LOGINSeolah tidak pernah terjadi huru-hara di hatinya, pagi ini Mita kembali menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga seperti biasanya, meski tubuhnya kurang fit karena semalam tidak bisa tidur.
Pram yang baru pulang subuh, sudah berangkat lagi, berdalih ada pertemuan mendadak di luar kota. Kebohongan yang kini terasa sangat menjijikkan bagi Mita.
Setelah Samudra berangkat sekolah, Mita duduk di meja makan, mencoba menenangkan diri sambil menyeruput kopi, tapi tenggorokannya menolak. Ia terdiam menatap layar ponsel di hadapannya, seolah menimbang-nimbang sesuatu.
Mita menekan nomor Gara.
“Halo, Gar. Maaf mengganggu pagi-pagi begini.” Suara Mita terdengar datar dan dingin, tapi terkontrol, seperti atasan yang akan membahas pekerjaan.
“Ada apa, Tan?” Suara Gara langsung berubah serius.
Ada hela napas panjang penuh keraguan. “Aku ingin memastikan, apakah suamiku benar-benar cek in di hotel semalam.”
Meski sudah berusaha tegar, tapi air mata Mita kembali luruh saat mengingat kejadian semalam.
“Tapi aku tidak tahu caranya.” Mita menutup mata, menahan frustrasi.
Hening sejenak, mungkin Gara sedang berpikir, kala Mita menenangkan hatinya.
“Bagaimana kalau kita ke Red Orchid lagi?” tanya Gara akhirnya. “Kita bisa bertemu dengan bagian manajemen.”
“Bagaimana kalau mereka menolak seperti semalam?”
“Kita coba dulu… tapi Tante harus tenang, jangan seperti semalam.”
“Hmmm.” Mita mengangguk.
Setelah pembicaraan berakhir, Mita segera bersiap-siap. Sekali lagi dia berkaca, dipastikannya riasan cantik di wajahnya cukup untuk menutupi hatinya yang memprihatinkan.
Lima belas menit kemudian, sebuah mobil sport berhenti mulus di depan gerbang rumah. Mita terlihat rapi dengan kemeja silk berwarna netral dan celana panjang yang elegan.
Gara berdiri bersandar pada mobil, aura percaya diri itu membuat pemuda itu tampak gagah dan mempesona. Dia mengenakan kaus oblong hitam polos yang memamerkan lengan berotot yang semalam mendekapnya.
“Sudah siap, Tan?” Gara menegakkan tubuh, tatap matanya memindai Mita dari ujung rambut hingga kaki. Meski terpesona, tapi tak ada tatapan nakal, dia hanya ingin memastikan Mita baik-baik saja.
“Mamamu nggak marah, kamu pakai mobilnya?”
“Mama ada urusan di luar kota.” Gara langsung membuka pintu untuk Mita. “Ayo, Tan!”
Tak ingin membiarkan pikiran liar tentang suaminya terus mengganggu, Mita bergegas masuk berharap bisa segera menuntaskan masalah. Mita sadar kebenaran yang dia cari bisa saja membawanya ke dalam kehancuran yang lain.
Setelah keduanya berada di mobil, Gara menatap Mita sekali lagi ingin memastikan atasannya siap dengan segala kemungkinan yang akan mereka dapatkan.
Tangan Gara terangkat, ibu jarinya merapikan anak rambut Mita yang jatuh di pelipis. Sentuhan itu singkat, tapi terasa layaknya sengatan yang berbahaya bagi Mita.
“Tante harus tetap tenang,” bisik Gara, suaranya rendah dan sedikit serak. “Kita hanya memastikan kebenaran, agar Tante bisa mengambil keputusan yang tepat.”
Mita terkesiap. Sentuhan itu, dan kata-kata yang mendesak itu, menghantam Mita pada dua sisi, luka pengkhianatan dan rasa tak wajar yang muncul pada pemuda di hadapannya.
Mita refleks meraih tangan Gara yang berada di pelipisnya, berniat menyingkirkan sentuhan yang terasa terlalu intim. Tapi saat Mita akan melepasnya, Gara justru menggenggam jemari Mita dengan lebih erat, membiarkan telapak tangan Mita yang dingin menyentuh kulitnya yang hangat.
Genggaman Gara semakin mengencang. “Tante harus kuat.”
Gara tersenyum melihat anggukan samar Mita. Pemuda itu langsung menyalakan mesin, dan mobil pun melaju meninggalkan rumah Mita.
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di hotel. Tak ingin membuang waktu, mereka melangkah bersama menuju lobi, kembali ke tempat Mita mengalami kehancuran emosional semalam.
Setibanya di meja resepsionis, Mita merasakan nyeri di dada, teringat amarahnya yang tak terkendali semalam.
Meski di luar cukup tenang, Gara tahu suasana hati Mita sedang tidak baik-baik saja, sehingga dia mengambil inisiatif bicara.
“Selamat pagi,” sapa Gara, senyumnya formal. “Saya Gara, dari… Sadewa Construction. Kami ingin memastikan keberadaan Bapak Pramudya Wijayanto. Apakah beliau menginap di sini semalam?”
Resepsionis muda itu ragu, matanya melirik ke arah Mita sejenak. “Mohon maaf, Bapak. Kami tidak diizinkan memberikan informasi data tamu tanpa izin yang bersangkutan.”
Gara mempertahankan senyumnya, tetapi nada suaranya berubah menjadi lebih dingin.
“Ini adalah masalah mendesak yang melibatkan kelanjutan kerja sama dua perusahaan besar. Pramudya Wijayanto adalah partner penting kami. Jika Anda tidak bisa memberikan informasi, tolong panggil atasan Anda sekarang juga. Saya perlu berbicara dengan Manager.”
Mita menoleh ke Gara. Ia menatap pemuda itu dengan pandangan yang sama sekali berbeda. Gara yang ia kenal adalah anak teman yang suka iseng, tapi yang ini adalah profesional muda yang tajam.
Gara terlalu berani mencatut nama besar Sadewa Construction untuk membuka pintu yang tertutup rapat. Seingat Mita, perusahaan Pram pernah mendapat sub-kontrak dari Sadewa Construction.
Melihat ketegasan Gara dan kemeja sutra mahal yang dikenakan Mita, resepsionis itu tidak berani membantah.
“Tunggu sebentar, Bapak.”
Tak lama kemudian, seorang Manager berpakaian rapi datang. Gara mengulangi narasi cerdasnya, menekankan urgensi bisnis dan potensi kerugian jika komunikasi dengan Pram terputus.
Mita hanya diam, membiarkan pesona Gara yang dewasa mengambil alih. Ia menyadari betapa kuatnya koneksi Amara, yang seolah diwariskan kepada putranya.
Manager itu menghela napas, menilai risiko. Konflik bisnis lebih menakutkan daripada melanggar kebijakan privasi kecil.
“Baik, Pak Gara. Kami akan memeriksa sebentar.” Manager itu mengecek sistem.
Tidak butuh waktu lama, informasi yang diinginkan pun meluncur dari mulut sang manager. “Kemarin memang ada billing dan pendaftaran tamu di kamar Suite Eksekuti atas nama Pramudya Wijayanto, lengkap dengan detail perusahaan Wijaya Konstruksi sebagai penjamin pembayaran.”
Fakta yang sangat menusuk bagi Mita. Pram tidak hanya selingkuh, tapi ia tidak repot-repot menyembunyikannya dari catatan resmi hotel, bahkan menggunakan nama dan perusahaan mereka.
“Check-in sekitar pukul 18.00, dan check-out hari ini pukul 07.00 pagi.” Manager itu melanjutkan informasinya.
Mita mencatat detail itu di otaknya, Pram berbohong tentang rapat subuh. Ia baru check-out dan langsung bergegas pulang untuk berganti pakaian.
“Wanita yang bersamanya?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari bibir Mita.
“Mereka mendaftar sebagai Mr. and Mrs. Wijayanto, Bu. Sesuai prosedur hotel, tidak ada nama lain yang tercatat,” jawab sang manager, menuntaskan informasinya.
Ada keheningan panjang di antara mereka. Mita tidak perlu drama lagi, karena fakta sudah berbicara.
Gara berada di tengah keriuhan yang ia cintai, deru mesin motor gede yang menjadi bagian dari hobinya. Celoteh keras para pengendara, dan tawa berderai yang memantul di udara terbuka. Ia sedang beristirahat sejenak bersama klub motornya di sebuah rest area di pinggiran kota.Di depannya, Darren, temannya yang paling konyol, sedang bercerita tentang insiden lucu saat perjalanan tadi.“Untung saja, remku masih pakem! Kalau tidak anak-anak ayam tadi sudah kena genosida,” seru Darren dengan mimik wajah berlebihan, disambut tawa ngakak Gara.Gara, dengan jaket kulit hitamnya yang khas dan helm yang diletakkan di samping, tertawa renyah, menikmati momen tanpa beban. Masa muda yang ia genggam terasa nyata di tengah kawan-kawan sebaya. Ia menenggak minumannya, matanya sesekali menyapu jalanan raya di depan mereka.Tawa itu tiba-tiba terhenti.Di antara deretan mobil yang melintas, mata tajam Gara menangkap sebuah sedan berwarna gelap yang sangat ia kenali. Mobil itu melaju dengan kecepatan ya
Mita memutuskan kembali mengenakan topeng. Berperan menjadi istri yang selalu mendukung apapun langkah suaminya. Mita hanya ingin menjaga situasi tetap kondusif, setidaknya sampai ia menemukan celah untuk menyelamatkan asetnya.“Besok aku ada pekerjaan di luar kota beberapa hari, Ma,” ujar Pram saat menikmati sarapan bersama.“Keluar kota lagi?” tanya Mita sambil menatap penampilan Pram sudah rapi, seolah selalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi rezeki.“Iya, ada proyek lama yang butuh negosiasi ulang.” Pram tampak sedikit gelisah, biasanya istrinya hanya mengiyakan tanpan banyak bertanya.Mita terdiam sejenak, dalam benaknya timbul ide untuk mengikuti alur sandiwara sang suami.“Aku ikut ya, Pa.”Pram tersentak. “Ikut? Ngapain? Jauh.”“Aku bisa ambil cuti beberapa hari. Rasanya sudah lama kita tidak pergi berdua. Aku juga bisa melihat perkembangan market di sana, sekalian refreshing.” Mita menyodorkan ide itu dengan nada ceria seolah tidak terjadi apa-apa.Ekspresi Pram menegang, kepani
Gara memutar kemudi, menjauhi hingar bingar pusat kota dan kemewahan Hotel Red Orchid. Ia memilih jalan menuju pinggiran, mengarah ke pantai yang sepi, yang ia tahu jarang didatangi orang. Keputusan yang Gara Ambil secara sepihak, karena dia tahu Mita butuh ruang untuk melepas semua amarahnya.Saat mobil berhenti di tepi pantai, suara ombak yang memecah karang terdengar nyaring, seolah menenggelamkan semua kebisingan pikiran Mita.Mita keluar dari mobil. Angin laut menerpa wajahnya, sedikit meredakan panas di hatinya. Ia berjalan ke pasir, membiarkan deburan ombak menyentuh ujung sepatu haknya.Gara menyusul, berdiri di sampingnya. Ia tidak bertanya, hanya menunggu.Mita menatap lautan yang luas, air matanya sudah mengering. Mita menumpahkan unek-unek yang selama ini dia pendam sendiri.“Aku tidak pernah menduga jika dia akan membalasku seperti ini. Aku kira setelah kami berjuang bersama, kami juga akan memetik hasil bersama. Tapi ternyata…”Mita menggelengkan kepala, tidak sanggup me
Seolah tidak pernah terjadi huru-hara di hatinya, pagi ini Mita kembali menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga seperti biasanya, meski tubuhnya kurang fit karena semalam tidak bisa tidur.Pram yang baru pulang subuh, sudah berangkat lagi, berdalih ada pertemuan mendadak di luar kota. Kebohongan yang kini terasa sangat menjijikkan bagi Mita.Setelah Samudra berangkat sekolah, Mita duduk di meja makan, mencoba menenangkan diri sambil menyeruput kopi, tapi tenggorokannya menolak. Ia terdiam menatap layar ponsel di hadapannya, seolah menimbang-nimbang sesuatu.Mita menekan nomor Gara.“Halo, Gar. Maaf mengganggu pagi-pagi begini.” Suara Mita terdengar datar dan dingin, tapi terkontrol, seperti atasan yang akan membahas pekerjaan.“Ada apa, Tan?” Suara Gara langsung berubah serius.Ada hela napas panjang penuh keraguan. “Aku ingin memastikan, apakah suamiku benar-benar cek in di hotel semalam.”Meski sudah berusaha tegar, tapi air mata Mita kembali luruh saat mengingat kejadian sema
Gara kembali, langkahnya terhenti beberapa meter dari Mita. Ia melihat perubahan ekspresi pada bosnya, yang tadinya tersenyum lega dan bahagia setelah negosiasi sukses, kini wajah Mita pucat pasi.Gara mengikuti arah pandangan Mita, yang dia lihat hanyalah pintu lift yang tertutup perlahan, tanpa tahu siapa yang berada di dalamnya.Jemari Mita refleks meraih ponsel di tas. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor suaminya.Panggilan pertama tidak dijawab.Panggilan kedua berdering panjang, lalu terputus.Panggilan ketiga langsung masuk ke kotak suara.Suara merdu operator terdengar seperti tawa ejekan yang keras. Mita yakin, Pram pasti mematikan ponselnya di kamar hotel itu, karena sedang bersama perempuan lain.Mita ingin mengejar, berlari ke arah lift, menjerit di depan suaminya, tapi kakinya terasa kaku.“Tante… kenapa?” Gara menatap sahabat mamanya penuh kekhawatiran.Mita menoleh, air mata yang ia tahan sejak tadi langsung meledak bersama amarah yang memuncak.Mita menggenggam pon
Malam mulai merangkak dan menebar sepi, kala semua karyawan sudah pulang. Namun, di ruang kerja Mita, lampu masih menyala terang.Mita duduk di balik meja, jemarinya lincah menggoreskan sketsa di atas kertas. Lembar-lembar desain berhamburan, kain sample bertumpuk di sudut meja. Matanya tampak lelah, tapi enggan berhenti.Seolah dengan bekerja, ia bisa mengusir rasa sesak yang sejak tadi malam mengerogoti kewarasannya.Dian, sahabat sekaligus asistennya, berdiri di dekat pintu dengan perutnya yang membuncit, sorot mata menyiratkan kekhawatiran.“Mit, sudah jam sembilan malam. Pulang yuk! Besok bisa dilanjutkan lagi, Sam pasti nungguin mamanya.”Mita berhenti sebentar, menekan pensil di atas kertas. Lalu ia menghela napas, menahan letih. “Aku sudah hubungi Sam kalau aku lembur. Besok desain ini sudah harus aku presentasikan, kalau sampai gagal, bisa hancur reputasi kita.”Dian melipat tangan di dada, menggeleng pelan. “Kerja keras boleh, tapi kamu juga manusia, Mit. Badan kamu bisa sa







