satu lubang hidung.Ellio tahu bahwa seharusnya ia memberi sedikit kelonggaran pada perempuan yang sudah beberapa kali membantunya itu, namun Ellio tidak bisa. Jika ia melakukan itu, nanti dianggap membeda-bedakan. Sedang dengan yang lain Ellio sangat tegas.Dilihatnya jaket milik Riehla yang tersampir di kepala kursi. Mengambil jaket yang ia pasangkan untuk menutupi badan Riehla. "Ayah," gumam Riehla dengan suara sedikit kecil namun masih bisa tertangkap telinga Ellio. Ellio melangkah pergi dari sana.Tidak lama Ellio pergi, Riehla membuka matanya. Menoleh ke arah jam dinding. "Sudah berapa lama ya aku tidur?" Lalu, dilihatnya paper bag. Tentu saja mengeceknya. Saat tahu ada yang memberinya roti, Riehla sangat bingung."Siapa yang ngasih?" Menoleh ke sekeliling di mana tidak ada satu orang pun.KreukkPerutnya minta diisi dan kebetulan ada roti. Apa langsung ia makan? Bingung. Ia tidak tahu dari mana asal roti itu. Namun, perutnya mulai lapar. Riehla terlalu malas untuk makan di luar atau order. Riehla pun memakan roti itu dengan pikiran positif. Bahwa roti itu pemberian dari orang baik. Bukan seperti kisah 'putri salju'"Gak mungkin juga ada yang mau mencelakai aku. Aku kan gak punya musuh."***"Pagi, Bu Riehla. Sudah mau pulang?" tanya security yang ada di depan pintu masuk."Iya, Pak. Hari ini saya libur.""Semalam lembur lagi toh. Ketemu sama Pak Ellio? Setelah pulang kan Pak Ellio balik lagi sembari bawa paper bag gitu.""Pak Ellio ke Kantor lagi?" Bawa paper bag? Apa mungkin roti itu dari Pak Ellio? Kenapa dia bawain aku roti?Saat mengendarai sepeda motor-nya Riehla sesekali memikirkan yang dikatakan security itu.Mumpung hari libur dan setelah beberapa hari tidak memiliki kesempatan menjenguk sang Ayah, hari ini Riehla menemani Ayah-nya. Ayah dan anak satu-satunya itu sedang jalan-jalan santai, keliling Rumah Sakit. Riehla yang mendorong kursi roda tempat Ayah-nya bersantai, langkahnya melamban. Di depan sana manik matanya bertemu dengan manik mata seorang perempuan yang menatapnya cukup tajam. Kania berhenti tepat di hadapan Ayah-nya Riehla sehingga mau tidak mau Riehla pun berhenti. "Siapa sangka kalau kita akan bertemu di sini," ucap Kania dengan nada tajam."Saya rasa gak ada yang perlu dibicarakan." Saat Riehla hendak kembali mendorong kursi roda, salah satu tangannya disentuh Kania."Kita sama-sama perempuan, seharusnya kamu mengerti perasaan saya! Saya rasa Ellio lebih dulu kenal sama saya dari pada kamu. Gak seharusnya kamu merebut lelaki yang saya cinta!" Lalu, menurunkan tangannya."Kamu merebut kekasih orang?" tanya pria paruh baya pada sang putri."Gak kayak gitu, yah.""Gak sehar
Hidup kerap kali membawa kita pada adegan buruk. Namun, inilah hidup di mana kita harus menerima apa saja yang kita alami. Seperti apa yang tengah dirasakan salah satu Editor kita. Riehla baru saja mendapat sebuah tamparan yang cukup membuat pipinya merasa panas dan sedikit perih."Saya ini sudah bertahun-tahun menjadi Penulis di sini! Kamu kira saya baru bergabung di sini?!" ucap seorang wanita berambut biru tua lurus sedada yang saat itu dibiarkan terurai."Tapi, Mbak juga gak bisa seenaknya! Baru tiga hari yang lalu buku Mbak-nya terbit.""Saya bilang saya akan bayar kerugian yang kalian alami!"Walau selama ini tidak pernah memiliki masalah dengan Penulis, Riehla sudah menduga bahwa suatu hari hal seperti hari ini akan terjadi. Hidup ini penuh misteri."Saya tahu Mbak punya uang banyak, tapi ini bukan soal uang." Riehla masih belum menyerah untuk memenangkan perdebatan sengit itu."Biarkan saja," ujar Ellio yang baru saja tiba bersama Randy. Randy memberikan sebuah amplop pada Pen
"Masalah besar!" kata salah satu Editor perempuan yang baru saja masuk dengan wajah terlihat serius."Masalah besar apa?" tanya Riehla sembari duduk di kursi kerja-nya."Salah satu penulis terbaik yang masuk daftar 10 besar, ternyata suka sama Pak Ellio.""Terus, apa masalahnya?" tanya Riehla lagi dengan wajah bingung.Semua orang nampak menanti ucapan perempuan berambut hitam panjang sedikit keriting yang saat itu diikat satu. "Sekarang Penulis itu ada di Lobi, sedang menunggu Pak Ellio yang sedang dibujuk buat mau makan siang bareng. Bisa-bisanya Pak Ellio menolak perempuan secantik itu.""Kalian tahu sendiri gimana Pak Ellio. Dia gak pernah terlihat makan bersama orang lain selain dengan Pak Randy. Makan siang bareng klien saja ada Pak Randy yang menemani," ujar Kepala Editor yang duduk di kursi-nya."Menurut saya keterlaluan, Bu. Gimana kalau kali ini kita juga kehilangannya? Betapa hebatnya perusahaan ini kehilangan tiga Penulis terbaiknya dalam waktu yang cukup singkat.""Sebaik
Dapat Ellio rasakan sesuatu yang bergerak pada salah satu bahu. Alih-alih terbangun, Riehla hanya membenarkan letak kepalanya. Mencari kedamaian. Datang seorang Pramugari yang membawakan minuman Ellio. Saat Ellio sedang meminumnya, mata yang sebelumnya terus tertutup perlahan terbuka. Terlonjak kaget saat mengetahui apa yang tengah terjadi. "Maaf, Pak. Saya gak sengaja tidur di bahu Bapak." Dengan wajah takut dan merasa bersalah.Ellio menoleh ke arah Riehla. Hanya sekedar menatap sebelum pria itu berlalu dari hadapan Riehla. Riela beberapa kali memukul pelan kepalanya, merutuki kebodohan yang tidak disengaja. Riehla pikir Ellio pasti sangat terganggu. Bagaimana mungkin baik-baik saja.Beberapa saat kemudian...Mengetahui posisinya, seperti biasanya Riehla memilih berjalan di belakang Ellio. Tentu ia merasa tidak pantas berjalan di samping Ellio. Walau mungkin di mata Tuhan mereka setara, tapi inilah hidup. Pasti akan ada rasa dimana tidak pantas dan sebagainya.Masuk ke dalam taksi.
Setelah apa yang terjadi, membuat jangungnya berdegup dua kali lipat serta hati yang sedikit pun tidak tenang, Riehla membiarkan dirinya tertidur di sofa dengan posisi duduk. Tiba-tiba saja ia merasa ngantuk. Perlahan mata Riehla terbuka. Hal pertama yang ia perhatikan adalah mengecek keadaan Ellio. Apakah Bos-nya itu sudah sadarkan diri.Berjalan ke arah Ellio yang kedua matanya masih menutup. "Aku benar-benar gak tahu kalau Pak Ellio punya alergi," gumam Riehla dengan nada pelan. Walau itu semua bukan salahnya, lebih tepatnya tidak ada yang salah sama sekali di sana, Riehla tetap merasa bersalah. Ada perasaan bahwa ia perlu bertanggung jawab.Perlahan mata itu terlihat terbuka. Manik mata mereka bertemu. "Saya kira saya sudah meninggalkan bumi," ujar Ellio dengan suara pelan."Bapak gak boleh ngomong gitu!" Jika yang dipikirkan Ellio terjadi, maka orang pertama yang akan menyalahkan dirinya sendiri adalah Riehla."Kamu gak perlu merasa bersalah. Bukan salah kamu. Kamu bahkan gak tah
Berjalan ke arah Riehla sembari membuka jas yang sedari tadi ia pakai. Bukannya menaruh di sofa, pria itu memakaikannya pada Riehla yang padahal sudah sedikit hangat dengan hoodie yang dikenakannya. Memperhatikan perempuan yang usianya 1 tahun di bawahnya. Alih-alih duduk di samping Riehla yang masih cukup lega, Ellio kembali duduk di kursi.***Pagi telah datang menyapa Riehla yang terbangun lebih dahulu dari yang lain. Mendapati sebuah jas yang menutupi badannya. Tentu Riehla tahu siapa pemiliknya. Menoleh ke arah Randy yang masih tidur di kursi. Bukankah itu lebih terasa tidak nyaman dari di sofa? Padahal Riehla sudah menyisakan ruang untuk manusia dingin kedua itu.Mata yang terbuka selanjutnya adalah Randy. Dilihatnya Ellio yang masih tertidur, dan saat menoleh ke arah Riehla, perempuan itu tengah menatapnya. "Terima kasih atas jas-nya." Menaruh jas yang sudah dilipat di atas meja. Lalu, dapat Ellio rasakan perutnya yang terasa perih. Butuh asupan. Mengambil handphone yang berada
Helaan nafas perempuan yang tengah terbaring di atas brankar itu cukup terdengar oleh lelaki yang berdiri di dekatnya. "Pak Ellio pergi bukan berarti dia marah sama kamu," ucap Randy."Apa iya? Saya kan sudah merepotkannya.""Sebaiknya kamu banyak-banyak istirahat karena besok kita akan tetap balik ke Jakarta." Lalu, Randy juga pergi meninggalkan Riehla.Riehla tatap pintu. Wajahnya nampak murung. Tidak menyangka bahwa aksi menolongnya malah membawanya ikut menjadi korban. 'Hufftthhh' lagi-lagi ia hanya bisa menghela nafas dengan kekhawatiran yang tengah menyapa itu. Walau Randy berkata bahwa Ellio bukannya marah, Riehla tetap pada pemikirannya bahwa pasti Ellio merasa kesal dengan apa yang disebabkan Riehla.Melangkah masuk ke dalam Ruang Rawat Inap Ellio. Dilihatnya Bos-nya itu yang sedang berdiri di depan jendela, menatap ke arah luar. "Seharusnya Bapak gak pergi gitu aja setelah mengatakan hal seperti itu. Seseorang bisa saja salah paham, dan Riehla pikir Bapak marah sama dia." Ya
Tak tahan dengan Ellio yang terlihat cukup tidak nyaman, Riehla merasa seperti harus melakukan sesuatu. Perempuan itu dengan pastinya berjalan ke arah meja Ellio. Mendudukkan diri seperti itu saja di samping Ellio yang menatap datar. "Gak bisakah Anda melihat seseorang di hadapan Anda yang merasa gak nyaman?!"Kania dibuat tak percaya dengan Riehla. "Saya rasa gak seharusnya Anda di sini!" Tentu Kania tidak ingin kalah dari Riehla."Oh ya? Kamu lupa siapa saya?!" Lalu, menoleh ke arah Ellio yang hanya diam. Pria itu bahkan menatap ke arah lain.Sepertinya Riehla sejenak melupakan siapa dirinya. Di meja tempat para Editor berada, tengah menatap tak percaya dengan apa yang di lakukan Riehla yang dengan beraninya duduk di samping Ellio tanpa Ellio menyuruhnya duduk. Entah dari mana asal keberanian itu."Aku rasa Riehla sudah gak waras," kata salah satu Editor sembari menatap Riehla.Tiba-tiba sembari berdiri dari duduk, perempuan itu meraih tangan CEO-nya. Sontak Ellio menoleh. "Apa yang