"Ya, halo," jawab Leta tak antusias ketika mendapat panggilan dari rumah sakit."Betul dengan saudara Leta?""Iya, benar saya sendiri. Ada apa ya?" tanya wanita itu penasaran."Pasien yang bernama Mahendra sudah sadar, dan saat ini dia sedang mencari Anda."Tubuh Leta menegang seketika. Apa? Saat ini dia tidak salah dengar, kan?Karena saking terkejutnya, dia tak sadar kalau ponselnya yang tadi ia pegang seketika terjatuh."Apa? Jadi dia udah sadar?" lirih Leta."Halo, apa Anda mendengar suara saya?"Sayup-sayup terdengar suara dari ujung sana, ah ternyata panggilan itu masih terhubung. Mau tak mau Leta kembali memungut ponselnya."Iya, saya akan segera ke sana."Tut, panggilan pun berakhir."Bagaimana ini?" keluh wanita itu.Leta tampak berjalan mondar-mandir, kentara sekali kalau dirinya tengah bingung. Dia sama sekali tak menyangka kalau Mahendra akan sadar secepat ini."Apa yang harus kulakukan?" erangnya lagi."Leta!""Ya, Bu, ada apa?" Panggilan ibunya mengagetkan Leta."Ada Lan
Akhirnya Leta mengurungkan niatnya untuk datang ke rumah sakit, dia memutuskan untuk kembali ke rumah.Dia sama sekali tak memedulikan kondisi suaminya saat ini. Suami? Mengingat hal itu membuat Leta tertawa getir.Sebenarnya dia juga malas untuk menemui pria itu. Pria yang sudah menghancurkan mimpi indahnya."Aku tidak peduli dengannya, karena dia ... dia sudah membuatku seperti ini, tapi karena dia juga membuat keadaan abangku sehat seperti semula. Jadi aku harus bagaimana? Bersyukur kah atau bertingkah bodo amat? Arrgghhhh! Apa nggak ada orang sama sekali yang mau bantu aku untuk keluar dari masalah yang rumit ini?" keluh wanita itu seraya memejamkan mata.Leta sangat ingin lepas dari dua pria itu, tapi dia sendiri juga bingung harus melakukan apa."Kok cepat banget perginya?" tanya Ibu Leta."Iya, Bu. Langit lagi ada urusan. Aku masuk dulu ya, Bu," jawab wanita itu tanpa basa-basi.Belum mendapat jawaban dari ibunya, Leta sudah pergi terlebih dahulu. Saat ini suasana hatinya benar
[Datang ke rumahku!]Leta menggigit bibir bawahnya ketika membaca pesan dari Langit. Jelas saja dia ragu untuk datang ke rumah pria itu.[Aku tidak menerima penolakan! Kalau kamu tidak datang, rasakan akibatnya!]"Arrgghhhh! Lagi-lagi kamu itu mengancam. Aku bisa gila gara-gara kamu, Langit," jerit Leta dengan suara tertahan.Namun, setelah dia pikir-pikir, mungkin inilah saat yang tepat untuk berbicara pada Langit. Ya, dia harus mengakhiri hubungan gila ini dengan Langit maupun Mahendra. Akan tetapi pertanyaannya, apakah Langit akan mengabulkan permintaannya begitu saja?"Apapun keputusannya, aku harus menemui dia. Meskipun terdengar agak mustahil, tapi semoga saja aku bisa lepas dengan mereka," gumam Leta.***Langit tersenyum sinis ketika melihat Leta berada di hadapannya. Lelaki itu duduk tenang sembari menyesap alkohol dan rokok sembari menatap Leta dalam diam."Kau datang juga rupanya," gumamnya.Leta mencengkeram erat ujung bajunya, dia benar-benar takut dengan kondisi Langit s
"Aku mau Leta datang ke sini, bagaimana pun juga buatlah dia ke sini," pinta Mahendra.Pria berusia 35 tahun itu baru saja pulang dari rumah sakit, dan sangat kecewa karena sampai saat ini Leta belum datang menemuinya."Saya sudah menghubungi nomor wanita itu, tapi sama sekali tak direspon, Tuan," sahut Putra.Mahendra mendengkus keras. "Lalu bagaimana dengan Langit, apa dia menyetujui dengan usulku untuk mengambil alih perusahaan itu?""Hem ... untuk itu ... Tuan Langit berkata agar Tuan langsung yang menemuinya. Dia tidak menerima jika ada orang datang mewakili Anda, Tuan.""Cih! Anak menyebalkan itu," gerutu Mahendra.Mahendra melihat sekeliling rumahnya itu, hanya tersisa ini saja yang ia punya, mengingat hal itu membuat dirinya tersenyum getir.Langit benar-benar marah padanya, bahkan tak tanggung-tanggung, Langit mengambil alih perusahaan itu sekaligus jabatannya sebagai atasan digantikan oleh Langit sendiri.Dulu, waktu perusahaan yang Mahendra kelola hampir bangkrut, dia memin
"Lagi berantem sama ibu?"Leta menggeleng. "Cuma pengen diem di sini aja, emangnya nggak boleh?"Satria menghela napas berat. "Kalau kamu kayak gitu udah yakin sih kalau ada apa-apa sama kamu.""Apaan sih, aku tuh cuma pengen main ke sini. Kenapa? Ganggu Abang pacaran ya? Atau jangan-jangan Abang nggak bebas bawa pacarnya ke sini karena ada aku?" sinis Leta.Satria menghela napas gusar. "Kamu kenapa sih, kok sensi banget?"Leta mengedikkan bahunya acuh."Bilang sama Abang, ada masalah apa?" tanya pria itu sungguh-sungguh."Nggak ada, Bang.""Idih, bohong banget. Pasti kamu lagi hindarin masalah, kan?" tebak Satria yang sialnya memang benar adanya.Leta bangkit dari duduknya, lalu mengambil tas dan menyampirkannya di bahu. "Aku pergi," pamitnya."Tuh, kan. Abang lagi tanya loh, Let."Leta menatap Satria sebal. "Nggak ada, Bang. Nggak--""Hai, Sat, aku bawain kamu makan siang nih. Eh, ada Leta ya?"Ucapan Leta terputus karena tiba-tiba saja ada seseorang datang ke rumah tanpa mengetuk p
"Langit."Langit tersenyum sinis ketika mendengar seseorang memanggilnya. Dia sangat ingat betul siapa pemilik suara itu.Langit memberikan kesempatan pada pria itu untuk berbicara.David yang melihat bosnya tidak akan masuk mobil pun langsung kembali menutupnya.Langit bersandar di mobil itu seraya tangannya bersedekap."Kau ingin bertemu denganku?" tanyanya sinis."Kamu kenapa kurang ajar seperti ini padaku, Langit. Aku ini papamu!" sentak pria itu dengan tangan mengepal.Langit berdecak kesal, saking kesalnya dia menendang ban mobil itu. Refleks dia melonggarkan dasinya yang terasa begitu mencekik lehernya."Papa? Papa yang membuat mamaku meninggal karena kecelakaan dan juga kehilangan bayinya? Atau papa yang merebut kekasihku?" tanya pria itu setengah meledek."Kau!" geram Mahendra sambil menunjuk wajah Langit. "Semua itu takdir, kau tidak sepantasnya menyalahiku seperti ini," ucapnya lagi."Aku tidak ingin berbasa-basi, katakan apa yang ingin kamu katakan. Waktuku nggak banyak."
Leta menatap langit-langit kamar itu dengan perasaan tak menentu. Saat ini dia berada di sebuah hotel. Tidak sendiri, dengan Langit tentunya.Sehabis mereka melakukan bercinta, pria itu langsung tertidur dengan membelakangi Leta.Pria itu meminta Leta agar tak meninggalkannya, tetap menemaninya tertidur walau hanya sebentar.Leta mengingat-ingat bagaimana hubungan mereka selanjutnya. Tidak mungkin, kan, kalau mereka terus seperti ini?'Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Apa aku harus pergi sejauh mungkin agar tidak bertemu dengan mereka? Terus gimana dengan ibu dan abang?' batin wanita itu."Tidur!"Leta tersentak, terkejut karena mendengar suara Langit yang begitu menggema.Leta memberanikan diri menatap pria itu, lagi-lagi dia terkejut karena Langit menatapnya begitu tajam."Kenapa kamu nggak tidur? Katanya kamu capek?" tanya Leta memberanikan diri."Kau mengusikku!"Wanita itu mengerutkan keningnya.'Perasaan aku diam-diam aja, dari tadi aku nggak pernah gerak sedikit pun, apa napasku
"Untuk sementara kamu tinggal di sini!"Leta menatap sekeliling rumah itu dengan tatapan tak terbaca. Saat ini mereka sedang berada di rumah Langit, rumah yang tidak diketahui oleh siapa pun.Leta menggeleng, dia tidak setuju dengan ide Langit."Nggak. Aku harus pulang. Nanti ibuku sama abangku nyariin," tolak wanita itu tegas."Aku udah minta izin ke ibumu, dan dia mengizinkan. Kalau kamu ingin aman, maka turuti saja perintahku. Kecuali kalau kamu mau ketahuan oleh ibu dan abangmu kalau kamu sudah menikah, silakan saja," dengkus Langit."Apa maksudmu, Langit? Kamu lagi-lagi mengancamku seperti itu."Langit tertawa sinis. "Harusnya kamu berterima kasih padaku karena kali ini aku sedang berbaik hati padamu. Asal kamu tahu, suamimu saat ini sedang mengintaimu! Silakan saja kalau kau mau pergi," usir pria itu.Leta terkesiap, benarkah apa yang Langit ucapkan? Bagaimana kalau sampai Mahendra datang ke rumah dan memberitahukan semuanya? Ah, bagaimana ini?"Aku harus gimana?" lirih wanita i