Share

8.Cover

Ketika membuka pintu kos, aku mendapati sebuah kantong kresek hitam di atas meja. Tanganku terjulur untuk meraih, lalu mengintip isinya. Ada sekotak streoform dengan selembar kertas kecil yang di lipat satu sisi di atasnya. Sambil berlalu masuk ke dalam, aku membaca isi kertas itu.

Soal tadi malam aku minta maaf, di makan ya, walaupun cuman aku pungut dari pinggir jalan. Nggak bisa ngantar kerja hari ini, aku harus ke kampus sebelum kena tendang.

Aku terkekeh setelah membaca tulisannya yang selalu rapi untuk ukuran cowok. Kotak streofrom itu isinya bubur ayam yang masih hangat. Berarti Reksa tadi belum lama dari sini, kenapa nggak ketuk pintu saja. 

***

Setelah selesai sarapan aku baru menjalankan ritual mandi. Sampai tahap dalam memilih baju, aku dibuat berhenti sejenak. Perlahan tanganku meraih dan membuka paper bag pemberian Mas Dhika. Ada baju blouse warna kuning kunyit dengan aksen tali di bagian pinggangnya. Terlihat manis dengan lengan pendek yang berbentuk balon. Tanpa banyak mikir, tubuhku berputar di depan cermin lemari setelah memakai baju pemberiannya. Cantik ... bajunya. Selera Mas Dhika boleh juga. Lalu aku terkekeh sendiri membayangkan betapa kakunya dia kalau beneran punya pacar. 

Hari ini aku naik Lyn, lumayan banyak penumpangnya. Untung masih kebagian tempat duduk. Aku tersenyum kepada seorang ibu yang duduk di sebelahku.

"Mau kerja ta Mbak?" tanyanya dengan nada lembut.

Aku menatap perempuan yang masih tampak ayu walaupun sudah ada keriput di sekitar area mata, dahi, dan tulang pipinya. "Iya Bu," jawabku sambil balas tersenyum ramah.

"Kerja di mana?"

"Di daerah Gubeng Bu."

"Jauh ya, kenapa nggak cari kos dekat sana aja?" 

Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan orang yang mencoba mengorek informasi kehidupanku. Tapi mau bilang tidak rasanya keterlaluan.

"Sudah enak ngekos di sekitar sini," balasku kembali tersenyum. Ibu ini diam setelah arah pandangannya tertuju ke luar jendela. 

"Kamu anak rantau ya?" tanyanya lagi. Tangan ringkihnya yang memperlihatkan urat ototnya itu menggapai dan memegang tanganku. Memberikan tepukan pelan beberapa kali.

Aku hanya mengangkuk, sedikit seram sama orang-orang seperti ini.

Ibu itu mengembangkn senyum tipis. "Hati-hati kalau kerja, mawas diri gitu. Jangan terlalu percaya sama orang baru yang terlalu baik. Ibu doakan kamu selalu baik-baik saja." Lalu Ibu itu melepaskan tanganku, meninggalkanku dengan pikiran bertanya-tanya.

Lyn sudah berhenti sekitar dua puluh meter dari tempatku bekerja. Aku turun di sini lumayan sambil olahraga pagi. Sebelum aku benar-benar beranjak pergi, Ibu tadi mencekal pergelanganku. Tubuhku sedikit membungkuk untuk melihatnya yang masih duduk sambil tersenyum penuh kehangatan.

"Kalau ada masalah, lalu keluar api jangan ambil keputusan saat itu juga. Lebih baik di rendam dulu biar mereda." 

Aku hanya menyahut mengangkuk saja. Setelah Ibu ini melepaskan cekalannya, arah pandangnya kembali ke luar jendela. Menatap penuh arti pada jejeran gedung tinggi.

***

Mimpi apa ya semalam aku sampai ketemu orang seperti peramal. Harusnya tadi minta diramal saja sekalian. Aku cekikikan mengelengkan kepala pelan. Hatiku sudah mantap hanya percaya kepada takdir Tuhan.

Langkahku otomatis berhenti dan seketika bergerak berlari kala melihat seseorang yang amat aku kenali sedang dihakimi sekumpulan masa.

"Kenapa Pak?" tanyaku pada seorang penjual di sekitar. 

"Itu tadi maling Roti, anak nggak ta--

Tanpa mendengar penjelasan selanjutnya, tubuhku berusaha menyempil di antara kerumunan. Beberapa kali terdorong keluar membuatku kesal setengah mati. Aku menarik salah satu masa seorang pria dewasa. Saat dia mengumpat mencari pelaku yang menarik kerah kaosnya, aku segera masuk ke dalam kerumunan. Arah pandangku tertuju pada Fajar yang sudah meringkuk dengan tangan ditaruh di atas kepala. Melindungi kepalanya dari pukulan beberapa orang yang kebanyakan pedangan kaki lima.

"BERHENTI!" teriakku menghalangi seseorang bapak-bapak yang akan mengayunkan sebuah ranting kayu ke arah Fajar.

"Dia maling!" balas seorang pria dewasa dengan mata melotot.

Aku balas menatapnya sengit sambil mengeluarkan dompet. Dia orang yang barusan aku tarik kerah kaosnya.

"Berapa?" tanyaku dengan suara mulai bergetar.

"Kamu siapanya, kelompotannya?" Pria itu menyeringai, kemudian mendecih sinis. "Cantik-cantik ternyata cuman--

"Apa?" Aku melangkah menghampiri pria itu yang tampak gentar tetap berdiri dengan sorot mata merendahkan. 

"Kenapa kalian menghakimi senaknya!" teriakku sambil menatap bergantian orang-orang yang masih mengerubungi Fajar. "Cuman karena roti kalian bersikap memperlakukan manusia seperti binatang."

Aku terkekeh sendiri, membuat pria dihadapanku ini menatapku aneh. Kepalaku menunduk sebentar untuk mengusap air mata sialan yang malah turun di waktu yang tidak tepat.

"Atau malah kalian semua yang binatang?" tanyaku lirih membuat otot-otot lehernya seketika terlihat menonjol.

"Cuk!" Aku langsung menedang tulang keringnya saat dia mau mengayunkan tangan ke arahku. Dia termundur sambil mengerang.

"Saya nggak mau nyari ribut kalau bukan Anda duluan yang mulai." Aku berbalik menuju Fajar yang sudah menatapku dengan wajah penuh lebam.

"Mana mungkin dia nggak nyuri, lihat cara penampilanya udah kayak anak nggak bener," sahut bapak-bapak dengan kaos polo belang-belang.

"Nggak bener." Aku tertawa sarkas.

"Bapak nggak lihat orang-orang di sana yang berpakaian sangat rapi pun juga melakukannya. Bahkan nominalnya nggak ada sepersenpun jika dibandingan dengan teman saya kalau dia terbukti bersalah," ucapku tegas sambil menunjuk bergantian antara barisan gedung-gedung tinggi dengan Fajar.

Mereka diam, termasuk pria si provokasi tadi.

Ku hela napas gusar sebelum kembali menuntaskan emosi. "Mana pemilik dagangan yang katanya dicuri tadi?" 

"Aku nggak nyuri!" teriak Fajar membuatku segera melototinya.

Seorang bapak yang memberitahuku informasi awal tadi maju ke depan. Aku mengulum bibir penuh arti. "Seratus ribu," ucapnya yang membuat Fajar kembali berteriak.

"Aku ora salah, koen malah golek perkara cuk!" Fajar menghampiriku menarik tanganku yang sudah mengeluarkan satu lembar kertas warna merah dari dompet.

(Aku nggak salah, kamu malah nyari kesempatan cuk)

Aku menginjak kaki Fajar sampai terdengar desisan dari bibirnya yang sudah robek. 

Bapak itu tampak tersenyum puas. Sebelum dia berlalu aku berkata, "Kalau buat makan anak istri Bapak jangan pake uang itu. Takutnya nanti ada apa-apanya." Bapak itu meliriku sinis, lalu berjalan sambil misuh-misuh.

Kerumunan itu bubar setelah menyorakiku disertai ucapan kasar. Pria dengan pakaian kaos polo hitam masih di sini dan memberiku tatapan menghujam tajam.

"Ngapain masih di sini, belum puas hajar teman saya?" tanyaku sambil menyunggingkan senyum manis. "Atau mau saya ajarin," lanjutku sambil menyedekapkan lengan di dada dengan dagu terangkat.

Sebelum berbalik dan pergi, pria itu melirikku sinis yang aku balas senyuman lebar. 

Aku menghampiri Fajar yang sudah melipir di pinggir trotoar.

"Cuk! Lara kabeh awakku. Ancen wong edan kabeh," desis Fajar sudah menyenderkan tubuhnya di sebuah pohon.

(Cuk! Sakit semua badanku. Emang orang gila semua)

Aku menendang kencang kakinya yang sedang diluruskan sebelum ikut duduk di sampingnya.

"Makanya kalau berpakain jangan kayak gembel gini," cibirku menunjuk kaos distronya yang terdapat lubang-lubang disekitar bagian kerahnya.

Fajar balas mencibir, kemudian mendesis saat aku menyentuh luka lebab di tulang pipinya.

"Lara cuk!" umpatnya.

(Lara=Sakit)

"Mulutmu beneran aku tabok lo ya." 

"Siniin wajahmu." Aku menarik lengannya tidak sabaran.

"Ojo cedek-cedek Yung, lek eruh Reksa ajur tenan awakku." Fajar bergidik ngeri saat tanganku sudah bertengger di rahangnya.

(Jangan dekat-dekat Yung, nanti kalau ketahuan Reksa habis beneran aku)

Aku tidak mengindahkannya, dia sebelas duabelas sama Reksa. Semakin diladeni semakin menjadi.

"Yung aku kok deg-degan ya." 

Kini aku memutar bola mata malas. "Kalau kamu nggak deg-degan, pasti udah mati dari jauh hari."

"Lambemu," sahutnya dengan bibir mengerucut.

Aku mengangsurkan uang lima puluh ribu padanya. "Buat ngobatin lukamu," ucapku saat dia menatapku dengan sorot heran.

"Wegah. Opo sih Yung." Dia mendorong uang yang aku sodorkan kepadanya.

(Nggak mau. Apa sih Yung)

"Aku bilangin Reksa beneran kapok kamu," ancamku dengan bibir menyeringai.

Fajar mengumpat, tetap menolak.

"Aku nggak bermaksud ke hal yang lain. Kalau kamu pikir secara nggak langsung aku merendahkan kamu, itu nggak benar. Aku sudah anggap kalian semua saudaraku. Ambil atau kamu aku bawa ke rumah sakit sekalian," tawarku memaksanya dengan tatapan tajam.

Dengan seperempat hati, dia mengambil uang dari tanganku dengan gerakan sewot.

"Nggak kerja?" tanyanya yang membuatku langsung bediri kelabakan sendiri.

"Ya ampun, aku telat." Langkahku mau pergi, tapi lebih dulu di tahan oleh Fajar.

"Aku antarin sini." Dengan langkah tertatih dia menarikku menuju motor beatnya yang sudah dimodifikasi sampai tidak berbentuk seperti motor keluaran honda itu. Aku berdecak, pasti suara knalpotnya akan bising.

Selama perjalanan aku hanya menuduk sambil menutup telinga rapat-rapat. Rasanya seperti berdiri di dekat petasan banting.

"Rambutmu Yung." tawa Fajar pecah saat melihat rambutku yang pasti benar-benar seperti gembel setelah turun. Aku mengambil ponsel dan melihat betapa kacaunya penampilanku. 

"Lain kali aku bawa helm deh." Dia langsung nyengir saat aku mendengus keras.

"Jangan lupa obatin." Aku berlari masuk tanpa mengindahkan sahutan Fajar yang seperti tarzan. 

Langkahku yang baru mau menaiki tangga ekskalator di kejutkan dengan Mbak Tari yang turun tergesa dengan pandangan fokus ke depan. 

"Mau kemana dia?" Batinku bersuara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status