Share

Jatuh Pingsan

Bekerja sebagai personal assistant bagi seorang Albert Kenzi ternyata cukup membuat Akira harus menyediakan kesabaran berlapis-lapis. Tak jarang sikap atasannya itu terasa sangat menyebalkan. Terkadang Akira curiga bahwa Albert sengaja memerintahkan hal-hal aneh untuk mengerjai dirinya.

Hari itu Albert memerintahkan Akira ikut bersamanya untuk meninjau pembangunan proyek. Mereka hanya pergi berdua tanpa Levin. Albert memerintahkan Levin tetap di kantor untuk mengerjakan tugas lain. Dia hanya mengajak serta seorang sopir.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi itu. Sebelum benar-benar memasuki area pembangunan, Albert dan Akira mengenakan pakaian khusus untuk keselamatan kerja. Akira menemani Albert berkeliling melihat proses pembangunan gedung. Perempuan itu bahkan juga membuntuti dan menjadi pendengar setia ketika Albert asik berbicara dengan sang arsitek.

Cuaca hari itu cukup terik. Akira merasa kepanasan. Apalagi di sebuah tanah lapang dengan bangunan yang belum beratap membuat dia tidak menemukan tempat untuk berteduh. Sementara Albert masih saja terlibat dalam perbincangan yang tidak membuat Akira berminat.

Di bawah panasnya matahari, tubuh Akira mulai terasa tak nyaman. Beberapa helai rambutnya sudah menempel di dahi dan leher yang basah oleh keringat. Semakin lama dia bahkan mulai merasa pusing.

Akira mengira dirinya mengalami dehidrasi tapi ia juga lupa tidak membawa air minum. Perlahan tubuh itu terasa semakin lemah. Pandangan Akira mengabur dan gadis itu akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Akira yang jatuh pingsan sontak mengalihkan perhatian Albert dan beberapa pekerja yang ada di sana. Mereka mulai berkerumun untuk melihat apa yang sedang terjadi. Albert memangku tubuh Akira. Dia dapat melihat wajah gadis itu sudah memucat.

“Akira, kau kenapa? Bangun, Akira. Sadarlah!” ucap Albert sembari menepuk-nepuk sebelah pipi Akira namun gadis itu tak sadar juga.

“Dia pingsan, Pak. Sebaiknya segera di bawa ke rumah sakit,” ujar salah seorang pekerja memberi saran.

“Itu benar. Aku harus membawanya ke dokter,” kata Albert sembari mengangkat tubuh Akira dan menggendongnya. Dia membawa Akira masuk ke dalam mobil dengan tetap memangku tubuh tak berdaya itu di kursi belakang. Albert langsung memerintahkan sopirnya untuk melajukan mobil ke arah rumah sakit terdekat.

Sesampainya di sana, Albert langsung dibantu oleh beberapa petugas untuk memindahkan tubuh Akira pada brankar. Mereka pun membawa Akira untuk ditangani oleh dokter. Albert hanya memberikan penjelasan bahwa Akira jatuh pingsan di tempat proyek. Dokter meminta Albert menunggu di luar ruangan.

Albert menunggu dengan dua sisi perasaan. Satu sisi dia merasa kebingungan atas apa yang terjadi pada Akira. Namun di sisi lain dia juga kesal karena merasa gadis itu sudah membuatnya kerepotan.

Setelah tak lama menunggu, akhirnya dokter yang memeriksa Akira keluar dari ruangan itu dan menemui Albert. Dokter bernama Fariha itu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hingga menyebabkan Akira jatuh pingsan.

“Saya ucapkan selamat dan turut berbahagia untuk anda. Anda tidak perlu khawatir dengan kondisi Ibu Akira. Tapi tolong jaga kesehatan dan pola asupannya dengan baik. Jangan membuat dia terlalu kelelahan,” ujar Dokter Fariha yang tidak dapat dimengerti sepenuhnya oleh Albert.

“Apa maksud dokter berkata seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi pada Akira? Dia sakit apa?” tanya Albert meminta agar dokter itu mengatakan semuanya dengan jelas.

“Bukan sakit. Istri anda saat ini sedang hamil. Kalian akan segera menjadi orang tua.”

Ucapan dokter itu cukup mengagetkan Albert. Bukan karena dokter salah paham mengira dirinya sebagai suami Akira melainkan tentang diagnosa kehamilan itu. Rasanya dia tidak percaya jika Akira sedang hamil. Lebih tepatnya dia gelagapan karena tahu ulah siapa yang membuat Akira harus mengandung.

“Apa dokter bisa memastikan bahwa hasil diagnosa itu benar dan Akira memang sedang mengandung?” tanya Albert ragu.

“Iya, Pak. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa memang istri anda sedang mengandung. Usianya kandungannya memang masih muda dan rentan. Oleh karena itu, saya berpesan agar bapak bisa menjadi suami yang siaga untuk menjaga ibu dan bayinya. Sekali lagi saya ucapkan selamat untuk kabar membahagiakan ini. Kalau begitu saya permisi dulu,” ujar Dokter Fariha yang kemudian melenggang pergi setelah berpamitan.

Albert tak menanggapi ucapan terakhir Dokter Fariha karena terlalu sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri. Dia mengusap kasar wajahnya yang terasa kebas. Jika Akira benar-benar hamil maka kemungkinan besar janin itu adalah anaknya. Darah dagingnya sendiri. Dia masih ingat betul bagaimana dia menjadi orang pertama yang merenggut hal paling berharga dari diri Akira malam itu.

Mendengar keterangan dokter justru membuat Albert gelisah. Dia tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi seorang ayah. Meski dia sadar itu adalah hasil dari perbuatan yang salah. Tapi bagaimana pun juga Akira tidak tahu bahwa Albert adalah pelakunya.

Albert bingung apa yang harus dia lakukan pada Akira setelah mengetahui kehamilan itu. Akira tidak tahu apa-apa dan mungkin hanya menganggap kejadian malam itu sebagai sebuah kecelakaan yang begitu pahit.

Albert mulai khawatir kehadiran bayi itu justru akan menjadi jebakan yang mengikat dirinya lebih jauh dengan kehidupan Akira. Dia tidak mau upaya balas dendamnya sendiri yang justru menjatuhkannya. Dia tidak ingin peribahasa senjata makan tuan berlaku pada dirinya.

Albert masuk ke dalam ruangan setelah seorang suster memanggilnya dan mengatakan bahwa Akira sudah sadar. Setelah Albert masuk, suster itu pergi dan hanya meninggalkan mereka berdua.

“Apa yang terjadi pada saya? Kenapa saya bisa ada di rumah sakit?” tanya Akira kebingungan sembari mengedarkan pandangan ke seluruh sisi ruangan. Dia tidak mungkin salah menduga bahwa tempat itu adalah salah satu kamar di rumah sakit.

“Tadi kamu jatuh pingsan saat kita sedang meninjau pembangunan proyek, jadi aku membawamu ke sini,” jawab Albert.

“Maaf kalau saya sudah merepotkan bapak. Mungkin saya jatuh pingsan karena belum sempat sarapan tadi pagi. Seharusnya bapak tidak perlu membawa saya ke rumah sakit segala,” ujar Akira.

“Tidak, Akira. Kamu pingsan bukan hanya karena telat makan. Ada hal lain yang menjadi alasannya.”

“Apa dokter mengatakan sesuatu? Apa saya mengidap penyakit parah?” tanya Akira merasa ngeri membayangkan hal buruk.

“Dokter mengatakan bahwa kamu sedang hamil.”

Perkataan itu bagai sebilah mata pedang yang melesat cepat dan menusuk ulu hati Akira. Jauh lebih mengerikan dibanding penyakit apa pun yang dia anggap menakutkan. Dia tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang didengarnya sekalipun dia tahu kemungkinan kehamilan itu pasti ada.

“Bapak tidak sedang bercanda atau membohongi saya?” tanyanya dengan nada lemah.

“Untuk apa saya berbohong untuk hal seperti ini, Akira. Tidak ada gunanya bagi saya,” jawab Albert.

Bersamaan dengan itu, Akira menundukkan wajah dan setetes air matanya meluncur dengan bebas. Traumanya tentang kejadian malam itu masih saja membekas. Tapi kini kehadiran janin dalam rahimnya semakin menyisakan kubangan luka terdalam yang tidak akan bisa dia sembuhkan. Setelah hari itu, Akira tidak akan pernah bisa melupakan kejadiaan naas yang menimpanya sekalipun dia sangat ingin untuk menghilangkan ingatan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status