Share

5. Pengganggu

Tahu apa yang dilakukan oleh orang yang baru saja menghubungiku lima belas menit yang lalu. Mas Dhika sekarang sudah berada di hadapanku yang baru saja selesai menunaikan ibadah lima waktu. Dengan tatapan matanya yang tajam, dia terkesan dapat mengeluarkan laser dari sorot matanya itu.

"Susah banget itu tangan buat ngetik," sindirnya.

"Mas kok tahu aku di sini, Mas nguntit aku?" tanyaku nyolot.

"Balik." Tanpa menjawab pertanyaanku barusan, dia sudah menyeretku seperti seekor kambing.

"Aku bisa jalan sendiri!" ucapku ngegas menarik pergelangan tanganku yang selalu dicengkeramnya dengan kuat. Untung di sekitar kami sepi, setidaknya aku bisa berbuat lebih dari ini jika Mas Dhika masih memaksaku.

Mas Dhika terdengar mengembuskan napas kasar. Dia menaiki motor beatnya sembari menyodorkan helm bogo ke arahku. Setelah aku duduk di jok motor favorit kaum sejuta umat ini, dia mulai melajukan mtornya dengan kecepatan sedang. Jangan bayangkan aku akan memeluk pinggangnya, aku bahkan tidak pernah untuk sekadar memegang sisi-sisi bajunya. Kalaupun harus, lebih baik memegang bagian behel motor.

Kami hanya diam di sepanjang jalan, memang apa yang diharapkan dari dua insan yang hanya sebatas karyawan dan atasan. Aku tidak pernah tahu dengan cara berpikirnya, kenapa dia mau repot-repot mencariku ke sini dan mengantarku pulang. Apa di suruh Reksa, sepertinya mereka saling kenal walaupun tidak pernah aku lihat saling sapa. Kecuali kemarin saat Reksa malah mengumpatinya.

"Makasih," ucapku sambil menyerahkan helm ke arahnya. Dia hanya diam seperti patung. Bahkan mending lebih baik patung yang memang benda mati.

"Yung?" panggilnya menghentikan pergerakan tanganku yang mau membuka slot pintu pagar. Aku kembali menghadapnya, keningku mengernyit ketika dia mengasurkan sebuah paper bag.

"Apa ini Mas, hadiah habis umroh?" tanyaku bercanda yang cuman dibalas segaris senyuman tipis.

"Dibuka di dalam aja. Aku pergi dulu," ujarnya sambil berlalu, menyisakan beribu pertanyaan baru.

***

"Yung?" panggil Mbak Tari, aku yang masih melanjutkan mengecek barang di komputer, segera menengok ke arahnya yang sudah mengetuk-ngetuk jari-jari putih kurusnya di meja kasir.

"Kenapa Mbak, ada lagi yang harus aku urus?" tanyaku setengah menyidir. Kalau kerja di tempat lain mungkin aku langsung ditendang.

Mbak Tari mendengkus sinis. "Iya, habis ini selesain tugas Tanti," sahutnya diiringi tersenyum miring.

"Mbak!" seruku sambil menutup wajahku menggunakan notebook.

"Kamu harus nurut sama atasanmu, mau aku pecat?" Tuhkan, dia hobi sekali mengeluarkan kata pamungkasnya itu.

Aku hanya mencibirnya, kembali mengulir layar komputer dengan gerakan grusak-grusuk.

"Menurut kamu ... kalau kita nggak pernah akur sama pasangan, kenapa?"

Pertanyaannya cukup ambigu. Aku meletakan notebook di atas keyboard komputer, menghadap sepenuhnya pada Mbk Tari yang masih berdiri. 

"Ya nggak tahu, memang aku punya pacar," sahutku berniat mencairkan suasana yang mendadak tegang. 

"Lah, itu si Reksa siapa kamu, bukanya dia sering antar kamu?" tanyanya dengan raut penasaran.

Kenapa Mbak Tari sampai bisa tahu nama Reksa?

"Nggak baik Mbak ikut campur urusan orang." 

Lalu tanganya terulur menyentil dahiku hingga meninggalkan rasa berdenyut-denyut.

Dengan tangan masih mengusap dahi, aku mulai berbicara serius, "Mungkin, kalian butuh waktu untuk berbicara lebih terbuka. Bukankah kunci keberhasilan sebuah hubungan terletak di komunikasinya ya Mbak. Setahuku sih begitu."

"Gitu ya," gumamnya sambil tersenyum samar.

"Mbak kenapa?" Aku meraih tangannya yang terasa dingin. "Mas Angkasa nggak ngapa-ngapain Mbak kan?"

"Setiap malam malah," jawabnya yang tanpa di fillter itu membuatku langsung melepas peganganku.

"Ya kalau lagi ada masalah, Mbak kan bisa diskusiin berdua dulu, cari letak masalahnya di mana, terus tinggal nentuin cara penyelesaiannya. Ingat, dengan kepala dingin, kalau salah satu jadi api yang satunya harus ngalah jadi air dulu. Terapin itu lo Mbak filosofi dari Tionghoa, "Yin dan Yang"."

Mbak Tari malah berdecak. "Ngomong sama kamu endingnya nggak memuaskan," ucapnya sambil beranjak berputar badan, lalu kembali pergi keluar toko.

Coba di mana letak tidak memuaskannya, kebanyakan begadang sama suaminya ya begitu.

***

Harusnya sekarang aku sudah berada di angkringannya Mas Dhika, membantunya menyiapkan barang dagangan atau sekadar menjadi teman patung bernyawa. Tapi Reksa malah mengajakku ke sebuah tongkrongannya yang berisi anak-anak yang punya stigma buruk di lingkungan masyarakat.

"Kenapa ke sini sih, tadi katanya mau makan," bisikku pada Reksa yang baru saja melepas helmnya.

Dia hanya bergumam entah apa, tangan kananya merangkulku sedangkan yang satunya membawa sebuah kresek hitam ukuran sedang yang isinya tidak aku ketahui.

"Gowo opo iku rek?!" teriak Fajar dengan heboh, laki-laki itu baru saja mematikan rokoknya dengan cara diinjak di tanah.

(Bawa apa itu rek)

Sebelum Reksa menjawab, kresek itu sudah berpindah tangan ke Ridwan.

"Duh Gusti! Apik temenan arek iki!" teriak Ridwan ketika tangannya mengangkat satu bungkus makanan khas warteg.

(Ya Tuhan! Baik beneran anak ini)

Jadi, ini alasan Reksa tadi tidak membolehkanku untuk melihat isi plastiknya.

"Aku kok pengen nangis ngene yo, suwi ora mangan iwak." Dengan gaya lebaynya Tino mengusap matanya yang sebenarnya tidak terlihat buliran air yang tergenang. Dia menatap berbinar paha ayam yang dimasak bumbu rujak.

(Aku malah pingin menangis begini sih, lama nggak makan daging)

Aku tertawa melihat mereka yang dengan cukup antusias memakan bagiannya masing-masing. Kecuali Tama, laki-laki yang terkesan judes sejak pertama kami berkenalan dulu, sekarang masih sibuk dengan ponselnya.

"Koen ora mangan to rek?!" tanya Ridwan dengan mulut masih mengunyah makannya.

(Kamu tidak makan ya rek)

"Mangan," jawab Reksa mengambil dua bungkus makanan. 

Tersisa satu bungkus yang langsung dilemparkannya ke arah Tama yang berjarak satu meter dari sini. Untung Tama bisa menangkapnya, kalau tidak, udah berhamburan itu nasi ke wajahnya yang terbilang cukup lumayan.

"Aku lek dadi koen wes tak raupne sisan segone rek! Ancen Tama kui bocah mbuh!" umpat Tino memandang sinis ke arah Tama, sedangkan yang dipandang terlihat tidak acuh.

(Aku kalau jadi kamu sudah ku guyurkan sekalian nasinya rek! Dasar Tama itu orang nggak waras)

Reksa membawaku ke kursi panjang yang berada di seberang dari mereka, menyerahkan satu bungkus ke pangkuanku.

"Uang darimana?" tanyaku berbisik yang disambut batuk-batuk iri dari Fajar.

"Yang penting halal," jawab Reksa sembari menyuapkan satu sendok ke dalam mulutku.

"Cuk! Lek arep mesra-mesran kono minggato ae!" umpat Ridwan memandang jengah ke arah kami.

(Cuk! Kalau mau mesra-mesraan sana pergilah saja)

Reksa membalasnya dengan tersenyum miring.

"Aku nggak ganti kamu suapin?" tanyanya dengan wajah sok polos minta ditampol.

Aku tersenyum manis berbanding terbalik dengan yang aku bicarakan. "Itu tangan masih berfungsi kan dua-duanya." 

Reksa mencibir, tapi tangannya tetap saja sesekali menyuapkan nasinya ke mulutku. 

"Udah, kamu nggak makan nanti," ucapku menolak ketika dia mau menyuapkan lagi.

"Aku kenyang." 

Reksa memaksaku untuk membuka mulut. Aku tetap menggeleng, Reksa menatapku gemas. Sendoknya di ayun-ayunkan seperti kapal terbang, lalu saat masih di udara ada yang melahap suapan Reksa. Dan itu Tama.

"Cuk!" umpat Reksa yang aku hadiahi pukulan di lenganya. 

Tama hanya tersenyum penuh kemenangan. Dia kembali duduk setelah membuang bungkus makananya di tong sampah dari drum bekas yang sudah di cat warna-warni.

"Sa, Om Chandra," ucapku menyerahkan ponsel Reksa yang tadi dititipkannya padaku. Dia menerimanya, tapi sekadar untuk menolak panggilan itu.

"Kenapa ditolak sih?" tanyaku gemas saat dia dengan santainya malah menyulut rokok.

"Kenapa memang?" tanyanya balik setelah menghembuskan satu kepulan asap ke udara.

Aku hanya diam, terlalu capek untuk menceramahinya dari A-Z tapi tidak pernah dilaksanakan.

"Nggak terima?" tanyanya menelengkan wajah ke arahku, mulutknya bau rokok dan aku tidak suka.

Aku menggeleng, mendorong kepalanya pelan agar jauh-jauh dariku.

"Kamu nggak terima aku sudah nolak panggilan Chandra atau ... ini?" 

Reksa menarik lenganku untuk menghadapnya. Dia menunjukkan satu batang rokoknya tepat di depan wajahku. 

"Dua-duanya," sungutku.

Dia menghela napas gusar, tetap menyesap rokok itu lagi dan mengembuskannya berlawanan arah dariku.

"Aku banyak pikiran, aku butuh ini," ujarnya tanpa melihatku. Aku menatapnya lamat-lamat, kantong matanya yang berwarna hitam tercetak jelas di wajahnya yang putih bersih. Itu sebagai penanda yang khas kalau Reksa sedang tidak baik-baik saja.

Aku mengeratkan genggamannya, Reksa menengok ke arahku sembari tersenyum samar.

Panggilan telepon kembali terdengar, dan nama Om Chandra masih menghiasi layar ponsel Reksa.

"Angkat Sa, pasti penting," ucapku ketika dia tampak malas dan hanya memadangi layarnya ponselnya saja.

Rokoknya ditaruh di ujung bangku, dia menempelkan ponselnya dengan tidak minat. Selama berbicara raut wajah Reksa langsung terlihat memancarkan kemarahan, genggamannya di tanganku semakin menguat.

"Bangsat!" umpatnya sambil membanting keras ponselnya di bangku. Aku terkesiap, termasuk Fajar, Ridwan dan Tino yang langsung beristighfar berjamaah.

"Istighfar rek! Mending ponselmu wenehno aku ae kene," ucap Fajar yang berniat bercanda, tapi malah dihadiahi tatapan tajam dari Reksa.

(Istighfar rek! Mendingan ponselmu berikan ke aku saja sini)

"Matamu pengen tak cukil ta rek," ujar Tama dengan wajah datar.

(Mata kamu pengin aku cukil rek)

Reksa mengumpat pelan, kembali menyesap rokoknya lebih lama.

"Mau balik aja?" tawarku yang segera disambut gelengan pelan.

"Terus mau apa?"

"Mau kamu aja gimana?" tanyanya balik sambil tersenyum menyeringai. Aku menendang kakinya.

"Mau aku patahin kakimu?" ucapnya dengan wajah di buat menyeramkan.

"Patahin aja," sahutku menantang.

"Wah! Berani ya sekarang." Reksa menarikku mendekat, aku meronta ketika dia meminting leherku.

"Sialan. Lepas nggak?" umpatku.

"Duh Gusti! Kamu apakan Layungku heh?!" bela Ridwan memisahkanku dari pintingan Reksa.

"Ora ngene carane ngelakokne cewek. Mending dipuasne, lak yo Tam?" tanya Ridwan dengan pandagan menggoda ke arah Tama yang membalas dengan todongan kepalan tangan.

(Nggak gini cara memperlakukan cewek. Mendingan dipuaskan. Begitu kan Tam)

"Lambemu pengen tak jahit ta rek?" sahut Reksa dengan senyum manis. Ridwan nyengir, kembali duduk bersama Fajar dan Tino di bawah pohon ketapang.

(Mulutmu pengin aku jahit ya rek)

Reksa menarik tanganku ke pangkuannya, dia meletakkan origami bunga kertas di atas telapak tanganku.

"Tahu kenapa aku kasihnya bunga kertas, bukan bunga asli atau bunga plastik?" tanyanya dengan mimik wajah serius yang aku balas gelengan pelan.

"Karena bunga ini aku rangkai sendiri, aku buat dengan tanganku sendiri. Khusus buat kamu, hanya untuk Lembayung Swastamita," ujarnya sambil menggenggam semua tanganku. 

Aku mengangguk, walaupun dalam hati tertawa miris.

"Lembayung ak--

"Mas Reksa!" teriak dari perempuan yang baru saja turun dari gojek, membuatku langsung melepaskan genggamannya.

Reksa berdecak, dia selalu bersikap demikian pada adik perempuannya yang sekarang tengah memakai seragam SMA.

"Dicariin Papa." ucapnya lirih dengan wajah tersenyum tipis.

Reksa tidak mengindahkannya, suasana terasa mencekam karena semua terdiam. Termasuk mulut Fajar dan Ridwan yang biasanya paling nyablak sekarang mendadak membisu.

"Mas Reksa Pa--

"Pergi," desisnya tajam.

"Aku nggak akan pergi kalau Mas nggak pulang bareng aku. Mama--

"Persetanan." Reksa menendang tanah dengan ujung sepatunya secara kasar. 

Dia menatap tajam adiknya itu. Aku segera menariknya mundur ketika Reksa mulai berjalan mendekat  sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Tubuh Ranaya bergemetar, tangannya terkepal kuat di masing-masing sisi tubuhnya.

"Pulang ya," bisikku. Tanganku mengusap lengannya pelan.

Reksa menatapku, aku mengangkuk.

"Anterin Lembayung pulang." Dia menatap Tama dengan tajam. Tama yang masih sibuk dengan ponselnya hanya mengangkat jempolnya menyetujui.

Sebelum meninggalkanku, Reksa mengusap lembut rambutku sambil tersenyum tipis. Rayana juga memberikan senyum serupa yang malah terlihat dipaksakan. Perempuan itu mengikuti langkah Reksa dengan kepala tertunduk.

Ponselku bergetar ada pesan masuk.

[Kalau masih mau kerja, datang sekarang.]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status