LOGINGara memutar kemudi, menjauhi hingar bingar pusat kota dan kemewahan Hotel Red Orchid. Ia memilih jalan menuju pinggiran, mengarah ke pantai yang sepi, yang ia tahu jarang didatangi orang. Keputusan yang Gara Ambil secara sepihak, karena dia tahu Mita butuh ruang untuk melepas semua amarahnya.
Saat mobil berhenti di tepi pantai, suara ombak yang memecah karang terdengar nyaring, seolah menenggelamkan semua kebisingan pikiran Mita.
Mita keluar dari mobil. Angin laut menerpa wajahnya, sedikit meredakan panas di hatinya. Ia berjalan ke pasir, membiarkan deburan ombak menyentuh ujung sepatu haknya.
Gara menyusul, berdiri di sampingnya. Ia tidak bertanya, hanya menunggu.
Mita menatap lautan yang luas, air matanya sudah mengering. Mita menumpahkan unek-unek yang selama ini dia pendam sendiri.
“Aku tidak pernah menduga jika dia akan membalasku seperti ini. Aku kira setelah kami berjuang bersama, kami juga akan memetik hasil bersama. Tapi ternyata…”
Mita menggelengkan kepala, tidak sanggup melanjutkan kalimat yang terasa sangat getir.
“Aku bekerja keras, untuk menutup semua kebutuhan dan cicilan yang begitu besar, sedangkan dia… ada sedikit keuntungan sudah buru-buru check-in.”
Tangis yang sempat mereda datang kembali, dan terdengar lebih menyayat hati.
“Aku menunggunya di rumah, berdandan, mengenakan pakaian yang dia sukai, lingerie-lingerie yang dia belikan dulu…” Seperti orang kalap, Mita mengungkap hal-hal yang seharusnya private. “Tapi dia sama sekali tidak melirikku, tidak menyentuhku, dia… menolakku.”
Mita menoleh, pandangannya hampa. “Aku kira dia lelah karena banyaknya pekerjaan.” Mita tertawa getir, suaranya parau. “Ternyata dia memilih menuntaskan hasratnya bersama wanita lain.”
Mita tersentak, air matanya kembali menggenang. Ia merasa sangat rendah diri dengan tubuhnya yang tidak menarik lagi di hadapan suaminya. Dan seolah kerja keras yang ia lakukan hanya untuk membiayai suaminya bersenang-senang.
“Apa aku seburuk itu? Apa aku sudah tidak cantik lagi?” Mita memohon jawaban dari Gara, suaranya kembali menjadi isakan pedih yang tertahan.
Gara hanya diam, membiarkan ombak menyerap semua kepedihan Mita. Setelah Mita sedikit tenang, Gara melangkah mendekat, perlahan.
“Tan,” panggil Gara lembut. Ia memutar tubuhnya, menghadap langsung Mita. “Tante itu perempuan hebat. Tante sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga, tapi…”
Gara menatap mata Mita, lurus dan tanpa keraguan.
“Kalau memang sesakit ini, kenapa Tante tidak cerai saja?”
Pertanyaan itu, lugas dan tanpa basa-basi, menusuk tepat di ulu hati Mita. Semua kepedihan, pengkhianatan, dan keraguan yang ia simpan, kini dihadapkan langsung oleh pemuda di depannya.
Gara tidak bicara secara asal, karena dia juga tumbuh bersama ibunya yang menjanda. Perceraian tidak membuat Amara tumbang. Mungkin Mita bisa menjadikannya sebagai pertimbangan.
“Nggak bisa,” jawab Mita, suaranya pelan dan berat, bukan penolakan melainkan pengakuan.
“Kenapa tidak bisa?” Gara mencondongkan tubuhnya, pandangannya memaksa Mita untuk jujur. “Tante adalah wanita yang sukses, mandiri. Tante layak mendapatkan yang lebih baik daripada dibohongi dan diselingkuhi.”
Mita mengepalkan tangan, memasukkan jemarinya ke dalam saku celana panjang. Menyembunyikan amarahnya dari Gara.
“Masalahnya bukan hanya diriku, Gar,” jelas Mita, matanya memancarkan rasa lelah yang mendalam. “Ada anakku, dan ada… pinjaman bank.”
“Justru itu. Kamu yang menanggung finansial keluarga kalian. Anakmu bakal makin sedih kalau lihat kamu disakiti terus.” Gara berbicara dengan nada frustrasi yang tulus.
Membicarakan anak seolah menjadi pukulan telak yang membuat mata Mita memanas. Apa yang dilakukan Pram sangat menyakitkan, tapi reaksi yang dia ambil akan sangat mempengaruhi arah ke depan keluarganya.
Mita menimbang-nimbang, urusan finansial masih bisa diusakan, tapi apakah rumah tangganya masih bisa diperbaiki? Bisakah Pram berubah, dan kembali menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab?
“Seluruh asset yang kami miliki menjadi jaminan, Gar. Termasuk konveksiku dan juga rumah yang kami tempati.
“Aku takut, jika kami cerai sekarang, Pram akan lepas tanggung jawab, dan itu pasti akan semakin memberatkan keuanganku.”
Mita mendongak, matanya menatap Gara dengan tatapan seorang pejuang yang terpojok. “Aku harus menyelamatkan anakku dari kebangkrutan, Gar. Lebih mudah menelan pengkhianatan ini daripada menghancurkan masa depannya.”
Gara terdiam. Ia melihat dilema yang lebih besar dari sekadar cinta dan perselingkuhan. Ini adalah perangkap finansial yang mengikat seorang istri dari suami yang korup.
Gara menghela napas panjang, ekspresinya melunak. Menyadari betapa rumit masalah yang dihadapi Mita, membuat Gara menghormati apa pun keputusannya.
“Aku mengerti.” Gara meraih tangan Mita. "Tapi kalau kamu butuh apa pun, aku ada di sini."
Untuk sesaat keheningan tercipta kala mereka saling beradu pandang. Mita merasakan getaran hangat yang aneh di hatinya, sesuatu yang sudah lama hilang.
“Terima kasih.” Mita mengangguk samar dengan suara lirih yang dibarengi lelehan air mata.
Mita menatap Gara yang berdiri tegap di hadapannya. Pemuda di hadapannya bukan sekadar anak magang, tapi sosok baru yang bisa menemani kesepiannya.
Gara berada di tengah keriuhan yang ia cintai, deru mesin motor gede yang menjadi bagian dari hobinya. Celoteh keras para pengendara, dan tawa berderai yang memantul di udara terbuka. Ia sedang beristirahat sejenak bersama klub motornya di sebuah rest area di pinggiran kota.Di depannya, Darren, temannya yang paling konyol, sedang bercerita tentang insiden lucu saat perjalanan tadi.“Untung saja, remku masih pakem! Kalau tidak anak-anak ayam tadi sudah kena genosida,” seru Darren dengan mimik wajah berlebihan, disambut tawa ngakak Gara.Gara, dengan jaket kulit hitamnya yang khas dan helm yang diletakkan di samping, tertawa renyah, menikmati momen tanpa beban. Masa muda yang ia genggam terasa nyata di tengah kawan-kawan sebaya. Ia menenggak minumannya, matanya sesekali menyapu jalanan raya di depan mereka.Tawa itu tiba-tiba terhenti.Di antara deretan mobil yang melintas, mata tajam Gara menangkap sebuah sedan berwarna gelap yang sangat ia kenali. Mobil itu melaju dengan kecepatan ya
Mita memutuskan kembali mengenakan topeng. Berperan menjadi istri yang selalu mendukung apapun langkah suaminya. Mita hanya ingin menjaga situasi tetap kondusif, setidaknya sampai ia menemukan celah untuk menyelamatkan asetnya.“Besok aku ada pekerjaan di luar kota beberapa hari, Ma,” ujar Pram saat menikmati sarapan bersama.“Keluar kota lagi?” tanya Mita sambil menatap penampilan Pram sudah rapi, seolah selalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi rezeki.“Iya, ada proyek lama yang butuh negosiasi ulang.” Pram tampak sedikit gelisah, biasanya istrinya hanya mengiyakan tanpan banyak bertanya.Mita terdiam sejenak, dalam benaknya timbul ide untuk mengikuti alur sandiwara sang suami.“Aku ikut ya, Pa.”Pram tersentak. “Ikut? Ngapain? Jauh.”“Aku bisa ambil cuti beberapa hari. Rasanya sudah lama kita tidak pergi berdua. Aku juga bisa melihat perkembangan market di sana, sekalian refreshing.” Mita menyodorkan ide itu dengan nada ceria seolah tidak terjadi apa-apa.Ekspresi Pram menegang, kepani
Gara memutar kemudi, menjauhi hingar bingar pusat kota dan kemewahan Hotel Red Orchid. Ia memilih jalan menuju pinggiran, mengarah ke pantai yang sepi, yang ia tahu jarang didatangi orang. Keputusan yang Gara Ambil secara sepihak, karena dia tahu Mita butuh ruang untuk melepas semua amarahnya.Saat mobil berhenti di tepi pantai, suara ombak yang memecah karang terdengar nyaring, seolah menenggelamkan semua kebisingan pikiran Mita.Mita keluar dari mobil. Angin laut menerpa wajahnya, sedikit meredakan panas di hatinya. Ia berjalan ke pasir, membiarkan deburan ombak menyentuh ujung sepatu haknya.Gara menyusul, berdiri di sampingnya. Ia tidak bertanya, hanya menunggu.Mita menatap lautan yang luas, air matanya sudah mengering. Mita menumpahkan unek-unek yang selama ini dia pendam sendiri.“Aku tidak pernah menduga jika dia akan membalasku seperti ini. Aku kira setelah kami berjuang bersama, kami juga akan memetik hasil bersama. Tapi ternyata…”Mita menggelengkan kepala, tidak sanggup me
Seolah tidak pernah terjadi huru-hara di hatinya, pagi ini Mita kembali menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga seperti biasanya, meski tubuhnya kurang fit karena semalam tidak bisa tidur.Pram yang baru pulang subuh, sudah berangkat lagi, berdalih ada pertemuan mendadak di luar kota. Kebohongan yang kini terasa sangat menjijikkan bagi Mita.Setelah Samudra berangkat sekolah, Mita duduk di meja makan, mencoba menenangkan diri sambil menyeruput kopi, tapi tenggorokannya menolak. Ia terdiam menatap layar ponsel di hadapannya, seolah menimbang-nimbang sesuatu.Mita menekan nomor Gara.“Halo, Gar. Maaf mengganggu pagi-pagi begini.” Suara Mita terdengar datar dan dingin, tapi terkontrol, seperti atasan yang akan membahas pekerjaan.“Ada apa, Tan?” Suara Gara langsung berubah serius.Ada hela napas panjang penuh keraguan. “Aku ingin memastikan, apakah suamiku benar-benar cek in di hotel semalam.”Meski sudah berusaha tegar, tapi air mata Mita kembali luruh saat mengingat kejadian sema
Gara kembali, langkahnya terhenti beberapa meter dari Mita. Ia melihat perubahan ekspresi pada bosnya, yang tadinya tersenyum lega dan bahagia setelah negosiasi sukses, kini wajah Mita pucat pasi.Gara mengikuti arah pandangan Mita, yang dia lihat hanyalah pintu lift yang tertutup perlahan, tanpa tahu siapa yang berada di dalamnya.Jemari Mita refleks meraih ponsel di tas. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor suaminya.Panggilan pertama tidak dijawab.Panggilan kedua berdering panjang, lalu terputus.Panggilan ketiga langsung masuk ke kotak suara.Suara merdu operator terdengar seperti tawa ejekan yang keras. Mita yakin, Pram pasti mematikan ponselnya di kamar hotel itu, karena sedang bersama perempuan lain.Mita ingin mengejar, berlari ke arah lift, menjerit di depan suaminya, tapi kakinya terasa kaku.“Tante… kenapa?” Gara menatap sahabat mamanya penuh kekhawatiran.Mita menoleh, air mata yang ia tahan sejak tadi langsung meledak bersama amarah yang memuncak.Mita menggenggam pon
Malam mulai merangkak dan menebar sepi, kala semua karyawan sudah pulang. Namun, di ruang kerja Mita, lampu masih menyala terang.Mita duduk di balik meja, jemarinya lincah menggoreskan sketsa di atas kertas. Lembar-lembar desain berhamburan, kain sample bertumpuk di sudut meja. Matanya tampak lelah, tapi enggan berhenti.Seolah dengan bekerja, ia bisa mengusir rasa sesak yang sejak tadi malam mengerogoti kewarasannya.Dian, sahabat sekaligus asistennya, berdiri di dekat pintu dengan perutnya yang membuncit, sorot mata menyiratkan kekhawatiran.“Mit, sudah jam sembilan malam. Pulang yuk! Besok bisa dilanjutkan lagi, Sam pasti nungguin mamanya.”Mita berhenti sebentar, menekan pensil di atas kertas. Lalu ia menghela napas, menahan letih. “Aku sudah hubungi Sam kalau aku lembur. Besok desain ini sudah harus aku presentasikan, kalau sampai gagal, bisa hancur reputasi kita.”Dian melipat tangan di dada, menggeleng pelan. “Kerja keras boleh, tapi kamu juga manusia, Mit. Badan kamu bisa sa







