Setelah mencuci piring bekas sarapan Adam, Eve mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan ke ruang tamu di mana Adam sudah menunggunya di sofa seraya memainkan ponselnya.
"Udah selesai?" tanyanya tanpa menoleh, tatapan pria itu tetap terpaku pada ponselnya.
Eve menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa jengkelnya. 'Sedikit apresiasi tidak akan membunuhmu Tuan Adam'
"Ya, sudah" jawabnya singkat.
Tanpa berkata apa-apa lagi Adam berdiri dan berjalan menuju koridor, memaksa Eve untuk mengikuti di belakang. Mereka melewati beberapa ruangan sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah pintu besar dengan ukiran modern. Adam membuka pintu itu dan masuk, sementara Eve berdiri terpaku di ambang pintu, matanya melebar saat melihat isi ruangan di dalamnya.
'Astaga'
Ruang ganti Adam dua kali lipat lebih besar dari kamar kos Eve. Di dalamnya ada rak-rak kayu tinggi yang dipenuhi jas, kemeja, celana, dan sepatu yang tersusun rapi berdasarkan warna dan jenis. Di sisi sebelah lainnya ada meja panjang dengan beberapa laci yang kemungkinan merupakan tempat aksesoris dan dasi disimpan.
"Jangan cuman melongo di sana, keliatan banget miskinnya" suara menyebalkan Adam membuyarkan keterkejutan Eve. "Kamu bisa mulai dari bagian sini"
Adam berjalan ke salah satu rak besar dan menunjuk pada deretan jas yang tersusun rapi dalam berbagai warna.
"Pastikan jas hitam ini digantung terpisah dari yang lain. Aku nggak suka kalau bahannya kusut" ucapnya dengan nada dingin.
Eve menatap jas-jas itu dengan alis berkerut. "Bukannya itu udah tersusun rapi?"
Adam menoleh dengan tatapan tajam. "Aku ingin lebih rapi lagi"
Eve menghela napas pelan, lalu mengulurkan tangan untuk mulai mengatur jas-jas itu sesuai keinginan Adam. DIa memisahkan jas hitam ke bagian tersendiri, memastikan jarak antar hanger cukup agar bahannya tidak terlipat atau saling menempel. Sesekali dia melirik Adam yang kini berdiri di belakangnya, mengamati pekerjaannya dengan ekspresi kritis.
"Jangan terlalu dekat, tapi juga jangan terlalu jauh" gumam Adam sambil menyipitkan mata. "Dan jangan lupa, hanger yang digunakan buat jas hitam harus seragam. Aku nggak suka kalau bentuk hangernya beda-beda"
Eve menggertakkan giginya dalam hati, 'Ini sih bukan perfeksionis tapi menyebalkan!' batinnya kesal tapi tetap menuruti perintah Adam. Setelah memastikan jas hitam telah tersusun sesuai standar perfeksionis Adam, Eve beralih ke bagian rak lainnya.
"Kemeja putih harus dipisahkan berdasarkan model kerahnya" lanjut Adam. "Jangan campur yang formal dengan yang kasual"
Eve hampir ingin membuka mulutnya dan bertanya apakah Adam pernah mendengar kata 'kompromi,' tetapi dia menahannya. Gaji dari pria menyebalkan itu masih sangat dibutuhkannya saat ini. Dengan sabar, Eve mulai menyortir kemeja berdasarkan jenis kerah, berusaha sebaik mungkin agar Adam tidak mengeluh lagi.
Setelah hampir satu jam bekerja, Eve akhirnya menyelesaikan tugasnya. Dia mengusap dahinya yang berkeringat ringan, lalu berbalik menghadap Adam yang kini tengah memeriksa hasil kerjanya dengan tatapan teliti.
"Bagus" ucap Adam akhirnya, meski nada suaranya masih terdengar datar.
Eve hampir ingin tersenyum lega, sampai kemudian Adam menambahkan, "Tapi lain kali pastikan hangernya menghadap ke arah yang sama"
Senyum lega Eve menguap begitu saja mendengarnya. 'Serius?'
Tapi Eve hanya mengangguk, menahan diri untuk tidak melontarkan keluhannya. "Baik Tuan Adam"
Adam tidak menanggapi dan berjalan keluar dari ruang ganti, meninggalkan Eve yang masih berdiri di sana dengan hati sedikit kesal.
"Astaga, dia benar-benar bertingkah layaknya seorang raja aja" gerutunya kesal.
Tapi Eve tidak punya waktu untuk mengeluh lebih lama. Ketika dia baru saja akan keluar dari ruangan itu, Adam kembali memanggilnya.
"Eve, siapkan ruang kerja untuk meeting siang ini!" teriaknya dari ruang tamu keras. "Dan pastikan kopiku dibuat dengan takaran yang tepat. Jangan sampai salah"
Eve menutup mata dan menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kesabaran yang tersisa sebelum melangkah menuju ruang tamu untuk menghampiri Adam dan menyampaikan tujuannya bekerja pada pria menyebalkan itu
Sesampainya Eve di ruang tamu, Adam sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangan, tampak santai seperti biasanya.
"Ada apa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Eve meremas jemarinya dan menarik napas dalam, mencoba meredakan kegugupannya. "Tuan Adam, saya ingin meminta sesuatu"
Adam mendongak, menatapnya dengan satu alis terangkat. "Minta apa?"
Eve menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri. "Bisakah Anda membayar gaji bulan ini di awal? Saya memiliki beberapa kebutuhan mendesak"
Adam menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. "Kebutuhan apa?"
Eve menunduk, menghindari tatapan Adam. "Itu urusan pribadi. Aku janji nggak bakal ngundurin diri sebelum sebulan untuk melunasi uang gaji yang Anda bayarkan di awal"
Adam terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan permintaan Eve. Matanya meneliti wajah Eve, mencari tanda-tanda kebohongan.
Setelah beberapa detik yang terasa lebih panjang dari biasanya, Adam menghela napas. "Baik. Aku bakal ngasih bayaranmu di awal. Tapi ingat, kalau kamu mencoba kabur sebelum sebulan, aku akan memastikan kamu membayar setiap dari yang sudah kuberikan"
Eve mengangguk cepat. "Saya mengerti. Terima kasih, Tuan Adam"
Adam kembali fokus pada ponselnya, seolah percakapan tadi tidak pernah terjadi. "Sekarang pergi dan bereskan ruang kerjaku. Aku harus meeting sebentar lagi. Bayaranmu baru aku transfer setelah meetingnya selesai"
Eve menahan diri untuk tidak mendengus kesal dan segera melangkah menuju ruang kerja Adam. Setidaknya masalah keuangannya bulan ini sudah terselesaikan hari ini, fikirnya lega.
*****
Setelah Adam menyelesaikan meetingnya, pria itu segera bangkit dari kursinya dan merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum menoleh ke arah Eve yang sedang membereskan dokumen di meja yang tak jauh dari meja kerjanya.
"Udah masuk kan? Ayo kita pergi" ucapnya singkat.
Eve mendongak dengan ekspresi bingung. "Ke mana?"
"Lokasi syuting" jawab Adam sambil mengambil jasnya. "Ada jadwal syuting drama hari ini, sebagai manager kamu nggak melupakannya bukan?"
Eve mengangguk tanpa banyak bertanya. Meskipun dia masih belajar tentang pekerjaannya sebagai manajer Adam, dia tahu menemani aktor ke lokasi syuting adalah bagian dari tugasnya.
Di dalam mobil menuju lokasi, Adam lebih banyak sibuk dengan ponselnya, sementara Eve hanya duduk diam di kursi penumpang sambil sesekali melirik ke arah jalanan. Dalam hati, dia bertanya-tanya seperti apa dunia syuting sebenarnya. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya mengunjungi lokasi produksi sebuah drama besar.
Setibanya di lokasi Eve langsung disambut dengan kesibukan tim produksi. Kru berlarian ke sana kemari, ada yang mengatur pencahayaan, memeriksa kamera, dan beberapa lainnya sibuk mendiskusikan skenario.
Adam berjalan santai melewati kerumunan orang tanpa terlihat terpengaruh oleh hiruk-pikuk di sekelilingnya. Eve bergegas mengikutinya sampai mereka tiba di area yang lebih tenang, tempat para aktor berkumpul.
seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang sedang berdiri sambil berbicara dengan seorang kru saat mereka lewat. Saat melihat Adam senyumnya melebar, tetapi begitu tatapannya jatuh pada Eve, ekspresinya sedikit berubah.
Wanita itu adalah Zara Everly, seorang aktris yang menjadi lawan main Adam dalam drama ini.
"Adam" sapa Zara dengan nada manis seraya melangkah mendekat. "Kamu akhirnya datang juga"
"Semuanya udah siap?" Adam bertanya datar.
"Tentu" jawab Zara, lalu melirik Eve dengan alis sedikit terangkat. "Dan ini... siapa?"
Eve merasa tatapan Zara menelannya bulat-bulat. Meski wanita itu tersenyum ramah, ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa menusuk.
"Manajer baruku" jawab Adam singkat sebelum berjalan meninggalkan mereka menuju ruang ganti.
Eve menundukkan kepala sopan. "Saya Hawa Everalda. Senang bertemu dengan Anda, Nona Zara"
Zara hanya menatapnya sekilas sebelum tersenyum kecil, senyum yang terasa lebih seperti ejekan daripada keramahan.
"Oh, kamu pasti baru dalam industri ini" ucap Zara dengan nada meremehkan. "Kuharap kamu bisa bertahan lebih lama dari yang sebelumnya"
Eve tidak tahu apakah itu sindiran langsung atau hanya kebetulan, tapi perasaannya mulai tidak enak.
Setelah Adam masuk ke ruang ganti, Zara tiba-tiba menoleh ke arah Eve. "Kamu nggak keberatan kan, kalau aku minta sedikit bantuanmu?"
Eve mengerjap, sedikit terkejut. "Uh... bantuan?"
"Ya, hanya hal kecil. Aku butuh kopi sebelum syuting dimulai. Bisa kamu ambilkan untukku?"
Eve ragu sejenak. Sebagai manajer Adam, seharusnya tugasnya tidak termasuk melayani aktris lain. Tapi karena permintaan Zara terdengar sepele, Eve tidak memiliki alasan untuk menolaknya.
"Tentu" jawab Eve akhirnya.
Namun saat Eve kembali dengan secangkir kopi, Zara malah memberikan tugas lain.
"Ah sekalian, bisa kamu ambilkan skripku? Aku lupa malah menaruhnya di meja sebelah sana"
Eve menurut, tetapi begitu dia menyerahkan skripnya, Zara kembali menugaskannya dengan hal lain seperti mengambilkan selimut, mengatur ulang kursinya, bahkan mengambilkan camilan.
Pada awalnya, Eve berpikir Zara hanya sedang sibuk dan butuh bantuan. Tetapi semakin lama, dia sadar bahwa Zara sengaja menguji kesabarannya.
Saat Eve mengangkat sebuah kotak berisi peralatan make-up yang cukup berat, dia mendengar beberapa kru berbisik di belakangnya.
"Itu manajer barunya Adam kan ya?"
"Kasihan juga, baru datang udah dijadikan pesuruh"
Eve menggigit bibirnya, berusaha menahan kekesalannya. Dia ingin membalas Zara, tetapi dia tahu dia harus tetap profesional.
Namun tepat ketika Zara hendak menyuruhnya melakukan sesuatu lagi, suara dingin Adam terdengar dari belakang mereka.
"Apa yang sedang terjadi di sini?"
Eve langsung menoleh, sementara Zara tersenyum manis seolah tidak terjadi apa-apa.
"Adam" panggil Zara dengan nada manja. "Aku hanya meminjam bantuan manajermu sebentar. Dia sangat membantu, terima kasih Adam"
Adam melirik Eve yang masih membawa kotak make-up berat di tangannya. Matanya menyipit sementara ekspresinya berubah tajam.
"Letakkan itu!" perintah Adam tegas pada Eve.
Eve terkejut tapi segera menurut dan menaruh kotak itu di dekat meja.
Adam kemudian menatap Zara dengan tatapan dingin. "Manajerku bukan asisten pribadimu. Kalau kamu butuh sesuatu, minta pada stafmu sendiri"
Senyum Zara sedikit menegang, tetapi wanita itu pintar menyembunyikan ketidaksenangannya. "Oh, tentu. Aku hanya bercanda Adam"
Adam tidak membalas, hanya menatapnya tajam sebelum berbalik menuju ruang tunggu aktor kembali.
Eve mengikuti di belakangnya, diam-diam merasa lega. Untuk pertama kalinya sejak dia bekerja sebagai manager, dia merasa Adam tidak sepenuhnya menyebalkan.