Leta tampak gusar, pikirannya terus mengarah ke Langit. Bagaimana mungkin pria itu bisa berpikir bahwa dirinyalah yang mengakibatkan Mahendra kecelakaan.
[Kayaknya seru juga kalau sampai ibu kamu tahu yang sebenarnya. Leta, anak perempuannya menikah dengan seorang lelaki tua. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi dia.]Leta mencengkeram erat ponselnya itu ketika habis membaca pesan yang dikirim oleh Langit."Kali ini apa lagi, Langit? Setelah membuat persyaratan yang nggak masuk akal, sekarang kamu malah mengancamku," lirih wanita itu.[Tidak membalas pesanku berarti kamu sangat setuju dengan usulku.]"Arrgghhhh!" Leta berteriak kencang. Pikirannya kali ini benar-benar buntu. "Aku harus bagaimana sekarang? Kenapa semuanya makin rumit. Aku pikir menikah dengan dia semua masalah bisa teratasi, nyatanya malah beban yang aku pikul semakin besar."Tok ... tok ... tok ..."Leta, kamu nggak apa-apa, kan, Nak?"Leta terkesiap, dia buru-buru membuka pintu kamarnya ketika mendengar suara ibunya."Kenapa, Bu?" tanya Leta."Harusnya Ibu yang tanya, kamu ini kenapa tiba-tiba teriak?" Tika balik bertanya."Oh, itu tadi ... ada kecoa di bawah tempat tidurku, Bu. Aku kaget makanya teriak, hehehe," jawab wanita itu seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ibu kira tadi ada apa. Itu di luar ada yang nyariin kamu, mending kamu samperin sana."Leta mengerutkan keningnya.'Siapa? Perasaan aku lagi nggak ada janjian sama siapa-siapa deh,' batin wanita itu."Kok malah bengong, udah samperin sana.""Siapa, Bu?""Siapa lagi kalau bukan kekasih kamu. Udah sana, ditungguin tuh dari tadi.""Maksudnya Langit?" tanya Leta penasaran.Kali ini Tika yang mengerutkan keningnya, heran saja dengan pertanyaan anaknya yang menurutnya aneh."Memangnya kamu punya pacar lagi selain Langit? Udah sana samperin, nggak sopan ih biarin tamu kayak gitu. Sekarang kamu datangin dia, biar Ibu yang buatkan minum untuk calon menantu Ibu.""Eh, tapi, Bu ...."Belum selesai Leta berucap, Tika sudah pergi dari hadapan wanita itu terlebih dahulu.'Mau apa dia datang ke sini?' batin Leta, heran.Pada akhirnya ia pun pergi mendatangi pria itu, ketika sudah sampai di ruang tamu, Leta melihat Langit sedang asyik bermain dengan ponselnya. Cukup lama ia pandangi pria itu dengan senyum miris.Biasanya jika Langit datang ke rumahnya, pasti pria itu selalu bermanja-manja dan juga curhat padanya tentang pekerjaannya. Ya, Langit memang menganggap Leta adalah rumahnya.Bahkan sampai detik ini dia masih sangat mencintai Langit, hanya saja takdir berkata lain, mereka sudah tidak bisa dekat seperti dulu lagi.Tak lama setelah itu pandangan mereka pun bertemu, membuat Leta sedikit gugup. Leta pun menghampiri Langit."Ada apa kamu datang ke sini? Bukankah kita sudah tidak mempunyai hubungan lagi?" tanya Leta tanpa basa-basi."Kamu pikir aku datang ke sini karena aku masih mengharapkanmu? Jangan terlalu percaya diri, Leta," sahut Langit sinis."Terus kenapa ke sini? Jangan membuat ibuku terlalu berharap ke kamu, Langit.""Ya bagus dong kalau gitu. Aku jadi lebih gampang buat kasih tahu ke ibumu.""Maksud kamu?""Santai dong, kenapa kaget kayak gitu sih," ledek Langit.Pria itu tersenyum licik ketika melihat Leta tampak begitu ketakutan, jelas saja hal itu membuatnya semakin mudah untuk balas dendam."Nggak lucu, Langit," sarkas wanita itu."Aku lagi nggak ngelawak, yang bilang lucu siapa?""Aku mohon jangan berbuat macam-macam di rumahku," mohon Leta, suara wanita itu begitu lirih, seperti terkesan putus asa."Maka turuti permintaanku."Leta menatap Langit dengan tajam. "Aku nggak mungkin menuruti semua itu. Ingat, Langit, permintaan kamu itu sama sekali nggak masuk akal.""Berarti kamu setuju kalau aku memberitahu ibumu perihal apa yang sebenarnya terjadi.""Langit," mohon wanita itu, matanya tampak berkaca-kaca, "aku mohon kasihanilah aku."Langit menghela napas dengan kasar, buru-buru ia membuang pandangannya karena ia sendiri pun tak tega melihat wajah sedih wanita itu."Ucapanku tidak main-main, Let. Kalau kamu mau menuruti permintaanku, aku tidak akan memberitahu ibumu, tapi kalau menolak, rasakan sendiri akibatnya," ucap pria itu dengan suara dingin, tatapannya lurus ke depan."Aku mohon, Langit, jangan seperti ini."Pria itu berdiri dari duduknya. "Jawabannya aku tunggu sampai nanti malam. Leta, apa kamu pikir aku membuat permintaan ini karena aku aku masih mencintaimu? Sama sekali tidak! Aku melakukan semua ini hanya karena ingin balas dendam ke kamu. Aku akan membuat kamu hancur, sama seperti apa yang kamu lakukan, membuat diriku hancur!"Setelah itu Langit pergi meninggalkan rumah wanita itu. Sedangkan Leta, tatapannya tampak begitu kosong. Dia ingin marah, tapi marah pada siapa?"Loh, Langitnya ke mana?" tanya Tika yang membuyarkan lamunan Leta."Udah pergi, Bu." Leta menjawab dengan suara pelan."Loh, kok cepat banget pulangnya?"Leta tak menyahut, dia langsung pergi menuju kamarnya, menutup pintu tak lupa juga menguncinya, dan menangis sejadi-jadinya.***[Aku tunggu jawabanmu, Leta.]Leta membaca pesan tersebut dengan perasaan gamang. Ini sudah malam, dan dia sama sekali belum mengambil keputusan.[Ini adalah terakhir kalinya aku memberimu kesempatan. Jangan sia-siakan kesempatan itu dan aku tunggu kedatanganmu di rumahku.]Leta tertawa sumbang ketika membaca pesan tersebut."Ya Tuhan, kenapa miris sekali hidupku," keluh wanita itu.Setelah berpikir cukup lama, ia pun memutuskan untuk pergi ke rumah pria itu. Leta tak yakin dia mengambil langkah yang salah atau tidak."Kamu mau ke mana, Let?""Aku mau pergi sebentar, Bu. Mau ke rumah Langit.""Tapi ini udah malam loh, Nak.""Nggak apa-apa, Bu. Cuma sebentar aja kok, lagian aku cuma ke rumah Langit aja. Aku pergi dulu ya, Bu, dadah."Tika menghela napas berat ketika Leta sudah hilang dari pandangannya, entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya.***"Akhirnya kamu datang juga." Langit tersenyum menyeringai ketika melihat Leta ada di hadapannya. "Silakan masuk," titah pria itu.Leta pun akhirnya masuk, setelah masuk ke dalam rumah pria itu, dia dikejutkan dengan beberapa botol minuman keras.'Sejak kapan Langit minum seperti itu?' batin Leta."Jadi ... kamu mau ambil jawaban yang opsi ke berapa? Satu atau dua?" tanya Langit tanpa basa-basi.Leta membalikkan tubuhnya, matanya terbelalak ketika Langit berada di belakangnya, sama sekali tak ada jarak di antara mereka. Wanita itu pun buru-buru menghindar."Aku ....""Tidur denganku atau menikah denganku?""Aku pilih tidur denganmu.""Wow." Langit tersenyum penuh kemenangan. "Menjijikan sekali."Leta mengepalkan tangannya, mau mengelak rasanya pun percuma karena apa yang dikatakan pria itu memang fakta, bahkan Leta sendiri pun mengakuinya."Tapi lebih menjijikkan lagi kalau kamu pilih menikah denganku. Jadi ... sekarang tanggalkan pakaianmu."Mata Leta membulat. "Apa maksudmu, Langit?""Bukankah tadi kamu memilih tidur denganku?""Tapi--""Tanggalkan pakaianmu, Leta!"Leta menangis sejadi-jadinya di bawah guyuran air shower. Wanita itu merasa jijik dengan tubuhnya sendiri.Beberapa kali dia menggosok bagian tubuhnya yang usai dicumbu oleh Langit. Beberapa kali digosok bukannya menghilang tapi yang ada tubuhnya malah semakin sakit. Kulit tubuhnya tampak kemerahan bahkan ada juga yang sudah terluka. Namun, semua itu tak sebanding dengan rasa sakit hatinya.Leta masih ingat betul bagaimana Langit terus saja mencacinya ketika pria itu berada di atas tubuhnya."Kau memang wanita menjijikkan, Leta. Kau sungguh wanita murahan. Lihatlah dirimu, bahkan ketika aku menidurimu, kamu sama sekali tak berkutik, kamu hanya pasrah. Dulu, ketika kita masih pacaran aku sangat menyesal karena selalu mendengar kata-katamu untuk tidak menyentuhmu. Tapi kali ini aku sangat bersyukur karena ternyata akulah pria pertama yang menidurimu, hahahaha.""Arrgghhhh!" Leta berteriak kencang ketika bayangan Langit terus saja menghantuinya.Ucapan kasar Langit terus terngiang di tel
Leta tampak berjalan mengendap-endap dari pintu belakang. Ia sangat berharap jika aksinya itu tidak diketahui oleh ibunya. Namun, semua itu hanya hayalan semata. Baru saja dia membuka pintu belakang, dia memejamkan mata ketika melihat ada yang menjulang tinggi tepat di hadapannya."Ibu, hehehe. Ibu ngapain di sini?" tanya Leta kikuk."Harusnya Ibu yang tanya, kenapa baru pulang sekarang? Kenapa pulangnya lewat pintu belakang? Bukankah pintu depan terbuka lebar?"Serentetan pertanyaan ibunya membuat Leta menelan salivanya dengan susah payah."A--aku mau--""Langit dari tadi nungguin kamu, tapi kamu malah mau menghindar dari dia? Di mana letak sopan santunmu itu, Ibu sama sekali tak pernah mengajari kamu seperti itu.""Maaf, Bu. Aku akan segera menemui Langit. Tapi, Bu, aku masih belum mandi, aku malu kalau ketemu sama dia tapi penampilanku seperti ini.""Nggak usah alasan. Biasanya kalau Langit ke sini bahkan kamu baru bangun tidur aja langsung nemuin dia. Cepat lewat pintu depan. Sege
"Apa yang sedang kalian lakukan?"Langit menggeram kesal, dia menoleh ke arah pintu, matanya mendelik tajam ketika melihat seorang pria memakai jas putih tengah menatap ke arah mereka."Sedang main-main," jawab Langit acuh. Pria itu menatap ke arah Leta, yang saat ini penampilannya begitu acak-acakan, "cepat rapikan dirimu, kita pindah ke tempat lain.""Langit, aku nggak--""Apa? Kamu mau melawanku lagi? Ya sudah, lebih baik kita lakukan di sini saja. Kayaknya seru juga karena disaksikan oleh papaku dan dokter. Bukan begitu Pak Dokter?" ujar Langit seraya melepaskan sabuknya.Mata Leta membulat sempurna karena ucapan Langit, ditambah lagi ketika melihat Langit akan melepaskan celananya. Buru-buru wanita itu mencegahnya."Apa yang kamu lakukan, Langit? Jangan gila! Sebaiknya kita pergi dari sini.""Bagus! Itulah yang dari tadi aku harapkan, tetapi kamu selalu mengulur waktu. Pak Dokter, tolong periksa keadaan papaku ya, takutnya malah lebih buruk dari yang sebelumnya. Oh ya, apa Pak Do
Mata Leta perlahan terbuka, ia menatap langit-langit kamar itu dengan samar. Beberapa kali wanita itu mengerjapkan matanya, setelah nyawanya benar-benar terkumpul dia langsung terduduk."Aku di mana?" lirih wanita itu. Ya, dia sudah sadar kalau ini bukanlah tempat tidurnya.Leta mengingat kejadian tadi malam secara perlahan-lahan, tak lama setelah itu dia menutupi mulutnya menggunakan kedua tangannya. Leta langsung menoleh ke samping tempat tidurnya, dan benar saja ada seorang pria yang sedang tidur begitu pulasnya.Leta menggosok-gosok badannya karena merasa kedinginan, detik kemudian matanya membulat sempurna karena tak ada satu pun pakaian yang melekat pada tubuhnya."Astaga! Apa yang kami lakukan semalam. Kenapa aku harus melakukan kesalahan lagi," ucap Leta pelan."Kamu bisa diam nggak sih. Aku lagi tidur, bisakan nggak usah berisik?" omel pria itu dengan mata masih terpejam."Maaf.""Aish! Lebih baik kamu pulang saja," usirnya kemudian."Iya, tapi ... bolehkah aku meminjam bajum
"Nggak ada.""Bohong.""Bener, Bu. Aku nggak ada sembunyiin apa-apa dari Ibu."Tika menghela napas berat. "Ibu tahu kalau kamu lagi bohong."Leta terdiam cukup lama, berpikir jawaban apa yang tepat untuk ibunya."Sebenarnya aku lagi bingung, Bu. Aku sama Langit pacaran udah cukup lama, tapi hubungan kami masih stuck di situ-situ aja," bohong Leta."Apa Langit sama sekali belum pernah membahas untuk ke jenjang yang lebih serius, Let?" tanya Tika penasaran."Dulu sudah, tapi aku yang selalu mengulur waktu. Ditambah lagi dengan keadaan papanya sekarang, pasti itu yang membuatnya terpukul. Aku nggak mau tanya-tanya soal itu, Bu. Saat ini dia lagi fokus pada kesembuhan papanya. Kita doakan saja semoga papanya segera pulih seperti sedia kala." Lagi dan lagi Leta membohongi ibunya.Entah sampai kapan dia akan seperti ini, setidaknya biarkan saja dulu. Suatu saat ia berjanji akan memberitahukan semuanya pada ibunya secara pelan-pelan."Amin. Nanti biar Ibu aja yang bilang ke Langit tentang hu
Usai mendengar perkataan Langit yang begitu kejam, Leta langsung membelakangi pria itu. Menatap ke bawah, melihat pakaiannya berserakan di dekat kakinya.Mata wanita itu berkaca-kaca, sekali mengedipkan mata saja pasti air matanya akan keluar. Namun, sekuat tenaga ia tahan.Buru-buru dia memunguti pakaiannya itu dengan tangan gemetar.Sudah sering kali dia dipermalukan oleh Langit, tapi untuk kali ini ucapan Langit menurutnya sangat menyakitkan."Siapa yang menyuruhmu memunguti pakaian itu?""Kamu sendiri yang bilang kalau tubuhku ini terlalu murah untuk orang sepertimu," sahut Leta dengan suara gemetar."Aku memang bicara seperti itu, tapi aku tidak menyuruhmu untuk memakai pakaianmu," tandas Langit.Leta menghela napas berat. "Sebenarnya mau kamu itu apa, Langit?""Menghukum kamu," ucap pria itu gamblang."Perlakuanmu saja sudah sangat menghukumku, apalagi yang kamu inginkan dariku?""Membuatmu menderita, itulah yang aku inginkan. Seperti itulah aku menderita karena dirimu. Aku tida
"Cepat woi, kalau lama nanti aku tinggal nih," ancam Sisi dari ujung sana."Iya, iya. Sabar dulu, aku lagi siap-siap nih. Jangan bikin aku gugup dong, nanti aku lupa apa-apa aja yang mau dibawa," sahut Leta sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. "Duh, apalagi ya yang aku bawa.""Nggak usah bawa banyak-banyak kali, Let. Kita cuma mau liburan bukan pindah," peringat Sisi."Aish! Apa salahnya kalau aku ingin menikmati masa liburanku, Si. Udah ya, aku mau otw ini. Sampai ketemu nanti." Leta langsung mematikan sambungan teleponnya.Leta tersenyum puas ketika melihat barang-barangnya sudah siap. Dia pun langsung merapikan dirinya lalu keluar dari kamarnya.Wanita itu terkejut ketika membuka pintu, ibunya berdiri tepat di depan pintunya."Ibu kenapa berdiri di sini? Ngagetin aja," ucap Leta seraya mengusap dada."Kamu jadi pergi?" Bukannya menjawab, Tika malah balik bertanya.Leta mengangguk. "Jadi, ini udah siap-siap tinggal berangkat. Kenapa, Bu?"Tika tampak terlihat resah dengan
"Hai."Tanpa Leta sadari, dia menjatuhkan ponselnya dari samping telinganya, dia memundurkan langkahnya tatkala melihat Langit berjalan mendekatinya."Ke-kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Leta gugup, dia terus saja memundurkan langkahnya hingga terpojok di tembok.'Ah! Sial! Kenapa bisa ada tembok di belakangku?' keluh wanita itu dalam hati."Kenapa? Hak aku dong mau ke mana pun," sahut Langit santai. "Kenapa kau menghindar dariku, apa kamu takut? Santai dong, aku nggak bakal gigit kamu kok." Langit menutup pintu itu diselingi seringai tajam."Jangan macam-macam, aku akan teriak!" ancam Leta.Langit mengedikkan bahunya acuh. "Teriak saja, memangnya aku takut?""Sekali lagi aku tanya, ngapain kamu ke sini?" tanya Leta, dia berusaha mengalihkan perhatian agar Langit tak berbuat macam-macam padanya."Sekarang aku yang tanya. Kenapa kamu pergi sejauh ini tanpa sepengetahuanku? Pasti kamu ingin menghindariku, kan?" Langit balik bertanya."Aku mau ke mana pun itu bukan urusanmu, apa hak