Share

Bab 7 Dingin

Nadia menyetir mobilnya secara perlahan, berbelok ke kanan menuju pintu masuk utama rumah sakit. Mobil diberhentikan pas di bawah gapura utama bertuliskan RUMAH SAKIT Dr. OEN SOLO BARU dan dibawah ada tulisan berukuran kecil dibandingkan dengan tulisan di atas tadi yaitu SUKOHARJO.

Mesin otomatis untuk parkir juga pas berada di bawah gapura itu. Nadia menghentikan mobil untuk mengambil kertas parkir. Gadis itu membuka kaca jendela dan menekan tombol warna hijau di mesin parkir otomatis, kemudian dia mengambil kertas parkir yang menyembul keluar dari satu bibir di mesin itu.

Nadia kemudian kembali menutup kaca jendela mobil dengan menekan satu tombol sekali, menjalankan kendaraan itu dan mengambil ke kanan, mengarah ke lapangan parkir.

"Besar rumah sakitnya ya, Dek?"

Seorang perempuan yang duduk di kursi tengah untuk penumpang tiba - tiba berkata. Dia sedang memeluk seorang anak laki - laki yang duduk disebelahnya.

"Iya, Kak. Dokter spesial anak yang aku bilang kemarin, hari ini, jadwal prakteknya ada di rumah sakit ini."

Nadia masih sibuk mencari lapangan parkir. Kepalanya sudah beberapa kali melongok ke sana kemari.

"Mudah-mudahan cocok Si Rafi ini dengan dokter itu. Aku sudah bingung Nad."

Perempuan yang bertubuh bongsor itu mengelus kepala anak laki-laki yang tertidur dipangkuannya.

"Mudah-mudahan, Kak. Kita kan usaha terlebih dahulu," balas Nadia.

Sepertinya dia sudah menemukan lapangan parkir dan juga menemukan tempat yang cocok untuk memarkirkan mobil hitam itu. Dia memilih tempat tak jauh dari gedung rumah sakit. Perlahan dia mengepaskan badan mobil di garis kuning yang tertoreh di icon blok yang menjadi alas lapangan parkir. Gadis itu mematikan mesin setelah merasa mobilnya pas sesuai dengan prosedur memarkirkan mobil.

"Ayo, Kak."

Gadis itu bergegas turun dan disusul oleh perempuan yang merupakan kakak kandungnya.

Rumah sakit yang memiliki fasilitas layaknya hotel itu, sangat bersih, nyaman dan menawan dari desain yang terlihat. Nadia telah duduk di ruang tunggu yang seperti lobi hotel. Kakak dan ponakannya juga berada di situ bersama Nadia.

"Sepertinya mahal bayaran di rumah sakit ini." Perempuan di samping Nadia berbisik. Anaknya menempel di pangkuannya.

"Ah... sudahlah, kak. Sekarang ini yang harus kita pikirkan adalah kesehatan Rafi. Uang bisa dicari, kak."

Nadia menjelaskan kepada perempuan yang berumur sekitar 30 tahun. Dia tak melanjutkan kalimat berikutnya.

"Muhammad Rafi!"

Seorang perawat perempuan berteriak.

"Ya."

Nadia menjawab dengan spontan.

"Ayo, Kak." Gadis itu bergegas mengajak kakaknya untuk segera mendekati perawat yang memanggil mereka.

Perawat perempuan itu telah berada di depan ruangan khusus dokter spesialis anak. Tertulis di samping pintu tulisan "dr. Arkan Wibowo."

Perawat perempuan yang berdiri di pintu masuk ruangan, mempersilakan ketiga orang yang di depannya untuk masuk ke dalam ruangan.

Nadia masuk terlebih dahulu. Kakaknya menyusul dengan menggendong anak laki-lakinya.

Perawat perempuan yang masuk belakangan, mempersilakan mereka duduk di kursi di depan meja praktek.

"Dok, pasien yang bernama Muhammad Rafi sudah masuk," nyata perawat perempuan itu. Dia terlihat masih muda.

Seseorang yang dipanggil dengan kata dokter, masih membelakangi keluarga pasien yang menunggu, dia berdiri sekitar 5 langkah dari meja pasien. Dokter itu seorang laki-laki. Dari belakang terlihat dadanya yang bidang.

Sang dokter berbalik. Matanya melihat ke arah 3 orang yang ada di depan meja prakteknya. Dengan wajah tanpa senyum dia duduk di meja kursi berwarna biru, menghadap ke pasien.

"Apa keluhannya?"

Dia bertanya tapi tak menatap ke pasien. Dia sibuk mencari pulpen yang tak tahu di mana keberadaannya.

Kening Nadia sedikit berkerut. Dia berusaha mengingat sesuatu. Dia menatap lekat ke wajah dokter laki-laki yang ada di hadapannya.

"Anak saya demam, Dok. Sudah berobat berulang kali tapi sembuh sebentar setelah itu kembali lagi. Berulang-ulang seperti itu."

Perempuan di samping Nadia yang merupakan kakaknya menjelaskan hal itu secara gamblang. Terdengar sedikit ada kesedihan dari nada bicaranya.

"Saya periksa dulu ya, Bu?"

Dokter laki - laki itu berdiri dengan cepat. "Silakan... anaknya dibaringkan di sini."

"Silakan bu."

Perawat yang masih muda itu menyarankan kembali kepada perempuan yang merupakan ibu dari pasien, mengikuti perintah lembut dari dokter laki-laki itu.

Kakak Nadia bangkit dari tempat duduknya. Dia membawa anak laki-laki yang digendongnya menuju tempat tidur yang dibalut sprai berwarna biru muda.

Sedangkan Nadia, masih duduk di tempat awal dan memikirkan sesuatu. Sangat jelas terlihat dari wajahnya yang putih, jika dia sedang memikirkan sesuatu. Gadis itu masih tetap mengawasi gerak-gerik dokter laki-laki yang akan memeriksa keponakannya.

"Ada keluhan lain, Bu?"

Dokter spesialis anak itu bertanya dengan nada rendah dan sopan.

"Susah makan, Dok. Sudah hampir 3 bulan ini."

Perempuan yang bertubuh bongsor itu meletakkan anaknya di kasur, lepas dari gendongan. Perlahan dia menidurkan anak laki-lakinya.

Perawat perempuan membantu ibu pasien membetulkan posisi anaknya di tempat tidur.

Dokter laki-laki yang memiliki tinggi sekitar 178 cm memeriksa anak laki-laki yang sedang berbaring di tempat tidur. Dia memasang eartips stestoskop di kedua telinga, menempelkan diaphragm yang mendatar di dada anak laki-laki yang terlihat kurus.

"Vira, coba cek suhu tubuhnya!" perintah dokter laki-laki itu.

Perawat perempuan yang bernama Vira mengangguk dan segera mengambil sesuatu ke lemari yang berada di belakang. Tak berapa lama dia kembali dan memasukkan termometer ke mulut anak laki-laki tersebut.

Dokter yang memiliki kulit berwarna  kuning langsat itu terdiam, mendengarkan detak jantung yang diperiksanya lewat stetoskop. Gerakan berikutnya, dia melepaskan eartips dari kedua telinga dan melingkarkan stetoskop ke leher. Ruas jari telunjuk dan jempol dari tangan kanan memegang dagu. Sedangkan tangan kiri mendatar di dada, menahan siku dari tangan kanan. Dia memikirkan sesuatu dengan serius.

"Sejak kapan dia mulai demam?"

Dokter itu menoleh ke arah ibu pasien. Posisi tangannya masih tetap sama.

"Mulai panas seperti ini dari 3 bulan yang lalu, Dok. Setelah dibawa ke dokter umum sebelumnya, panas turun kemudian naik lagi. Sudah 5 kali seperti ini."

Dokter yang memiliki alis mata yang lebar itu mengangguk. Dia menatap perawat yang ada di sampingnya.

"39 derajat, Dok," nyata perawat itu. Tanpa ditanya dia tahu maksud dari dokter yang satu ruangan dengannya.

"Oke."

Dokter laki-laki itu berjalan menuju kursi yang berada di depan meja prakteknya. Dia mengucapkan kata itu untuk perawat dan ibu pasien.

"Sudah, Dok?" tanya kakak Nadia.

"Ya, sudah."

Dokter itu duduk kembali di kursi.

Kakak Nadia kembali menggendong anaknya dan kembali ke posisi semula di samping Nadia yang sedari tadi terdiam dan melihat gerak-gerik dokter spesialis itu tanpa berkata sedikitpun.

Tiba-tiba... Pintu kaca ruangan itu terbuka. Masuk seorang perawat laki-laki yang berwajah tampan berkulit putih dengan tinggi yang tak kalah dengan dokter spesial yang ada di dalam ruangan itu.

Nadia melihat ke arah pintu yang terbuka, lalu dengan spontan...

"Ah... Ternyata!"

Nadia mengucapkan kalimat itu tanpa sadar dan menjentikkan jarinya. Kedua jari yang dijentikkan terdengar lumayan keras. Semua orang yang berada di ruangan melihat ke arahnya.

Dokter laki-laki itu melirik ke arah gadis yang duduk di sebelah ibu pasien. Tatapan aneh terpasang di wajah.

"Maaf... saya mengigau."

Nadia terbata. Dia merasakan beberapa pasang mata melihat aneh ke arahnya, termasuk kakak kandungnya.

"Alasan apa itu? Mengigau?"

Akhirnya otak Nadia menemukan jawaban yang dicarinya selama beberapa menit. Awalnya dia seperti mengenal dokter laki-laki ini tapi tak tahu di mana pernah bertemu. Dia berusaha berpikir keras mengingat akan hal itu. Dan ketika perawat laki-laki masuk ke ruangan, dia baru menyadari pernah melihat mereka berdua di lapangan parkir rumah  sakit tempat dia bekerja. Karena itulah secara spontan dia mengeluarkan kalimat itu. Otaknya telah menemukan yang dicari.

Dokter spesial anak yang berada di depan Nadia tidak lagi memedulikannya. Dia fokus menulis ke suatu kertas yang diberi oleh perawat perempuan pada saat Nadia menjentikkan jarinya. Sedangkan perawat laki-laki yang baru masuk langsung terdiam dan melihat ke arah Nadia ketika peristiwa aneh itu terjadi. Lalu perawat laki-laki yang memakai seragam putih secara keseluruhan  menuju meja yang berada di sudut ruangan dan mengerjakan sesuatu.

"Baik. Saya beri obat terlebih dahulu. Jika masih berlanjut seperti ini, silakan hubungi saya. Ada dugaan yang belum berani saya nyatakan."

"Kenapa begitu, Dok? Dugaan apa?"

Nadia bertanya dengan rasa penasaran yang besar.

"Saya belum berani menyatakan dugaan itu, saya takut salah karena harus dikonfirmasi dulu dengan data yang lengkap."

Dokter itu menjelaskan kepada Nadia dengan perlahan.

"Saya dokter umum, Dok. Saya bekerja di Rumah Sakit Dr. Moewardi."

Nadia menjelaskan dengan gamblang.

"Kalau begitu, anda mengerti maksud saya mengapa saya tidak mengutarakan dugaan saya ini."

Dokter spesial yang memiliki rambut sedikit ikal menjelaskan dengan suara yang tegas.

Nadia menelan ludah. Dia menyunggingkan sedikit senyum yang terpaksa.

"Kamu kenapa sih, Nad? Tingkah kamu aneh?"

Perempuan yang bongsor itu mengejar Nadia yang keluar dari lift menuju lantai bawah. Dia sedikit berlari padahal sedang menggendong anak laki-lakinya.

"Tidak apa-apa, Kak."

Nadia berjalan cepat. Ada rasa sedikit kesal di hati.

"Sudah kamu simpan kan, kartu nama dokter itu?" Kakaknya bertanya lagi.

"Sudah."

"Seorang dokter punya sikap dingin seperti itu, siapa yang akan mengunjungimu kembali?"

Nadia berjalan menapaki lorong rumah sakit dengan langkah kaki yang cepat. Kakak kandungnya tertinggal di belakang dan berusaha untuk mengejar adiknya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status