Setelah 2 jam perjalanan mereka tiba di rumah sakit besar yang berada di kota sebelah. Adam bergegas membawa Eve ke ruang praktik seorang dokter yang tampaknya sudah sangat dikenalnya.
"Adam, ini dokter kepercayaanmu?" tanya Eve pelan. Adam mengangguk. "Aku cuma mau pastikan kamu baik-baik saja" Tak lama, seorang dokter pria paruh baya masuk ke dalam ruangan dengan senyum ramah. "Adam! Lama nggak ketemu. Siapa ini?" tanyanya, melirik Eve dengan penuh ketertarikan. "Ini manajerku, Eve" jawab Adam. "Dia tiba-tiba mual dan muntah. Aku mau tahu dia kenapa atau sakit apa dok" Sang dokter mengangguk dan segera melakukan pemeriksaan mendetail. Eve merasa sedikit canggung karena ini pertama kalinya dia diperiksa seintens ini, tapi dia tetap menurut dan mengikuti prosedur yang diminta. Setelah serangkaian pemeriksaan panjang, dokter akhirnya kembali dengan hasilnya.<Eve menatap Adam dengan lembut. “Bukan itu. Aku cuma ingin menyelesaikan semuanya dengan baik. Pagi itu aku langsung pergi gitu aja, dan Alex juga langsung mengusirku ketika dia baru saja bangun” Adam memejamkan mata sejenak sebelum menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi aku ikut" Eve mengangkat alis. “Adam—” “Ini bukan tawaran Eve” Adam menatapnya serius. “Aku nggak bakal ngebiarin kamu sendirian ketemu sama dia lalu berubah fikiran dan.... berakhir meninggalkanku" ucapnya dengan suara lirih di bagian akhir kalimatnya. Eve yang mendengar ucapan lirih Adam tersenyum tipis lalu memberi isyarat pada pria itu untuk lebih mendekat padanya. Adam yang mengerti menurut dan mencondongkan tubuhnya, memudahkan Eve untuk melingkarkan kedua lengannya di tubuh Adam. "Aku nggak mungkin kembali padanya Adam. Kami tidak pe
Eve yang sedang menyeruput sup hampir tersedak. Dia buru-buru meletakkan sendoknya dan menoleh ke sekeliling, memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka lalu menatap Adam dengan mata membesar. "Adam! Kalau ada yang dengar gimana?" Adam tertawa renyah. "Kalaupun ada yang dengar juga nggak papa. Semua juga tau turn on karena pasangan sendiri di pagi hari itu hal yang wajar" Eve terdiam selama tiga detik sebelum memalingkan wajah menutupi semburat merah di kedua pipinya. "Kamu kayak gitu karena kita udah jadi pasangan? Perasaan kemarin pagi nggak begitu deh kamu." Adam mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai dengan santai. "Kemarin juga seperti itu" akunya dengan nada datar. "Cuma aku nggak berani bertindak seperti tadi pagi aja, khawatir kamu ilfeel" lanjutnya Eve terkikik
Eve langsung diam. Dia sudah cukup tahu betapa keras kepalanya seorang Adam. Setelah beberapa saat tanpa perlawanan, Adam tertawa kecil. "Nah gitu dong. Lebih enak kan?" Eve hanya mendengus. Tapi harus diakui, kehangatan Adam membuatnya merasa nyaman. Beberapa detik kemudian, Adam tiba-tiba bicara lagi. "Eve" "Hmm?" "Kamu yakin nggak nyesel kan ya?" Eve diam sejenak sebelum menjawab, "Tanya lagi besok pagi. Kalau aku masih di sini dan belum kabur, berarti aku nggak nyesel" "Deal" Adam tertawa pelan dan mengecup puncak kepala Eve hangat.
Adam tertawa renyah, kembali menjadi Adam yang biasa. "Nggak Eve. Aku nggak mau kamu kecapekan. Jadi kamu cukup mantau aku dari rumah aja mulai sekarang. Aku pergi dulu ya, kamu baik-baik di rumah" Cup! Tanpa aba-aba Adam mengecup kening Eve singkat lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan sebelum Eve tersadar dan berteriak protes. ***** Siang harinya Eve tidak bisa tidur siang. Dia berbaring di ranjang, menatap langit-langit dengan perasaan yang tak menentu. Percakapan dengan Adam tadi pagi terus terngiang di kepalanya. Kata-katanya, tatapan matanya, bagaimana dia mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan Alex merebutnya… Sejak kapan Adam menjadi bagian dari hidupn
Eve tersenyum kecil menahan tawa mendengar ucapannya, bisa-bisanya pria ini masih mengatakan bayi 'kita' di saat seperti ini. "Aku nggak bisa menjanjikan apapun Adam. Aku... aku nggak tahu...." ucapnya pelan, dia sendiri juga masih belum yakin dengan perasaannya. Adam menghela nafas panjang, lalu tersenyum kecil. “Ya udah, aku nggak bisa maksa juga. Tapi kalau nanti kamu udah tahu jawabannya, kasih tahu aku ya?" Eve hanya mengangguk pelan, dan mereka kembali duduk di sofa depan televisi. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di antara mereka. Keheningan yang menggantung di udara bukan sesuatu yang canggung, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Setelah beberapa saat, Adam tiba-tiba berkata, “Aku sangat membencinya" Eve menoleh. “Alex?” A
"Pergi sana! Nggak usah drama!" Eve langsung mendorong Adam menjauh. Adam tertawa kecil lalu bangkit dan mencium puncak kepala Eve singkat sebelum berlari cepat ke kamar mandi. Sementara itu, Eve memejamkan mata dan tersenyum kecil. Jika terus menghadapi Adam yang seperti ini Eve yakin hatinya akan mencair dalam waktu yang tak lama. ***** Pagi harinya, Eve terbangun lebih dulu. Biasanya dia bukan tipe orang yang bangun pagi dengan penuh energi, tapi pagi ini berbeda. Mungkin karena semalam dia tidur dengan cukup nyaman... atau karena ada sosok di belakangnya yang masih memeluknya erat. Eve melirik ke belakang. Adam masih tidur, wajahnya tenang, dan nafasnya teratur. Tapi... ada sesuatu yang aneh. "Adam..." Eve mengerutkan dahi, mencoba menarik tangann