Share

Bab 6 Tidak Jantan

"Iya, Mas. Saya baru saja pulang."

Nadia berbicara di balik telepon. Dia sedang duduk bersandar di punggung tempat tidur. Dia berada di dalam kamar tidurnya. Menselonjorkan kakinya, rata dengan tempat tidur. Memanjakan dirinya dengan sikap santai di kamar yang tak terlalu lebar.

"Mas, sudah pulang kerja?" tanya gadis itu, tentu saja masih di jalur komunikasi elektronik. Ada sedikit nada manja terdengar dari suara Nadia.

"Oh. Iya... iya, Mas. Enak dong, siang sudah pulang, kan jadinya tidak diatur-atur orang lain karena punya usaha sendiri,” jelasnya lagi. Nadia berusaha mengungkapkan pendapatnya.

Gadis berambut panjang itu mengambil bantal dan meletakkan di atas pahanya. Tangan kirinya tanpa sadar memutar-mutar ujung sarung bantal yang berada di paha, berwarna merah muda. Sesekali dia menekukkan batang lehernya bertingkah sedikit aneh, terlihat dari gerakannya. Wajahnya terlihat sumringah.

"Enggak boleh gitu, Mas. Pamalih, Mas Am sudah dikasih rezeki sama Allah punya usaha toko buah. Harus disyukuri.” Lagi-lagi Nadia menjelaskan dengan suara yang sedikit manja. Nadia masih memutar-mutar ujung sarung bantal. Terkadang dia menariknya sesekali.

"Loh, kok gitu. Kok membandingkan dengan pekerjaan aku. Kalau aku mas ya, tidak masalah nanti jika suamiku punya pekerjaan yang beda dariku. Asal pekerjaannya itu halal." Keningnya berkerut ketika mengucapkan kalimat itu. Tangannya berhenti memelintir ujung sarung bantal. Dia memasang wajah serius saat ini. Dia ingin mendengarkan lawan bicaranya lebih baik karena itulah dia memberhentikan gerakan tangannya.

"Ya sudah. Kalau datang ya datang saja, Mas. Kabari aku kalau mau datang. Tapi dari dulu ngomongnya mau datang ke rumah, mau kenalan dengan Bapak dan Ibuku, eh... enggak pernah nongol tuh." Nadia cemberut. Kali ini nada bicara sedikit jengkel, namun terselip nada manja di sela-sela nada jengkel itu.

Lawan bicara Nadia adalah seorang wiraswata bernama Amrun. Dia mengenal lelaki itu dari temannya. Kebetulan teman dekatnya adalah adik dari lelaki itu.

Belum sampai setahun dia kenal dekat dengan lelaki yang menelponnya saat ini. Mereka sering berteleponan tapi tidak pernah bertemu. Urusan tak pernah bertemu, tidak dipermasalahkan oleh Nadia. Tapi dia mempermasalahkan janji laki-laki itu yang mau datang ke rumahnya tapi tidak pernah terealisasi. Nadia bukan mau dipinang tapi dia ingin lelaki itu datang ke rumah dan berkenalan dengan kedua orang tuanya.

Sejak kecil sampai remaja, bahkan sampai sekarang ini Nadia tidak pernah pacaran. Karena dia sibuk menafkahi diri sendiri dan terkadang memberikan penghasilannya kepada Ibu dan adik-adiknya ketika dia sudah bekerja. Kalau dahulu dia sibuk mencari uang untuk biaya sekolah dan kuliahnya. Karena itulah, dia tidak pernah memikirkan akan dirinya yang tidak pernah pacaran.

Ayah dan Ibunya tahu karakter anak gadis mereka, yang sibuk mencari uang untuk biaya sekolah dan biaya kuliah. Itu dulu. Tapi setelah dia bekerja, ayahnya menyarankan untuk mencari lelaki pilihan saat ini dan cepat menikah. Karena pikiran untuk membiayai kuliah sudah tidak ada lagi.

Umurnya sudah hampir dua puluh lima tahun sekarang ini, beberapa bulan lagi genaplah seperempat abad dan perkataan ayahnya terngiang di telinganya.

Lelaki yang bernama Amrun adalah lelaki pertama yang disukainya. Dia biasa berteman dengan lelaki dan perempuan, tapi sepertinya beda dengan Amrun. Dia sangat suka dengan Amrun walaupun bertemu hanya ketika dia mengunjungi rumah sahabatnya dan Amrun tentu saja ada di rumah itu. Mereka tidak pernah pergi berdua, berjalan atau makan atau nonton bioskop atau layaknya seperti orang pacaran, bahkan status Nadia dan Amrunpun bukan pacaran saat ini.

Beberapa kali lelaki itu meneleponnya dan ditanggapinya dengan sopan. Tapi sepertinya Amrun tak seperti yang diharapkan. Bukan tipe pria pemberani yang memperjuangkan orang yang dicintai.

Nadia sangat mengimpikan seorang laki-laki yang datang ke rumahnya. Berani berkata kepada Ayah dan Ibunya bahwa dia mencintai Nadia dan lelaki itu berjanji akan menjaga Nadia setelah menikah nanti. Hal itu yang sangat diimpikannya.

Kehidupan tidak seperti sinetron atau drama korea tapi dia yakin lelaki yang selalu diucapkan dalam setiap do’anya akan datang dan mengisi hari-hari berikut bersama dirinya.

Cukup lama dia berbicara melalui telepon dengan Amrun, seperti biasa. Akhirnya mereka menyudahi pembicaraan itu, tentu saja dengan kalimat yang dipegang Nadia yaitu 'Mas akan datang ke rumah, nanti'. Tapi entah kapan. Saat ini Nadia tidak ingin terlalu berharap banyak dari lelaki itu.

Nadia bergegas untuk membersikan wajahnya agar bisa tidur dengan tenang. Dia duduk di meja rias yang tak jauh dari tempat tidurnya. Mengambil beberapa kapas dan meletakkan cairan tonic pembersih wajah di kapas yang sudah diambilnya. Kemudian membersihkan wajahnya yang putih cerah, menghadap ke cermin di kaca rias.

Terpikir olehnya, apakah Mas Amrun memang akan menjadi suaminya. Atau Tuhan mempersiapkan lelaki lain untuk dirinya. Dia harus segera menikah. Itu yang terpikir olehnya saat ini karena ayahnya sudah menyarankan hal itu. Tapi... bagaimana mau menikah, pacar saja tidak punya. Hubungannya dengan Amrun juga tidak jelas. Apakah mereka hanya berteman atau memang benar pacaran. Amrun tak pernah menyatakan cinta kepadanya. Amrun juga tidak pernah memenuhi janjinya untuk datang ke rumah, walaupun sudah hampir lima kali lelaki itu berjanji kepadanya. Dia menjadi pesimis dengan Amrun karena beberapa janji yang tak ditepati.

Nadia melakukan rangkaian membersihkan wajahnya, tapi pikirannya melayang ke hal lain. Lebih tepatnya bukan ke hal yang dikerjakannya saat ini, tapi memikirkan masa depan. Masa depan dengan siapa yang akan dijalaninya nanti. Bagi dirinya tidak masalah jika dia berkarir dan beberapa tahun lagi akan menikah, tapi keluarga terutama Ayahnya mendesak agar dia segera berumah tangga.

Gadis bertubuh semampai dengan tinggi di atas rata-rata gadis Indonesia, bangkit dari tempat duduknya menuju ke tempat tidur. Merebahkan dirinya dengan perlahan ke tempat tidur yang beralaskan kain berwarna coklat dipenuhi bunga-bunga berwarna krem sebagai pembungkus tempat tidur. Menepuk bantal yang berada di atas tempat tidur dan menarik guling yang sudah berada di sampingnya. Sarung bantal dan guling berwarna senada dengan bed cover tempat tidur itu.

Tiba-tiba dia berbalik, melihat ke arah meja kaca rias tempat dia duduk tadi. Dilihatnya meja itu masih berantakan dengan kapas dan beberapa botol pembersih yang belum disusun rapi. Belum dikembalikan ke posisi semula. Nadia lupa untuk membereskan meja rias itu. Dia mendesah. Menyesali sikapnya yang sembrono, tapi dia membalikkan kembali badannya dan melanjutkan niatnya untuk  ke alam mimpi. “Besok saja aku bereskan, gampanglah itu,” gumamnya. Kemudian dia berusaha memejamkan mata dan berharap bermimpi indah malam ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status