Langkah Eve terasa berat saat meninggalkan hotel. Dia berjalan menelusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang-orang yang melakukan aktivitas pagi mereka. Matanya sembab sementara pikirannya berkecamuk, hatinya juga hancur berkeping-keping. Namun Eve tahu dengan sangat, rasa sakit itu harus disingkirkannya sejenak karena ada masalah lain yang menantinya saat ini yaitu biaya hidupnya ke depannya.
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan kecemasan, Eve akhirnya sampai di kos kecilnya di pinggiran kota. Bangunan tua itu terasa semakin suram sama seperti suasana hatinya. Eve berhenti di depan pintu kamar, mencoba merogoh kunci di tasnya dengan tangan gemetar. Namun sebelum kunci itu sempat ditemukan, sebuah suara menghentikannya. "Eve" panggil suara itu tegas dan dingin. Eve mendongak dan mendapati ibu kosnya berdiri di ambang pintu kamar sebelah. Wanita paruh baya itu menyilangkan tangan di depan dada dan menatap ke arahnya tajam. "Kamu belum bayar sewa bulan ini" ucapnya tanpa basa-basi. "Sudah tiga hari terlambat. Kuharap kamu tidak melupakan kewajibanmu membayarnya Eve" Eve merasa dadanya semakin sesak. "Ibu Ratih, saya... saya akan bayar secepatnya. Saya baru saja..." Kalimatnya terhenti. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa dia baru saja dipecat? "Secepatnya itu kapan Eve? Kamu tahu peraturannya. Kalau telat lebih dari seminggu, kamu harus keluar" potong Ibu Ratih dengan nada tegas. Eve menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir jatuh lagi. Dia mencoba menjelaskan meskipun dengan suara bergetar, "Saya akan cari cara, Bu. Lusa seharusnya saya gajian... tapi ada masalah di kantor" Ibu Ratih mengangkat alis, seolah tidak terlalu peduli dengan penjelasan itu. "Yang penting uangnya ada atau tidak? Kalau lusa kamu belum bayar jangan salahkan saya kalau barang-barangmu saya keluarkan" peringatnya tegas. Wanita itu melangkah pergi, meninggalkan Eve yang berdiri dengan tubuh lemas di depan pintu kamar kosnya. Eve menahan napas, mencoba mengendalikan emosinya yang hampir meledak. Setelah beberapa saat Eve akhirnya berhasil membuka pintu dan masuk ke kamar kosnya yang kecil. Tempat itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada siapa-siapa yang menunggunya, tidak ada suara tawa atau obrolan, hanya ada suara helaan nafasnya dan jam dinding yang berdetak teratur. Eve tinggal seorang diri selama 5 tahun ini tapi baru hari ini dia merasa kesepian dan sendirian. Eve menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang tipis yang menjadi satu-satunya tempat nyaman di kamar itu. Matanya menatap langit-langit kamar kosong. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pada dirinya sendiri. Seharusnya lusa dia menerima gaji, uang yang sudah dia rencanakan untuk membayar sewa kos, tagihan listrik, membeli makanan juga untuk mengirim keluarganya di kampung. Tapi setelah pernyataan Alex pagi ini, Eve ragu apakah dia akan menerima gaji itu. Jika Alex benar-benar tidak ingin melihat wajahnya lagi, bukankah itu berarti semua akses keuangan dari perusahaan akan terputus? Eve memeluk tubuhnya sendiri, mencoba mengusir rasa dingin yang merayap, bukan dari udara tetapi dari kenyataan hidup yang menghimpitnya. Semua yang dia miliki, semua yang dia andalkan, menghilang begitu saja dalam satu malam. Namun di tengah rasa putus asa itu, sebuah pikiran muncul. Dia tidak boleh menyerah! "Aku harus mencari jalan keluar" gumam Eve pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Eve mulai memikirkan cara untuk bertahan. Dia pantang meminta uang pada orang lain apalagi meminjam jadi dia harus segera mencari pekerjaan baru secepatnya. Pekerjaan apapun yang setidaknya bisa untuk membayar biaya sewa kosnya bulan ini. Eve menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar tanpa henti. Setelah beberapa saat menatap ponselnya yang tergeletak di meja, dia akhirnya mengambilnya dengan ragu. Ada satu orang yang mungkin bisa membantunya, seseorang yang selalu dia percaya selama ini. Clara, sahabatnya sejak kuliah yang kini bekerja sebagai wartawan di sebuah media terkenal. Dengan jari gemetar Eve menekan nomor Clara. Dia tidak yakin bagaimana harus memulai pembicaraan ini, tetapi Eve tahu dia tidak punya pilihan lain. Panggilan tersambung setelah beberapa nada dering. "Halo Eve? Tumben telepon pagi-pagi" suara ceria Clara terdengar di ujung sana. Eve mencoba tersenyum meskipun Clara tidak bisa melihatnya. "Hai Clara... Maaf ganggu. Aku... aku butuh bantuanmu" ucapnya pelan. Clara langsung menangkap nada cemas di suara Eve. "Ada apa? Kamu baik-baik saja?" Eve menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah lagi. "Aku dipecat tadi pagi" "Apa?!" Clara terdengar kaget. "Kenapa? Bukannya kamu selalu jadi tangan kanan bosmu? Apa yang terjadi?" Eve terdiam sejenak, berpikir apakah dia harus menceritakan semuanya. Tapi akhirnya Eve memutuskan untuk menyimpan detail menyakitkan itu untuk dirinya sendiri. "Aku nggak bisa jelasin semuanya sekarang Clara. Aku cuma... aku butuh kerjaan. Apa ada lowongan kerja di tempatmu? atau di mana saja juga tak apa. Apa pun akan aku lakukan" Clara terdiam beberapa detik, lalu suaranya berubah menjadi lebih serius. "Aku mengerti Eve. Aku tahu ini berat untukmu. Aku nggak bisa janji langsung, tapi aku akan cari tahu. Aku kenal beberapa orang yang mungkin bisa bantu. Kamu butuh kerjaan apa pun, kan?" "Ya, apa pun Clara. Aku butuh untuk bayar sewa kos bulan ini dan mengirimi keluargaku di kampung... Aku benar-benar nggak tahu harus gimana lagi" jawab Eve dengan suara parau. Clara menghela napas. "Tenang Eve. Kamu nggak sendiri. Aku akan tanya-tanya hari ini juga. Kalau ada kabar terbaru aku pasti langsung kabarin kamu, oke?" Eve merasa sedikit lega mendengar respons Clara. Meskipun belum ada solusi pasti setidaknya ada seseorang yang peduli dan berjanji akan membantunya. "Terima kasih Clara. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu" "Jangan ngomong gitu, kita sahabat kan? Aku nggak akan biarin kamu jatuh sendirian. Nanti aku kabari ya. Sementara itu, coba tenangin diri dulu" kata Clara sebelum menutup telepon. Eve meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas panjang. Ada sedikit rasa lega di hatinya, meskipun masalahnya masih jauh dari selesai. Setidaknya dia merasa bahwa dia tidak sepenuhnya sendirian. Namun di balik rasa syukur itu, ada rasa khawatir yang terus menghantui. Jika Clara tidak menemukan apa-apa, apa yang harus dia lakukan? Dunia terasa begitu keras dan tak adil sekarang, tetapi Eve tahu dia tidak punya waktu untuk menyerah pada keputusasaan. "Demi ibu dan kedua adikku" gumamnya pelan, "aku harus terus mencoba" Dengan tekad yang mulai tumbuh kembali, Eve mulai mencari opsi lain. Dia membuka laptopnya, memeriksa platform lowongan pekerjaan dan mulai mengirimkan lamaran ke mana pun dia bisa. Meskipun rasa takut dan ragu terus menghantui Eve tahu satu hal, dia tidak boleh berhenti bergerak. Di luar jendela, matahari mulai bergeser ke puncak langit, memberikan secercah harapan kecil di tengah hari yang berat.Eve menatap Adam dengan lembut. “Bukan itu. Aku cuma ingin menyelesaikan semuanya dengan baik. Pagi itu aku langsung pergi gitu aja, dan Alex juga langsung mengusirku ketika dia baru saja bangun” Adam memejamkan mata sejenak sebelum menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi aku ikut" Eve mengangkat alis. “Adam—” “Ini bukan tawaran Eve” Adam menatapnya serius. “Aku nggak bakal ngebiarin kamu sendirian ketemu sama dia lalu berubah fikiran dan.... berakhir meninggalkanku" ucapnya dengan suara lirih di bagian akhir kalimatnya. Eve yang mendengar ucapan lirih Adam tersenyum tipis lalu memberi isyarat pada pria itu untuk lebih mendekat padanya. Adam yang mengerti menurut dan mencondongkan tubuhnya, memudahkan Eve untuk melingkarkan kedua lengannya di tubuh Adam. "Aku nggak mungkin kembali padanya Adam. Kami tidak pe
Eve yang sedang menyeruput sup hampir tersedak. Dia buru-buru meletakkan sendoknya dan menoleh ke sekeliling, memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka lalu menatap Adam dengan mata membesar. "Adam! Kalau ada yang dengar gimana?" Adam tertawa renyah. "Kalaupun ada yang dengar juga nggak papa. Semua juga tau turn on karena pasangan sendiri di pagi hari itu hal yang wajar" Eve terdiam selama tiga detik sebelum memalingkan wajah menutupi semburat merah di kedua pipinya. "Kamu kayak gitu karena kita udah jadi pasangan? Perasaan kemarin pagi nggak begitu deh kamu." Adam mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai dengan santai. "Kemarin juga seperti itu" akunya dengan nada datar. "Cuma aku nggak berani bertindak seperti tadi pagi aja, khawatir kamu ilfeel" lanjutnya Eve terkikik
Eve langsung diam. Dia sudah cukup tahu betapa keras kepalanya seorang Adam. Setelah beberapa saat tanpa perlawanan, Adam tertawa kecil. "Nah gitu dong. Lebih enak kan?" Eve hanya mendengus. Tapi harus diakui, kehangatan Adam membuatnya merasa nyaman. Beberapa detik kemudian, Adam tiba-tiba bicara lagi. "Eve" "Hmm?" "Kamu yakin nggak nyesel kan ya?" Eve diam sejenak sebelum menjawab, "Tanya lagi besok pagi. Kalau aku masih di sini dan belum kabur, berarti aku nggak nyesel" "Deal" Adam tertawa pelan dan mengecup puncak kepala Eve hangat.
Adam tertawa renyah, kembali menjadi Adam yang biasa. "Nggak Eve. Aku nggak mau kamu kecapekan. Jadi kamu cukup mantau aku dari rumah aja mulai sekarang. Aku pergi dulu ya, kamu baik-baik di rumah" Cup! Tanpa aba-aba Adam mengecup kening Eve singkat lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan sebelum Eve tersadar dan berteriak protes. ***** Siang harinya Eve tidak bisa tidur siang. Dia berbaring di ranjang, menatap langit-langit dengan perasaan yang tak menentu. Percakapan dengan Adam tadi pagi terus terngiang di kepalanya. Kata-katanya, tatapan matanya, bagaimana dia mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan Alex merebutnya… Sejak kapan Adam menjadi bagian dari hidupn
Eve tersenyum kecil menahan tawa mendengar ucapannya, bisa-bisanya pria ini masih mengatakan bayi 'kita' di saat seperti ini. "Aku nggak bisa menjanjikan apapun Adam. Aku... aku nggak tahu...." ucapnya pelan, dia sendiri juga masih belum yakin dengan perasaannya. Adam menghela nafas panjang, lalu tersenyum kecil. “Ya udah, aku nggak bisa maksa juga. Tapi kalau nanti kamu udah tahu jawabannya, kasih tahu aku ya?" Eve hanya mengangguk pelan, dan mereka kembali duduk di sofa depan televisi. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di antara mereka. Keheningan yang menggantung di udara bukan sesuatu yang canggung, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Setelah beberapa saat, Adam tiba-tiba berkata, “Aku sangat membencinya" Eve menoleh. “Alex?” A
"Pergi sana! Nggak usah drama!" Eve langsung mendorong Adam menjauh. Adam tertawa kecil lalu bangkit dan mencium puncak kepala Eve singkat sebelum berlari cepat ke kamar mandi. Sementara itu, Eve memejamkan mata dan tersenyum kecil. Jika terus menghadapi Adam yang seperti ini Eve yakin hatinya akan mencair dalam waktu yang tak lama. ***** Pagi harinya, Eve terbangun lebih dulu. Biasanya dia bukan tipe orang yang bangun pagi dengan penuh energi, tapi pagi ini berbeda. Mungkin karena semalam dia tidur dengan cukup nyaman... atau karena ada sosok di belakangnya yang masih memeluknya erat. Eve melirik ke belakang. Adam masih tidur, wajahnya tenang, dan nafasnya teratur. Tapi... ada sesuatu yang aneh. "Adam..." Eve mengerutkan dahi, mencoba menarik tangann