Tiba-tiba, Wiliam mendekat ke arah Gisella. Dia menarik tangannya dan membisikkan sesuatu tepat di telinga gadis itu. "Dengar ini, aku tidak akan pernah menceraikanmu! Aku ingin kau terus hidup bersamaku dalam lembah kesengsaraan yang sudah kupersiapkan dengan matang! Jika kau mengucapkan hal itu lagi, aku tak segan-segan akan menhadapinya, mencekikmu seperti sebelumnya, kau paham?!" geram pria itu dengan nada rendah dan penuh penekanan Mendengar hal tersebut, Gisella mengerjapkan matanya. Mau apa sebenarnya pria iblis ini? Dalam novel dia menyiksa Gisella karena wanita itu tidak ingin bercerai. Lalu, sekarang? Sudah minta cerai malah tidak boleh! Selain sifatnya yang seperti iblis, otanya juga kosong melompong! Batinnya dalam hati.
"Kau ingin tahu, aku mau apa? Aku mau kau menderita dan mati di tanganku!" gertak Wiliam. Lalu, dia meninggalkan Gisella yang berdiri kaku di tempatnya. Mati di tanganku! Gisela mencoba mengingat semua kejadian itu, cerita itu. Walau hanya sebatas tulisan dan kata-kata, Gisella merasa emosional dan sakit hati atas kenyataan yang menimpa sang tokoh utama. Mati di tangan suaminya sendiri dalam keadaan mengandung buah hati mereka. Air matanya luruh begitu saja. "Tenang saja, Gisella. Kita akan pergi jauh dari manusia iblis itu! Tak akan kubiarkan dia membunuhmu, lalu membiarkan kisah ini berakhir tragis! Pegang janjiku, Gisella!" gumam Gisella lirih sambil mengusap air matanya kasar.Club, indonesia || 23: 00 PM Bising dan riuh adalah hal yang pas untuk menggambarkan suasana pada malam hari ini. Alunan musik Du bersenandung merdu di telinga para penikmat pesta malam. Para wanita seksi terlihat melenggak lenggokan tubuhnya di area dance floor. Sementara itu, para lelaki tengah sibuk dengan nikotin, alkohol, dan wanita bayaran mereka. Tak terkecuali dengan keempat orang pria di ujung ruangan yang sedang menikmati suasana club kelas reguler. Mereka adalah Wiliam, Gio, Zaki, dan Hilmi. Entah terkena genjutsu mana, sehingga keempat orang itu lebih memilih duduk di kelas reguler. Padahal, biasanya mereka selalu memesan ruangan VIP. Ngomong-ngomong, saat ini adalah acara rutinan untuk berkumpul setiap malam minggu. Minuman keras dari berbagai merek telah tersedia di atas meja. Tidak lupa pula ada para wanita cantik yang menjadi dayang untuk malam ini. "Ck! Apa ini? Kenapa kau malah memesan kelas reguler? Di sini sangat berisik dan tidak higienis!" decak Hilmi memulai percakapan. Zaki menaruh gelas vodkanya dengan agak kasar. "Diam dan nikmati saja! Ada acara lelang wanita malam ini. Konon katanya, ada yang masih virgin," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata. Mendengar ocehan dari kedua sahabatnya itu, Wiliam dan Gio hanya bisa saling berpandangan. Sejujurnya, mereka berdua sedang tidak tertarik untuk bermain malam ini. Ditambah lagi, wiliam dan Gio juga sudah punya kekash. Ralat, satunya lagi sudah beristri. "Kalian tidak tertarik, Bro? Oh, dan siapa ini? Adayang sudah menikah, tapi masih sering ke club!" sindir Zaki sambil terkekeh. Sementara itu, pria yang disindir hanya bisa mendengus kesal. Kebetulan sekali, di antara ke-4 orang tersebut, hanya wiliam saja yang sudah menikah. "Ck! Kau tahu sendiri hubunganku dengan gadis jelek itu bagaimana? Dia sungguh membuatku kesal!" jawabnya sambil bersungut-sungut. Hal tersebut membuat Hilmi terkikik. "Ah, bagaimana kalau aku saja yang menjadi suaminya? Berikan saja dia padaku, Dude!" ucap Hilmi yang tiba-tiba angkat suara. Dulu candaan itu adalah sebuah ide yang menarik bagi wiliam. Namun, dia dulu berkata jika gisella meminta cerai baru pria itu akan memberikannya untuk sang sahabat. Tetapi, mengapa sekarang rasanya berbeda? Wiliam merasa tidak ingin memberikan gisella pada siapa pun. Dia tidak rela! Em, ini mungkin karena kebenciannya pada gadis itu. Mungkin juga karena dia belum menghancurkannya sampai titik terendah. Makanya, dia merasa tidak rela sekarang. Mungkin saja, sih! "In your dream, Bastard!" desis Wiliam yang membuat menganga ketiga sahabatnya. "C'mon, ada apa dengan dirimu? Apa jangan-jangan kau sudah jatuh cinta pada gadis yang kau anggap jelek dan membosankan itu?" tanya Wiliam menggoda, lalu disambut dengan gelak tawa dari yang lainnya. "Cinta? Cintaku hanya untuk prilli, bukan gadis kampungan itu. Aku hanya tidak rela mainanku direbut orang. Mainan yang ingin kuhancurkan sampai mati di tanganku sendiri!" sergah Gisella dengan tatapan tajam. Hal tersebut berhasil membuat para sahabatnya bungkam. "Kau sungguh kejam sekali! Jangan sampai kau malah makan umpan sendiri dan berbalik jatuh cinta pada gadis itu," tukas Gio yang kini ikut dalam pembicaraan. Pria itu mulai merasa bahwa pembicaraannya semakin menarik dan berbobot. "Kalau aku jatuh cinta pada gadis bodoh itu, Hotel Pangeran akan menjadi milik kalian!" jawab Wiliam sambil mengeluarkan smirk, serta membuat taruhan yang sangat fantastis. Hotel pangeran adalah hotel bintang 5 yang dibangun oleh mendiang kakek Wiliam-Tuan Alli, sang konglomerat terkaya di ibu kota..Di sebuah tempat yang bahkan tidak tercatat dalam peta Swiss, seorang pria duduk di atas ranjang, mengenakan hoodie gelap dan syal tipis untuk menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu sudah tidak asing, meskipun kini lebih kurus dan ada bekas luka samar di pipi kirinya.Wiliam.Ia tidak mati. Ia hanya disembunyikan, dijauhkan, agar para musuh yang masih tersisa percaya bahwa semuanya telah selesai. Tapi bagi Wiliam, semuanya belum berakhir. Masih ada satu hal yang belum ia lakukan: mengembalikan kebahagiaan Gisella dan membimbing Arxavie.Pintu kamar diketuk.“Masuk,” ucap Wiliam, tanpa menoleh.Suara langkah pelan terdengar. Dan detik kemudian, suara yang sudah lama ia rindukan akhirnya memecah udara.“Kalau kau ingin tetap menyamar, setidaknya jangan memakai parfum khasmu.”Wiliam membeku.Perlahan ia menoleh.Gisella berdiri di sana. Mengenakan mantel putih, rambutnya kini lebih panjang, dan matanya—mes
Kuil Valerium, 06:33 AMMatahari belum sepenuhnya terbit. Kabut dingin masih menggantung di antara pilar-pilar batu kuno Valerium.Namun di tengah aula utama, tiga sosok sudah berdiri: Wiliam, Gisella, dan Arxavie. Ketiganya menatap ke depan, pada dinding batu besar yang menjulang tinggi dengan ukiran aneh yang memancarkan cahaya keemasan samar.Itulah Pintu Eden.Bukan sembarang pintu. Tapi sebuah gerbang kuno yang hanya akan terbuka oleh “yang membawa darah dua dunia”—mereka yang lahir dari garis manusia dan keturunan purba.Arxavie berdiri di tengah, antara kedua orang tuanya. Ia menatap pintu besar itu, lalu menengadah pada ayah dan ibunya.“Apa... aku bisa?” bisiknya.Wiliam mengangguk pelan. “Kau anak kami, Arxavie. Kau lebih dari cukup.”Gisella menggenggam tangannya. “Apa pun yang terjadi nanti, kami bersamamu.”Arxavie menelan ludah. Kemudian, ia berjalan perlahan ke depan, mengikuti pola cahay
Wiliam duduk memandangi langit dari jendela kaca. Napasnya berat, dadanya sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya—ia benar-benar merasa seperti ayah... dan gagal.Langkah kaki lembut terdengar dari belakang. Gisella masuk perlahan, tubuhnya dibalut jubah Valerium yang hangat, tapi matanya masih menyimpan banyak luka.Ia berdiri diam di dekat Wiliam.“Apa kau... masih akan tetap diam?” tanyanya pelan. Suaranya nyaris patah.Wiliam tidak langsung menjawab. Hanya memejamkan mata. Hanya suara detak jantungnya sendiri yang menggema dalam kepala.“Kalau aku mulai bicara... aku takut semuanya akan runtuh,” katanya akhirnya. “Kau. Aku. Arxavie. Dan semua yang sudah kita pertahankan selama ini.”Gisella tertawa kecil. Pahit.“Semuanya sudah runtuh sejak hari kau memilih menghilang dan membiarkanku menangis di depan makam kosong.”Ia duduk di kursi sebelahnya.“Kenapa, Wiliam? Kenapa kau lakukan itu? Kenapa k
Lokasi: Valerium, kota tersembunyi di bawah lapisan es abadi di Pegunungan Ural.Waktu: Hari ke-5 sejak Arxavie menghilang.❄️ Scene: Pintu Gerbang ValeriumUdara di sini membeku seperti kematian. Arxavie berjalan perlahan menuruni tangga batu yang dipahat dari dinding-dinding es ribuan tahun lalu. Gema langkah kakinya beradu dengan keheningan yang ganjil—sunyi, namun seolah banyak mata tak kasat mata yang memperhatikan.Di hadapannya, sebuah pintu raksasa dengan simbol bercahaya: sebuah mata dengan dua lingkaran dan satu panah menembus dari bawah."Yang membawa darah Cahaya Terakhir, hanya dia yang boleh masuk."Tangan Arxavie menyentuh permukaan pintu. Dan saat itu juga, pintu batu itu bergetar, lalu terbuka sendiri. Cahaya biru menyelimuti tubuh Arxavie sejenak, dan dunia berubah. Ia masuk ke dimensi lain—sebuah ruang antara waktu dan kenyataan.🌀 Scene: Kota Tanpa WaktuDi dalamnya, Arxavie melihat bangunan-bangunan transparan
Lokasi: Pegunungan Alpen, Swiss. 5 Tahun Setelah Insiden Prilly.Waktu: 06:00 PagiEmbun masih menggantung di dedaunan saat cahaya fajar menyusup dari balik kabut tebal. Di sebuah rumah kayu yang berdiri di ketinggian hampir 3.000 meter dari permukaan laut, suasana damai terasa mengisi udara. Di sinilah keluarga kecil itu tinggal—Gisella, Wiliam, dan Arxavie.Arxavie kini telah berusia 9 tahun. Tak lagi bocah lemah dan rapuh, kini ia tumbuh sebagai anak yang tenang, cerdas, dan... anehnya terlalu bijak untuk anak seusianya. Kadang, bahkan Wiliam merasa ia sedang berbicara dengan seseorang yang jauh lebih tua.Pagi itu, Wiliam tengah menyeduh kopi. Gisella berdiri di dekat jendela, melihat Arxavie yang duduk di tepi danau, bermeditasi. Mata anak itu tertutup, tangannya terbuka, dan udara di sekitarnya perlahan membentuk kristal es, meski matahari mulai naik.“Dia melakukannya lagi,” gumam Gisella, lirih.Wiliam ikut menatap. Lalu menar
Lokasi: Markas Cadangan Seraphim (bunker bawah tanah milik Wiliam) Waktu: Pukul 03:12 dini hari Gisella duduk di sisi tempat tidur Arxavie yang kini tertidur pulas setelah sempat mengalami kejang aneh. Di dalam tidur itu, tubuh anak itu tampak tenang… tetapi di balik kelopak matanya yang terpejam, matanya bergerak cepat—tanda mimpi yang terlalu dalam, terlalu jauh… terlalu nyata. Gisella meremas selimutnya kuat-kuat. Perasaannya gelisah sejak ledakan gudang tadi malam. Wiliam selamat. Tapi belum juga menghubungi langsung. Padahal... dia berjanji akan langsung datang. Tiba-tiba, lampu ruangan berkedip. Suara gemuruh lembut terdengar seperti getaran tanah jauh di bawah. Gisella menoleh ke monitor keamanan. Semua kamera di sektor D... padam. "Frey! Apa yang terjadi?" Gisella berteriak ke arah bodyguard wanita yang berjaga. Wanita itu segera meraih headset. "Ada gangguan sinyal. Seperti…