"Kamu nggak percaya sama aku? Orang jelas-jelas dia ngomong kayak gitu sama aku kok. Baru aja dia matikan sambungan teleponnya."David menghela napas berat. Bukan karena dia tak percaya dengan apa yang Sisi ucapkan, tapi dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikir yang Leta ambil.Kalau sampai dia memberitahu hal ini pada Langit, sudah pasti pria itu tidak akan terima. Namun, kalau dia tidak memberitahukan pada Langit, sangat disayangkan karena ini adalah informasi yang sangat penting."Kamu sudah tahu dia akan tinggal di mana?" tanya David dengan suara tenang."Nggak, soalnya belum nanya," sahut Sisi dari ujung sana dengan acuh."Kenapa nggak nanya?"David tampak kesal."Kamu sendiri nggak ada nyuruh," balas Sisi dengan sewot."Astaga!"Seandainya saja Sisi ada di hadapannya sekarang, mungkin sudah dia cekik leher wanita itu dari tadi."Apa? Kamu mau marah-marah lagi sama aku? Silahkan saja, setelah itu aku nggak mau lagi kerjasama sama kamu, aku nggak mau lagi kasih tahu ke k
"Kapan kamu akan pergi dari sini?" tanya Leta ketus.Langit menghela napas berat. "Beberapa bulan ini kita tidak bertemu, ternyata membuat kamu keras kepala ya? Tapi aku suka. Apapun pada dirimu tidak akan pernah membuat perasaanku luntur."Leta membuang pandangannya ke sembarang arah, jujur saja dia tidak suka dengan ucapan Langit yang begitu manis.Rasanya percuma saja, sedari tadi Leta mengusir Langit sampai mulutnya berbusa mengatakan pergi, tetap saja Langit bebal. Pria itu tidak mau pergi juga dari sini."Sebenarnya aku tuh bingung sama kamu. Dulu, kamu mengatakan tidak membutuhkan aku lagi, tapi sekarang kenapa nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba kamu datang kembali? Sebenarnya apa tujuan kamu? Apa kamu mau mengambil anak ini dari aku?" "Harus berapa kali sih aku bilang? Aku nggak pernah bicara kayak gitu. Semua itu hanya karangan abang kamu aja," sangkal Langit.Leta tersenyum remeh. "Kalau memang itu akal-akalan abangku, lalu kenapa kamu tidak membantah? Seolah-olah ka
"Semua sudah saya telusuri, tapi memang tidak ada tanda bukti-bukti jejak kejahatan mereka, Tuan."Mahendra mendesah berat. Kecewa karena sampai detik ini Putra belum juga mendapatkan bukti bahwa Langitlah yang membuatnya kecelakaan."Kamu yakin?" tanya pria itu memastikan."Iya, Tuan. Cctv pun sudah saya cek, tapi memang tidak ada yang mencurigakan. Saya rasa kecelakaan Tuan itu memang murni kecelakaan, bukan campur tangan orang lain."Mahendra menggeleng tegas, jelas saja dia tidak terima dengan ucapan Putra."Nggak! Aku yakin banget kalau dia dalang dari semua ini!" sentaknya."Kalau memang Tuan Langit pelakunya, pasti akan meninggalkan jejak, Tuan. Tapi bukankah malah sebenarnya Tuan sendiri yang ingin menghabisi nyawa Tuan Langit? Atau mungkin itu karma untuk Tuan karena ... sudah berniat--""Tutup mulutmu, sialan! Aku nggak butuh ucapanmu yang nggak bermutu itu!" Suara Mahendra tampak menggelegar."Saya minta maaf, Tuan.""Kalau begitu kamu kembali cari-cari bukti bahwa Langit m
"Kamu beneran ingin niat serius dengan adikku?" tanya Satria memastikan."Menurutmu? Apa mengajak seorang wanita menikah adalah sesuatu lelucon?" tanya Langit balik."Aku serius bertanya padamu!" geram Satria."Aku pun demikian. Meskipun kamu menentang kami, aku tidak akan menyerah. Selama ini aku membiarkanmu membawa Leta ke mana pun kamu pergi, tapi sayangnya kamu menyia-nyiakan kesempatan itu. Kamu selalu bilang kalau Leta tidak butuh aku, dan anak yang dikandung Leta tidak membutuhkan peran ayahnya. Nyatanya apa, bahkan kamu sendiri pun tidak mampu untuk membiayainya." Langit tersenyum sinis.Sedangkan Satria, pria itu tak terima dengan ucapan Langit. Dia mengepalkan tangannya."Atas dasar apa kamu bicara seperti itu, huh?!""Kenapa? Nggak terima? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Apa selama ini kamu peduli dengan Leta? Kalau aku nggak ada di tempat yang sama dengan Leta waktu itu, aku pun nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dia. Asal kamu tahu, beberapa kali bidan men
"Pak Langit, ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan Anda."Kepala Langit mendongak dari tumpukan surat di meja kerjanya dengan dahi berkerut."Siapa pun itu, aku tidak akan menerima tamu ketika sedang bekerja, aku harap kamu tidak melupakan tentang hal itu." Sudah menjadi kebiasaan bagi Langit, ketika sedang bekerja dalam keheningan, dia tidak suka jika ada yang mengganggunya.David Pratama, asisten Langit, yang saat ini tengah berdiri di ambang pintu ruangan pribadi Langit, tampak gelisah. Seperti ada yang ingin dia sampaikan, tapi takut jika akan dibentak oleh Langit."Tapi, Pak. Dia adalah ...."Langit menaruh pulpen itu dengan sentakan kasar, membuat ucapan David menggantung, David meneguk salivanya dengan susah payah."Jangan membuatku mengulangi kata-kataku lagi, David," geram Langit dengan suara tertahan. "Usir dia!""Baik, Pak."David keluar dari ruangan itu dengan sedikit kesal karena Langit tidak membiarkan dirinya berbicara sampai akhir.Fokus langit kembali pada sura
Leta duduk termenung di koridor rumah sakit. Ucapan Langit tadi terus terngiang di indera pendengarannya. Wanita itu seketika menggeleng seraya tertawa miris. "Nggak, Langit yang aku kenal bukan seperti itu. Aku tahu betul sifat Langit itu seperti apa. Yang tadi itu bukan Langit, yang tadi itu orang lain, bukan pria yang aku kenal," gumam wanita itu. Mau menyangkal seperti apapun kenyataannya yang tadi dia temui adalah Langit, pria yang dulunya begitu hangat, mempunyai senyum yang begitu menawan, siapapun akan terpesona pada pria itu, termasuk Leta sendiri. Namun ternyata sifat pria itu berubah dalam sekejap, Leta tahu betul mengapa saat ini Langit berubah menjadi dingin. Ya, karena semua itu ulah Leta sendiri."Apakah sekarang kamu menganggap diriku sebagai wanita yang begitu hina, Langit? Andai kau tahu apa yang aku rasakan saat ini, apakah kamu masih seperti ini? Kamu benar-benar berubah, kamu bukan Langit yang selama ini aku kenal," lirih wanita itu.Leta tersentak ketika mende
"Gimana, Let? Apa Langit bisa dihubungi?"Leta menggeleng lemah, ia terduduk lesu seraya menutupi seluruh wajahnya menggunakan kedua tangannya."Pasti dia lagi sibuk banget, makanya nomornya nggak aktif," lirih wanita itu."Ya udah, kita tunggu nanti aja ya. Semoga aja nomor Langit bisa dihubungi dan mau bantu kita," tutur ibu Leta, Tika.Leta tak menjawab, dia hanya mengangguk."Semoga aja Satria nggak apa-apa ya, Let. Tega banget sih yang nabrak abang, kenapa dia nggak bertanggung jawab sama apa yang dia perbuat," keluh wanita paruh baya itu."Iya, Bu. Semoga aja abang nggak apa-apa. Kita banyak-banyak berdoa aja ya, Bu, semoga ada keajaiban datang.""Keluarga Satria?"Leta dan ibunya, Tika, langsung berdiri dari duduknya ketika ada dokter yang menghampiri mereka."Iya, Dok, bagaimana dengan kondisi anak saya?""Begini, Bu, luka yang anak beliau alami cukup parah, kita harus segera operasi secepatnya. Bagaimana, Bu?" tanya dokter tersebut.Tanpa berpikir panjang, Tika langsung menga
"Bagaimana keadaannya, Dok?""Setidaknya ada kemajuan, Tuan."Langit menatap Mahendra dengan tatapan dingin. Sangat tak disangka, ternyata papa tirinya masih mempunyai keinginan untuk hidup. Padahal dia selalu berdoa agar Mahendra cepat mati."Bagus," katanya dengan suara tajam. "Selain aku, apa ada orang lain yang datang menjenguknya?""Ada seorang wanita muda yang datang menjenguknya, Tuan. Bahkan wanita itu juga yang melunasi tagihan Tuan Mahendra."Langit bisa menebak kalau wanita yang dokter maksud itu pasti Leta. Mengingat cek itu, membuatnya tersenyum menyeringai.'Masih ada cara lain untuk menghancurkanmu, Tuan Mahendra. Okelah Anda masih bisa hidup, tapi lihat saja, aku akan membuat hidupmu seperti berada di neraka,' batin pria itu dengan senyum licik."Apa dia sering datang ke sini?" tanya Langit lagi.Dokter itu tampak terdiam sejenak, kemudian menggeleng pelan. "Tidak, Tuan. Dia jarang menjenguk. Itupun kalau tidak karena pihak rumah sakit yang menghubunginya terlebih dahu