Share

7. Pertemuan dan Perpisahan

Sania sudah datang terlebih dahulu dengan segelas milshake strawberry yang sudah tandas setengah gelas. Aku menghampiri perempuan itu yang selalu sibuk sendiri dengan ponselnya. 

"Hay Senja!" sapanya dengan mata berbinar ketika melihatku yang sudah berdiri di hadapanya. Aku hanya mengulas senyum tipis, kemudian duduk setelah dipersilahkan.

"Mau minum apa, atau makan apa gitu?" tawarnya dengan tangan terangkat sedikit di balik meja siap memanggil waitress.

"Nggak. Nggak usah." 

"Tapi kata Panji kalau ngajak kamu jalan jangan lupa dikasih makan,"  adunya dengan bibir mengerucut yang malah menambah kesan imut di wajahnya.

Aku terkekeh. "Nggak usah didengerin," sahutku sambil mengibaskan tangan pelan.

Sania ikutan terkekeh, wajahnya masih muram seperti punya banyak beban pikiran. Dia hanya memutar-mutar sedotan milshake-Nya.

"Kenapa?" tanyaku pelan.

"Kamu sama Panji saling suka kan ya?" tanyanya yang membuatku sedikit terkejut.

"Gini." Sania meraih kedua tanganku yang aku letakkan di atas meja. "Aku sebenarnya juga punya pacar, tapi orang tua kami tetap kekeh menjodohkan dengan alasan karena sudah kenal sejak kecil," ucapnya diiringi tawa miris. 

"Lalu?"

"Mereka nggak tahu aja kalau dari dulu kami nggak pernah akur." Sania tersenyum masam. "Panji tuh rese banget, ngeselin, cuman bikin hipertensi mulu," ucapnya mengebu-gebu seperti mengeluarkan kekesalannya.

"Tapi jangan khawatir, walaupun nanti perjodohan kami masih berlanjut, aku dan Panji akan usahain buat batalin." Sania tersenyum penuh arti.

Aku berusaha mengartikan ucapnya. Jadi dari tadi Reksa murung karena masalah ini. Kenapa dia tidak berterus terang saja padaku. Kenapa Reksa malah seakan bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Di saat aku yang sedang dilanda masalah dia akan selalu ada, tapi sekarang bahkan aku tidak tahu apa-apa dan seperti orang bodoh kalau Sania tidak memberitahuku. Aku tersenyum kecut, dia anggap aku ini apa sebenarnya.

"Jadi kalau kamu lihat kami kayak dua orang saling mencintai itu nggak benar." Sania menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu bisa kan, ngertiin posisi kami?" tanyanya dengan binar mata penuh harap. 

Aku hanya mengangguk saja. Sania langsung tersenyum lebar, dia menawarkan sisa milshake-Nya kepadaku. Jelas saja aku menolak. Dia itu emang terlalu humble atau gimana, masa aku dikasih sisa. Kami menghabiskan waktu hampir satu jam untuk ngobrolin hal-hal random. Seperti kenapa upin dan ipin itu nggak besar-besar, padahal kita udah segede ini dua kembar identik itu masih saja berada di TK.

***

Aku pamit setelah melihat jam di ponselku menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Gajiku bisa dipotong kalau datang telat melulu.

"Duluan ya." 

Aku melambaikan tangan pelan padanya yang disambut lambaian tangan riang disertai cengiran lebar.

Saat pandangan mataku tertuju ke arah jalan di depan Mall, aku malah mendapati Mas Dhika yang sedang nangkring di atas motornya.

"Loh, Mas. Nungguin siapa?" tanyaku sekadar basa-basi saja.

"Nungguin pacar ya?" tanyaku sambil tertawa cekikikan ketika dia cuman mendengus dan malah menyodorkan helm padaku.

Aku terkejut, apa dia menjemputku.

"Naik." 

Belum juga aku mengutarakan rasa penasaranku, dia sudah bersiap menjalankan motornya. Terpaksa aku mengikutinya, Mas Dhika sudah jauh-jauh datang kesini masa hanya aku abaikan.

"Mas kok jemput aku?!" teriakku agak mencondongkan kepalaku ke depan karena kondisi jalanan yang lumayan ramai.

Mas Dhika cuman melirikku lewat kaca spion. Dia semakin menarik gasnya kencang, membuatku terpaksa harus berpegangan pada sisi-sisi kemejanya.

"Mas belum jawab pertanyaaanku," todongku begitu kami sampai di angkringannya.

"Apa sepenting itu bagimu?" tanyanya balik tanpa melihat ke arahku.

"Pentinglah!" tegasku. "Nggak ada angin nggak ada hujan Mas jemput aku, bukannya itu aneh?" Aku menyedekapkan lengan di dada ketika dia sudah menghadap sepenuhnya ke arahku.

"Apa salahnya, aku cuman berbuat hal kemanusiaan," sahutnya dengan wajah lempeng.

"Salah. Salah banget kalau orangnya itu aku dan Mas." 

Setelah mengatakan itu aku berjalan masuk lebih dulu. Bisa gila lama-lama menghadapi kembaran patung itu.

Mas Dhika mengikutiku. Aku tidak mengindahkannya saat dia diam-diam mengamatiku dari jauh. Aku sibuk memasukkan potongan tempe ke adonan tepung yang sudah bercampur bumbu. 

"Kamu takut pacarmu marah?" tanyanya yang sudah berdiri di sebelahku sambil memotong daun bawang di atas talenan. Aku tidak menjawab, terlalu malas untuk meladeninya lebih jauh dan pasti akan berakhir tidak menyenangkan.

"Kenapa takut." Kali ini aku menatapnya. "Kalau dia memang sayang sama kamu, harusnya percaya, kan." Mas Dhika menatapku lekat disertai tersenyum miring.

"Tahu apa sih Mas," cibirku setelah memutuskan kontak mata lebih dulu.

Dia tidak menjawab, malah berlalu pergi dariku seakan menghindar. Terdengar suara air dari kran wastafel.

"Peduli itu boleh Mas, tapi terlalu ikut campur urusan orang lain itu nggak baik. Aku nggak suka ada orang lain terlalu ikut campur urusan hidupku. Apalagi kalau sampai mengarah ke ranah privasiku," ucapku sambil memberikan sabun cuci piring yang hanya di terimanya tanpa mengucapkan terima kasih.

Aku nggak peduli dia mau marah atau bahkan memecat pegawai kurang ajarnya ini. Mas Dhika yang aku kenal pendiam seakan punya dunia sendiri, cuman bicara sekenanya, dan nggak suka ngerumpi itu sekarang malah berperilaku sebaliknya. Aku nggak tahu apa yang terjadi di antara dia dan Reksa. Setiap aku tanya Reksa, laki-laki itu cuman berpesan untuk lebih hati-hati. Kenapa harus hati-hati, apa Mas Dhika emang tidak sebaik yang aku pikirkan.

***

Sore sudah berganti malam, seperti biasa aku akan menumpang bersih-bersih di tempatnya jika langsung ke sini dulu tanpa pulang. Mas Dhika sejak tadi juga masih mendiamiku, seakan dia beneran marah dengan ucapanku beberapa waktu yang lalu. Dia hanya berucap seperlunya saja sementara aku juga akan bersikap seperti halnya yang dilakukannya kepadaku.

"Satron rek?" cibir Reyhan yang  mungkin dari tadi diam-diam mengamatiku dan Mas Dhika dari kejauhan. Aku hanya mendengus, meletakkan sepiring pisang goreng dan kopi pahitnya di meja.

(Marahan rek)

"Mbak Yung, engko mulihe tak terne ya?" Aku hanya menyahut dengan gelengan kepala.

(Mbak Yung, nanti pulangnya aku antarkan ya)

"Oh iya, wes enek pawange rek." Aku hanya geleng-geleng kepala menyaksikannya yang malah tertawa sendiri.

(Oh iya, sudah ada yang punya rek)

"Layung," panggil Mas Dhika membuatku berjalan menghampirinya. Aku hanya mengangkat satu alisku setelah berdiri di sampingnya.

"Ponselmu bunyi." 

Mas Dhika mengulurkan

ponselku yang tadi aku titipkan untuk dicharger di dalam. Aku melihat ada tiga panggilan tak terjawab dari Uni.

"Telepon balik kalau emang penting," ucapnya melirikku sekilas. 

Aku mengode pamit ke belakang yang hanya dibalas gumaman entah apa.

"Assalamualaikum, kenapa Ni?"

["W*'alakikumsalam."]

Sahutan yang terlalu semangat membuatku sudah bisa menebak dia lagi bahagia.

"Ada apa nih, dapat apa?" Uni menyahut terkekeh di seberang sana.

["Hehe. Aku dapat undangan dari SMAN 1 Mbak!"]

"Wah, selamat ya."

["Makasih, ini semua berkat doa Mbak."]

Aku hanya menyahutinya dengan gumaman bersama segerombolan nyamuk yang hari ini tampak bising sskali terdengar di telingaku.

["Mbak nggak kasih aku hadiah?"] Terdengar kekehan renyah di akhir kalimatnya.

"Entar kalau Mbak udah balik." 

["Janji ya?"]

"Hm."

["Yaudah Uni tutup ya, sehat-sehat Mbak."]

"Kamu juga." 

Lalu telepon aku tutup terlebih dahulu. Aku tersenyum masam sambil menyapukan pandangan pada langit-langit ruangan Mas Dhika yang ditutup menggunakan anyaman bambu. Pikiranku kembali berkelana pada masa silam. Dulu, aku ingin sekali bersekolah di sana. Tapi melihat kondisi keuangan keluarga yang tidak memungkinkan dan Uni yang waktu itu juga banyak mengikuti acara-acara di sekolahnya, membuatku terpaksa mengubur mimpiku dalam-dalam. Bukannya aku nggak terima, tapi peristiwa itu sungkar direlakan begitu saja.

Sebuah sapu tangan warna hitam ditautkan pada genggaman tangan kiriku. Saat aku menengok, Mas Dhika sudah berjalan kembali keluar. Apa dari tadi dia menyaksikan aku yang kembali menangisi nasibku.

***

Reksa tidak dapat dihubungi, Reyhan menawarkan diri untuk mengantarku, tapi aku menolak. Bukan bermaksud tidak menghargainya, tapi tempat kosku berada di lingkungan yang masyarakatnya punya atitude terbilang baik. Aku tidak mau jadi bahan ghibahan baru di gerobak sayur karena sering diantar oleh pria yang berbeda-beda. Mas Dhika yang mengantarku, lagi-lagi sepanjang jalan kami hanya terdiam. Aku sibuk dengan pikiranku yang semakin kacau. Sedangkan dia seperti biasanya, suaranya itu terlalu mahal untuk bicara hal yang tidak penting.

Saat uluran tanganku mengangsurkan helm ke arah Mas Dhika, ada sorot lampu motor mendekat. Itu Reksa, dengan tatapan mata yang sudah menajam.

Mas Dhika segera berlalu, sejenak aku melihat mereka saling melirik saat berpapasan. Reksa sudah berhenti di hadapanku, pancaran matanya itu seperti memintaku untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kenapa nggak nungguin aku dulu?" tanyanya agak menelengkan kepalanya, mencoba mencari netra mataku yang kualihkan ke samping.

"Aku capek," jawabku sambil membalikkan badan berlalu mau masuk. 

Reksa segera mencekal pergelangan tanganku, dia bergeser dan berhenti di depan pintu menghalangi langkahku.

"Apa karena aku datangnya telat kamu mau diantarin sama dia?"

Aku menatap matanya sengit saat dia juga menatapku dengan tatapan yang sama.

"Kenapa sih Yung?" tanyanya setelah menghela napas panjang.

Aku terkekeh, "Kamu yang kenapa Sa?!" sentakku kesal.

Reksa agak termundur hingga tubuhnya bertubrukan dengan pintu besi pagar saat intonasi suaraku terdengar meninggii.

Aku meraup wajahku kasar, aku benci dengan emosiku yang suka naik turun tidak jelas. "Aku beneran capek," ucapku pelan. 

Kepalaku tertunduk melihat sepasang sepatu kets hitamku yang mulai memudar.

"Capek banget ya?" 

Reksa menarikku, membawaku ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap-usap punggungku pelan.

"Yaudah sana istirahat." Dia bergeser mempersilahkan aku untuk masuk setelah melepaskan pelukannya.

Aku mengangguk, sebelum Reksa melangkah ke arah motornya, aku gantian mencekal lengannya.

"Pulang," ucapku yang dibalas anggukan semangat disertai senyuman lebar. 

"Pulang beneran Reksa," tegasku yang tahu maksud dari senyuman lebarnya barusan. Wajahnya yang ceria seketika berubah masam. Tapi mengangkuk juga meski sepertinya terpaksa.

Aku masih melihatnya ketika dia sudah berlalu pergi bersama motornya, semakin mengecil lalu menghilang di balik remang-remang lampu jalan.

Setiap pertemuan apa memang harus ada kata perpisahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status