Eve menghabiskan sebagian besar pagi itu dengan membenahi meja kerja Adam. Dokumen berserakan di atas meja, jadwal yang tidak jelas, dan beberapa kontrak penting yang bahkan belum ditandatangani. Dia bekerja dengan cepat dan efisien, mencoba menata semuanya sebelum Adam selesai dengan naskah di tangannya. Meskipun matanya mulai lelah dan jari-jarinya terasa kaku Eve berusaha keras untuk tetap fokus
Namun belum juga setengah jalan, Adam tiba-tiba muncul di sebelah meja dengan ponsel di tangan. Ekspresinya terlihat tidak senang.
"Nona Eve" panggilnya tajam.
Eve menoleh, entah kenapa merasa gugup. "Ya tuan Adam?"
Adam berjalan mendekat dan menunjukkan layar ponselnya. Di layar itu ada sebuah artikel gosip online yang baru saja dipublikasikan, lengkap dengan foto Adam di sebuah klub malam beberapa hari lalu dengan judul mencolok "Aktor Kontroversional Adam Terlihat Mabuk dan Membuat Keributan di Klub Eksklusif!"
"Ini pekerjaan pertamamu" perintah Adam dengan nada tajam. "Bereskan ini. Sekarang"
Eve menatap artikel itu dengan mulut ternganga. "Tapi saya.... "
Adam mengangkat tangannya, memotong pembelaan Eve. "Saya nggak peduli bagaimana kamu melakukannya. Hubungi media itu, buat mereka menarik artikel ini, atau minimal ubah judulnya. Dan kalau kamu gagal..." Adam mendekatkan wajahnya, menatap Eve dengan dingin. "Kamu tahu di mana pintunya"
Eve merasa seluruh tubuhnya tegang. Dia tahu ini adalah ujian pertamanya. "Baik tuan Adam. Saya akan menyelesaikannya secepatnya"
Setelah Adam kembali ke sofa yang di dudukinya, Eve kembali duduk di kursi, mencoba berpikir. Ini jelas bukan pekerjaan mudah, terutama bagi seseorang yang baru saja masuk ke dunia hiburan seperti dirinya. Dengan napas berat, Eve menyadari bahwa ini bukan sekadar soal pekerjaannya, ini tentang bagaimana bertahan hidup di dunia hiburan yang keras ini. Namun Eve tidak punya pilihan lain selain mencoba.
Eve menghabiskan satu jam berikutnya mencari informasi kontak editor situs gosip itu. Dengan bantuan Clara yang memberikan beberapa nomor kontak, akhirnya dia berhasil menghubungi seseorang yang memiliki otoritas di media tersebut.
Tapi seperti yang sudah diduga, orang di ujung telepon tidak mudah diajak berbicara. "Artikel itu sudah mendapatkan ribuan klik dalam satu jam pertama. Kami tidak akan menariknya" tolak sang editor cepat dengan nada tegas.
Eve mencoba menahan rasa frustrasi yang mulai merambat ke seluruh tubuhnya. "Tapi informasi itu tidak akurat. Adam tidak mabuk dan tidak ada keributan yang dia buat. Ini hanya salah paham"
"Kami punya saksi mata, nona Everalda" balas editor itu datar. "Jika Anda ingin kami menarik artikel itu, tunjukkan bukti bahwa apa yang kami tulis adalah kesalahan"
Eve menghela napas panjang setelah panggilan itu berakhir. Ini lebih rumit dari yang dia bayangkan. Dia tidak punya bukti untuk menyangkal berita itu, ditambah Eve yakin Adam tidak akan mau repot-repot membantunya. Rasa putus asa sempat menguasai dirinya, namun Eve segera mengusirnya. "Tidak ada waktu untuk mundur" pikirnya.
Setelah berpikir keras, Eve mendapat ide. Dia mulai mencari foto atau video yang mungkin diambil oleh pengunjung lain di klub malam itu. Setelah berjam-jam menghabiskan waktu menjelajahi media sosial, Eve akhirnya menemukan sebuah video pendek yang baru diambil semalam. Dalam video itu Adam terlihat sedang berbicara dengan seseorang, dan meskipun dia memegang segelas minuman, Adam terlihat tenang tidak seperti seseorang yang mabuk atau membuat keributan.
Dengan cepat Eve mengunduh video itu dan menghubungi editor kembali. "Saya punya bukti bahwa artikel Anda tidak akurat. Saya akan mengirimkan video ini kepada Anda. Tolong pertimbangkan untuk memperbaiki laporan Anda atau kesalahan anda ini akan saya perpanjang pada pihak berwenang"
Setelah beberapa saat, editor itu akhirnya setuju untuk mengubah judul artikel menjadi sesuatu yang lebih netral "Adam Terlihat di Klub Malam, Penggemar Bertanya-tanya Soal Kehadirannya"
Meski artikel itu tidak dihapus sepenuhnya, perubahan judul sudah cukup untuk meredakan situasi.
Ketika Eve melaporkan hasilnya kepada Adam, pria itu hanya mengangguk singkat. "Setidaknya kamu tidak sepenuhnya gagal" ucapnya dengan nada dingin, sebelum kembali fokus menghafalkan script naskahnya.
Eve melangkah kembali ke meja kerja Adam, merasa lega tetapi juga lelah. Meskipun keberhasilan ini kecil, ada rasa bangga yang mengalir dalam dirinya. Dia berhasil melewati tantangan pertamanya, dan itu memberinya sedikit harapan bahwa dia mungkin bisa bertahan di pekerjaan ini. 'Mungkin pekerjaan ini tak seburuk bayanganku' pikir Eve lega.
*****
Keesokan paginya, Eve baru saja selesai bersiap ketika ponselnya berdering. Nama Adam Valentino tertera di layar, membuatnya tertegun. 'Apa yang membuat atasan barunya itu menelepon sepagi ini?' Dengan rasa penasaran Eve menjawab panggilan itu.
"Eve, cepat ke rumahku sekarang juga! Aku akan mengirimkan alamatnya" begitu panggilan tersambung Adam langsung memerintah lalu menutup telepon begitu saja tanpa menunggu jawaban Eve.
Eve menatap layar ponselnya dengan kening berkerut. 'Apa yang mendesak sekali sampai pria itu memintaku datang ke alamat pribadinya di hari kedua bekerja?' pikirnya. Eve segera menyambar tasnya dan memesan transportasi online menuju alamat yang diberikan Adam cepat.
Ketika tiba di alamat yang dikirimkan Adam sebelumnya, Eve terkejut melihat rumah besar bergaya modern yang tampak megah namun terlihat sunyi. Tidak ada tanda-tanda aktivitas dari luar, hanya halaman yang tertata rapi dan pintu ruang tamu besar yang menjulang tinggi. Dengan ragu Eve menekan bel.
Tidak ada pertanda pintu akan dibuka.
Eve menekan bel lagi, lalu ponselnya berdering dan sebuah pesan masuk muncul dari Adam.
Cepat, Eve memasukkan password pintu yang baru saja dikirimkan Adam padanya.
Eve membuka pintu dan melangkah masuk. Dia disambut dengan interior rumah yang luas dan mewah. Namun rasa kagumnya segera hilang ketika Eve melihat botol air mineral, bungkusan makanan dan pakaian yang berserakan di ruang tamu. Firasat Eve langsung mengatakan ada sesuatu yang tidak beres disini.
Suara gaduh yang terdengar dari arah dapur mengalihkan perhatian Eve, membuat keningnya berkerut dalam.
"Eve! Cepat ke sini!" suara Adam terdengar dari arah dapur, terdengar panik namun dengan nada memerintah seperti biasa.
"Suara piring pecah, suara benda jatuh, lalu.... teriakan?" Eve langsung berlari ke arah suara itu. Begitu sampai di dapur dia terdiam sesaat, mencoba memahami pemandangan di depannya.
Adam berdiri di tengah dapur, mengenakan celemek bergambar kucing yang sama sekali tidak cocok dengan penampilan dan sifatnya. Di lantai ada tumpukan bahan makanan yang berantakan, tepung berceceran, telur pecah, dan... selada yang menempel di langit-langit dapur.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Eve, berusaha menahan tawa sambil memandang kekacauan di hadapannya.
Adam melotot denga wajah merah karena malu. "Aku sedang mencoba memasak omelet. Tapi... mungkin aku sedikit meremehkan tingkat kesulitannya"
Eve menatap bahan-bahan yang berserakan di lantai. "Sedikit?"
Adam mendengus lalu mengangkat wajan yang sudah gosong. "Lihat ini. Bagaimana aku bisa makan benda seperti ini? Ini seperti... sampah yang sedang menyamar sebagai makanan!"
Eve tidak bisa menahan diri lagi dan tertawa kecil, membuat Adam melotot lebih tajam. "Jangan tertawa! Kamu ada di sini untuk membantu bukan untuk mengejek!"
Eve mengangkat tangan, mencoba meredam tawanya. "Oke, oke. Kenapa Anda mencoba memasak? Bukankah Anda punya chef pribadi?"
Adam menggaruk kepalanya, terlihat canggung. "Aku nggak punya chef pribadi. Selama ini managerku yang masak atau pesan makanan. Dan... kupikir karena kamu baru masuk kemarin, jadi aku nyoba masak sendiri. Tapi jelas, itu keputusan yang buruk"
Eve menghela napas panjang, masih tersenyum. "Lalu dimana pembantu anda tuan Adam?"
Adam melipat tangan di dada dan menatap Eve dengan ekspresi datar. "Aku juga nggak mempekerjakan pembantu. Aku nggak suka ada terlalu banyak orang mencampuri area pribadiku. Jadi, manajerku yang biasanya mengurus semuanya"
Eve membelalakkan mata. "Maksud Anda... aku harus membersihkan rumah dan memasak juga?"
Adam mengangkat bahu, seolah itu hal yang wajar. "Iya dong. Apa kamu pikir jadi manajerku cuman ngatur jadwalku doang? Kalau kamu nggak suka, pintunya di sebelah sana"
Eve mengepalkan tangan, mencoba menahan kesal. Dia akhirnya hanya bergumam pelan, "Pantes aja manajernya pada nggak betah. Mereka harus jadi manager, pembantu sekaligus koki juga"
Adam menoleh dan menatap Eve tajam. "Kamu bilang apa tadi?"
Eve tersenyum tipis, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. "Oh, nggak ada. Aku akan mulai sekarang. Apa ada hal tertentu yang harus kulakukan lebih dulu?"
Adam menunjuk ke arah dapur. "Kamu bisa mulai dengan masak sarapan. Aku lapar"
"Okay.Tapi pertama-tama, biarin aku bersihin dapur ini dulu. Kalau nggak omelet Anda berikutnya mungkin akan mengandung tepung mentah dan serpihan piring"
Adam mendengus dan melangkah menjauh dari kekacauan yang dibuatnya, mengamati Eve dari sudut dapur.
Sementara Eve menghela napas panjang dan mulai membersihkan dapur yang berantakan meskipun hatinya dipenuhi rasa frustrasi. 'Ini benar-benar gila. Aku dipekerjakan sebagai manajer, bukan pembantu!' pikirnya, tapi Eve sadar dia tidak punya pilihan lain. Setelah selesai membersihkan dapur, dia mulai memasak omelet untuk Adam.
Saat Eve tengah memasak Adam tiba-tiba muncul di belakangnya, mengamati dengan penuh rasa ingin tahu. "Kamu tahu cara memasak kan?" tanyanya.
Eve melirik sekilas tanpa menghentikan gerakannya. "Tahu. Aku udah biasa masak sejak kecil"
Adam hanya mengangguk lalu menyandarkan tubuhnya di meja dapur sambil terus mengawasi. Eve mencoba mengabaikannya, meskipun kehadiran Adam membuat suasana terasa sedikit canggung. Setelah beberapa menit, omelet sempurna akhirnya selesai. Eve meletakkannya di atas piring dan menyajikannya di meja makan.
"Silakan, Tuan Adam" Eve tersenyum sopan.
Adam duduk dan mulai mencicipi. Setelah beberapa suapan, pria itu mengangguk kecil. "Tidak buruk" ucapnya singkat.
Eve mendesah, mencoba menahan diri untuk tidak membalas dengan sindiran, memilih untuk kembali dan merapikan sisa-sisa bahan di dapur. 'Pantes aja semua manager sebelumnya nggak bertahan lama. Kayaknya aku juga nggak bisa bertahan lama disini, semoga aku bisa segera mendapatkan pekerjaan lain secepatnya' gerutunya dalam hati.
Saat Eve kembali ke ruang makan, dia melihat Adam melahap omeletnya hingga habis dengan senyum puas. Sekilas, ada rasa bangga yang muncul di hati Eve. Setidaknya dia berhasil menyelesaikan tugas kecil pagi ini.
Melihat Eve yang kembali ke ruang makan Adam menatap Eve datar. "Setelah ini kamu harus membantuku mengatur ulang lemari pakaian di ruang ganti. Dan jangan lupa, siang ini ada meeting online dengan sutradara. Kamu harus memastikan semuanya siap"
Eve terdiam, lalu bergumam pelan sambil berjalan menuju dapur, "Jadi manager, koki, dan pembantu juga? Sungguh paket lengkap"
Meskipun Eve merasa kesal, dia tahu hanya pekerjaan ini yang tersedia untuknya saat ini, karena itu dia bertekad untuk bertahan, setidaknya sampai dia menemukan pekerjaan lain yang lebih baik.
"Hari ini akan jadi hari yang panjang" gerutu Eve pelan.