Waduh, oleng Guys :D
Siang harinya saat makan siang tiba, Revan heran dengan sikap murung Bella. Biasanya ia ceria. "Kenapa Bell, ada masalah?" Bella menyadari kalau ia terlalu fokus pada perasaannya sendiri dan membuat Revan khawatir. "Hehe... enggak, cuma kepikiran sesuatu. Em, nanti kamu gak perlu jemput aku ya. Aku ambil cuti di warung makan. Mau jalan sama temen." Revan mengangguk, agak kecewa. Padahal ia ingin mengajak Bella ke suatu tempat. "Oh malam mingguan?" tanya Revan. "Iya hehe..." "Gak sama Pak Regan?" "Enggak, dia keknya lagi sibuk." Revan hanya mengangguk-angguk saja. ••• Hari Sabtu datang lebih cepat dari yang Bella harapkan. Ia berharap waktu melambat, karena hatinya masih kacau. Tapi janji tetaplah janji, dan Yasha terlalu baik untuk diabaikan. Pagi itu, ia mengenakan atasan putih polos dan celana jeans biru gelap. Anting bunga sakura kecil berwarna pink, kalung polos pemberian Regan, dan aksesoris sederhana lain. Ia memakai sepatu flat putih dan tas selempang kecil
Aku setia sama kamu. Tapi kamu gak percaya. Dan Revan… dia percaya. Kata-kata Bella terus berputar-putar dalam benak Regan. Malam itu, setelah Regan termenung. Ia pergi mencari Ronald di Bar untuk curhat. Meskipun Ronald tidak menyetujui hubungan Regan dengan Bella, tapi Ronald juga tahu kalau temannya sudah jatuh cinta dia akan benar-benar menggunakan perasaannya. Sayangnya jatuh cintanya Regan ditujukan kepada Bella--gadis biasa yang tak mungkin bisa ia miliki. Kini mereka ada di sofa ruangan private yang paling mewah karena bar itu milik Ronald. "Jadi lu bingung kenapa?" "Gue bingung banget. Secara nggak langsung ke nyakitin Bella setiap hari. Gue cemburu sama dia tapi faktanya kami nggak ada status yang jelas." "Ya lu harus nahan rasa cemburu itu. Lu yang udah milih untuk punya hubungan seperti itu sama Bella, jadi lu yang harus lebih kuat nahan diri juga. Jadi lu juga harus tahu konsekuensinya kalau Bella juga berhak ngejalanin hidupnya sama cowok lain, bahkan
Bella membeku. Ia bahkan baru masuk ke dalam. “Aku kerja,” jawab Bella tenang. “Jam segini? Sama cowok itu?” Regan menunjukkan ekspresi tegas. Bella menahan napas. “Aku kerja. Bukan selingkuh. Kita juga bukan pacaran, Regan. Kamu lupa?” Regan mencengkeram lengannya. “Kamu itu milik aku. Jangan sok jadi single.” Bella menepis tangannya. “Aku bukan milik siapa pun.” Regan tak menjawab. Matanya memerah, giginya terkatup rapat. Tapi Bella tak peduli. “Cukup.” Ia merasa punya tempat untuk lari. Punya dua orang yang membuatnya merasa hidup. Yasha dan Revan, dua nama yang tidak pernah menyakitinya, tidak pernah mengontrolnya. Dan malam itu… ia sadar satu hal, jika ia ingin keluar dari semua ini, jika ia ingin bebas, maka ia harus tahu siapa Revan sebenarnya. Dan untuk itu, ia akan bertanya. Dengan atau tanpa jawaban yang menyakitkan. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, tubuhnya terasa berat. Perasaan lelah yang selama ini ia tahan akhirnya pecah. Air mata yang s
Setelah istirahat itu, Bella duduk kembali di mejanya. Tangannya menari di atas keyboard, tapi pikirannya terseret ke arah lain. Revan. Ia menggigit ujung pulpen, termenung. Ia menyalahkan diri sendiri. Ia lupa bertanya pada Revan apakah ia dari dunia nyata. Tapi, bagaimana kalau Revan malah bereaksi seperti Regan? Itu yang membuatnya makin sedih. Ia tahu semua terdengar gila. Siapa yang bisa percaya kalau seseorang berasal dari dunia nyata dan masuk ke dunia novel? Jika saat diberitahu Revan tak percaya, dan ia harus mengalami penolakan semacam itu lagi, ia belum tentu siap. Beberapa waktu ini, Revan tak hanya lebih perhatian—ia juga semakin sering tersenyum. Bahkan hari ini, senyumnya terasa begitu tulus. Hangat. Tapi juga penuh rahasia. Apakah dia tahu sesuatu? ••• Malam harinya, Bella kembali menjalani rutinitasnya mencuci piring di warung makan sederhana yang letaknya cukup tersembunyi di ujung gang belakang. Ia menyingsingkan lengan baju, menyabuni piring dem
Keesokan harinya, Regan sudah berangkat ke kantor. Bella baru sempat membalas pesan dari Yasha. Ia bangun kesiangan. Kepalanya masih berat, tubuhnya pun terasa lemas. Ia sempat mengecek cermin—mata sembap, rambut acak-acakan. Bella || Maaf ya Yas, aku ketiduran semalam. Nggak sempat bales. Ia mengirim pesan itu sambil duduk di tepi ranjang. Ponsel diletakkan di pangkuan, menatap kosong ke jendela. Tentu saja ia tak mungkin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi semalam. Bahwa dirinya dipeluk, disentuh, dan disetubuhi oleh pria yang sudah punya tunangan. Dirinya sendiri bahkan muak saat mengingatnya. Ia menolak keras praktik dunia per-pelakor-an, tapi sekarang ia adalah pelakor secara teknis. Andai ia punya kuasa, ia akan membunuh Regan saat itu juga, saking kesalnya. Namun, jelas ia akan dipenjara seumur hidup dengan kondisinya yang hanya orang biasa. Tak lama kemudian, Yasha membalas. Yasha || "Gpp. Aku cuma khawatir aja. Kamu keliatan nggak baik2 aja akhir2 ini." Be
"Dia itu... suka main cewek." Bella menghela napas kecewa. "Padahal mukanya kek orang bener, green flag." "Ya gimana lagi, dia kaya ganteng. Jadi memanfaatkan privilege-nya buat seneng-seneng sama cewek manapun." "Em...berarti Alex sama Regan juga gitu dong?" "Emang. Lu nggak tahu sih, gimana bejatnya mereka." "tapi kalau Alex, bukannya dia cuma bucin sama pacarnya doang?" "Hem...iya. Cuman, sebelumnya dia juga tukang main cewek." "Kok lu tahu sih? Bukannya kalian kenal justru pas kalian tunangan." "Nggak lah. Sebenarnya kita pernah jadi teman main pas masih TK, sebelum dia pindah ke luar negeri. Terus setahu gue sih dia pacaran sama pacarnya itu udah tiga tahun sejak kelas 2 SMA. Tapi ya gitu, dia bucin banget. Makanya gue nggak punya harapan lebih ke pertunangan ini, karena percuma juga kan nerusin pertunangan sama orang yang hatinya udah punya orang lain--capek banget." Bella pun mengangguk prihatin. "Terus kenapa lo nggak putusin aja sekarang?" "Gue masih punya hati k