Aku meletakkan sepucuk surat yang Ibu katakan sebagai daftar hutangnya kepada Joe dan surat pribadinya untuk Bapak—surat permohonan cerai. Aku jamin surat-surat itu akan membuat keributan sengit yang berdampak pada kebencian.
“Sehari saja nggak ada masalah di dunia ini. Orang-orang sepertiku pasti senang.” Aku memutuskan menyandarkan punggung pada tembok, dua hari ini seperti mimpi buruk yang membuatku sulit istirahat dengan santai. Kamar Ibu memang memakai air conditioner yang sejuk, sesuatu yang lebih berkelas daripada kamarku yang hanya memakai kipas angin karakter di bawah harga seratus ribu. Tetapi aku merasa seperti berada ruang arsip yang menyimpan sejarah panjang Indonesia, yang membuatku ingin cepat-cepat keluar dari sana. “Apa susahnya...” “Biaya kuliahmu sebagian hutang dari dia, Ran!” sahut Ibu dengan cepat. Aku jadi tidak yakin kalau Ibu betul-betul sakit jika marah begitu. “Tolong Ibulah, Ran. Cuma kamu satu-satunya yang bisa bantu!” Sial. Jadi aku di suruh secepatnya ke sini untuk mengganti uang-uang Ibu karena biaya kuliahku tidak sedikit? Ya ampun. “Bapakmu juga tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga kita, Ran. Apa-apa Ibu, tapi giliran Ibu sakit, mereka mana ada yang kirim uang ke sini! Mereka mana peduli.” Oh perih sekali fakta ini. Aku terjerumus dalam hutang piutang yang tidak aku lakukan walaupun aku juga ikut menggunakannya. Pusing kepalaku. Dan di masa sekarang, di mana aku tidak memiliki masa depan kecuali sebagai pembantu seorang Joe Abrizam Sky? Berapa sih gaji yang akan aku terima? Aku tidak ingin menangis. Tapi mataku berkaca-kaca. Dadaku sakit tak karuan. Ya Tuhan. Pameran apa ini? Kurator manapun tidak suka pameran macam ini. Tidak ada seseorang yang suka dengan rencana yang serba mendadak, tidak ada seseorang yang senang pameran yang bernama kabar buruk, dan aku termasuk seseorang itu. Ini kabar buruk yang benar-benar buruk sekali. Tapi aku paham, kebencian Ibu terhadap Bapak memang mendarah daging, tapi mengapa Ibu ikut menumpahkan kebencian itu padaku? Ibu memang tulang punggung dua keluarga, dan Bapak adalah contoh pria yang tidak bertanggung jawab. Sementara aku hanyalah anak yang sedang terpesona dengan duniaku sendiri yang jauh dari kata bayar hutang! Jumlahnya mungkin puluhan juta. Sumpah, dari mana aku bisa membayar sebanyak itu? Buat puisi, esai, majalah dinding, kerja serabutan, melukis? Aku keluar dari kamar Ibu. Di tempat asing ini, aku merasakan kombinasi rasa penasaran dan keberanian yang seimbang. Aku menelusuri ruangan demi ruangan yang aku anggap terlalu monoton untuk mengistirahatkan benak. Rumah ini memang rumah laki-laki single, yang tidak suka printilan aneh-aneh yang akan mempersulit hidupnya. Tapi Joe amat menyia-nyiakan tembok yang harusnya bisa dipasangi beberapa lukisan Pablo Picasso yang legendaris itu atau lukisan Basuki Abdullah yang bertema tokoh politik masa lalu dan tokoh pewayangan itu untuk menunjang estetika temboknya yang putih bersih. Barangkali tidak masalah kalau hanya di hiasi lukisan-lukisan dari pasar seni yang tidak mempermasalahkan makna dan nilai estetika dari lukisan tersebut. Aku mengeluarkan rokok elektrik yang tersimpan di celana jinsku di depan satu-satunya hiasan dinding yang menampilkan potret keluarga pemilik rumah, di ruang tamunya yang luas dan sepi. “Aku rasa Joe tidak keberatan dengan asap rokok. Toh dia entah di mana!” Untuk beberapa saat aku tenggelam dalam keprihatinan, terutama pada diri sendiri. Ibu sakit kanker, beberapa prosedur kesehatan pasti akan dilakukan dan itu membutuhkan uang besar. Gajiku sebagai kurator hanya mampu menopang pengeluaranku sendiri dan mengisi sekarung beras. Itupun baru gajian dua kali. Alamak... Bapak tak mungkin ke sini, tak mungkin menjual harta bendanya untuk pengobatan Ibu sebagai pengorbanan atas nama cinta. Jika itu terjadi aku lantas sujud syukur, walau sekali lagi itu mustahil. Mungkin Bapak sudah tahu kisah main serong Ibu bersama Zainuddin, mungkin dia justru sudah atur strategi mencari wanita beruang banyak karena Ibu sudah tidak menjadi donatur resmi. Aku menghela napas. Aku paham pertikaian rumah tangga mereka karena pendapat-pendapat gila selalu mereka utarakan setelah bertengkar melalui telepon. Aku yakin memang keluarga ini tidak baik-baik saja dan tidak bisa diperbaiki. Aku bersumpah, tidak hanya aku yang merasakan keprihatinan macam ini. Banyak orang, banyak alasan yang mendasarinya dan banyak solusi yang diberikan. Dan solusi yang aku sukai adalah mengagungkan rokok dan kopi sebagai pembuka diskusi dan tukar pikiran untuk mengusir kegelisahan, mengeluarkan uneg-uneg dan mencari semangat. Tapi dengan keluarnya asap rokok dari tubuhku, kegelisahanku tidak pergi, kegelisahan itu masih bersamaku dan rupanya sudah menabrak dan memasuki rongga hidung Joe Abrizam Sky. Laki-laki itu menghampiriku sambil berkata, “Polusi macam apa yang kamu lakukan di sini!” Suaranya membentak galak. Aku menyembunyikan alat pembuat polusi di kantong celanaku setelah mengisapnya sekali lagi. Aku menghadapnya sambil terpukau melihat maskulinitas yang terpampang jelas di depan mataku. Joe tidak memakai baju, dan hanya celana hitam khas celana boxer itu membungkus tubuhnya yang berkeringat. Aku yakin dia habis berolahraga, mengingat ada alat treadmill di kamarnya. Kulitnya yang coklat muda itu tak mampu menyembunyikan beberapa otot badannya yang kekar. Uh... Seksi. “Polusi macam apa yang aku lakukan? Apa tuan tidak tahu rokok elektrik?” cibirku. Dan keberanianku langsung mati ketika Joe menghampiriku dengan sorot mata tajam seakan hendak menerkam nyaliku dengan tubuhnya yang seksi itu. Aku deg-degan. Sakaratul maut tampaknya sudah mengincarku lebih dulu daripada mengincar Ibu. “Kamu hanya menjadi pembantu di sini, tidak perlu berbuat ulah!” Joe menekankan nada suaranya sambil mengambil rokok elektrik dikantong celanaku. Aku mendengus. Lancang sekali dia dan aku berusaha merebutnya. “Kembalikan, Tuan. Itu bukan milikmu!” teriakku berang. Joe mengangkat tangannya tinggi-tinggi seolah bergurau dengan pembantu lama dan bukan anak Suminah Andari yang berhutang banyak kepadanya. Joe memainkan perannya tanpa jarak seolah sudah lama mengenalku, tetapi keprihatinan dan rasa jengkel pada hutang-hutang yang diberikan Ibu membuatku betul-betul menjotos perutnya. Joe tersentak kaget. Jotosan itu memancing amarahnya yang lebih menyeramkan daripada kedatangan sakaratul maut. Dia menyeretku ke kamarnya. - next, happy reading.Aku memandangi pintu yang perlahan terbuka. Senyum layu pun terpaksa aku berikan kepada Joe. “Kau benar-benar serius akan menyelesaikan ini dalam satu hari?” Joe menaruh jus alpukat dingin dan sepiring kue lapis di meja. “Ini sudah lima jam Rania, aku malas menunggumu lebih lama.” Aku tahu ini lama sekali, bahkan bokongku sudah panas dan Rebbecca sudah pergi entah ke mana setelah aku memastikan detail-detail tubuhnya dan kritikannya selesai dilontarkan. “Aku tidak meminta tuan menungguku sampai selesai.” Aku menaruh kuas sambil mendengus. Aku lapar, ingin rebahan. “Tuan tidak perlu repot-repot, lebih baik istirahat atau kerja.” Alih-alih cerewet dan berusaha tidak peduli. Joe menengok hasil lukisanku lalu mengamati wajahku. Dia melakukannya dua kali sebelum tersenyum lebar. “Kamu tahu caranya mengambil hati Mama.” Joe tiba-tiba menyerbu keningku dengan ciuman basah. “Aku suka kombinasi warna dan detailnya, meski aku tidak paham soal ini. Papa pasti menyukainya.” Tan
Mungkin lukisan, mungkin puisi, mungkin... Mengapa kami harus menjadi masa lalu kalau kami bisa menjadi masa depan? “Aku tidak suka dengan pertanyaan tuan.” “Aku juga tidak terima kamu mengabadikan masa lalumu dalam bentuk apa pun!” Iuh... Aku sungguh-sungguh menatapnya, “Kenapa tidak terima?” “Karena aku tidak ingin berada di nomer dua. Dan... Rania, hapus semua masa lalumu dalam bentuk apa pun!” “Kalau aku tidak mau bagaimana?” sahutku, terus terang aku tidak tahu cara berpikirnya. Kadang-kadang Romeo, kadang-kadang Kurawa. Dan kalau Joe diam saja begitu, aku hanya perlu menunggu kejutan-kejutan lain darinya. Sungguh-sungguh menyebalkan. - “Kau sudah siap, Rania?” Di depan dua videografer dan Rebbecca yang cantik dengan gaun musim panas hijau muda tanpa lengan. Aku mengangguk pasrah. “Aku sudah tidak sabar, Mama. Seluruh dunia ini harus tahu akulah kekasih sejati Abang Joe.” Rebbecca memutar bola matanya setelah membuang wajah, barulah kemudian dia tersenyu
“Kamu harus mengguyurnya berkali-kali, Rania. Aku tidak peduli keluhanmu. Foto-foto itu harus lenyap dari saluran air toilet kita!” “Siap tuan rumah!” Setelah mendengus jengkel, aku mengangkat ember hitam dan menuangkannya ke toilet. Ini sudah lima kali dan permintaannya itu sampai ember ke sepuluh. “Bagaimana kalau kita pindah apartemen saja?” Aku menyarankan. “Daripada ribet begini, kurang kerjaan banget.” keluhku sambil menghidupkan kran air. “Lagipula tuan, aku ini capek sekali lho. Badanku sudah pegal-pegal, tidak enak.” Joe melepas kaosnya, uh, aku dapat melihat bekas kecupanku semalam di dadanya. “Hari ini kita pergi ke rumah Mama, Rania. Selesaikan tugasmu dan biarkan aku mandi!” Aku mengiyakan dan mempunyai keinginan untuk menjotosnya. Satu manusia ini adalah contoh keberagaman sikap yang tidak perlu dicontoh. Kelakuannya sungguh-sungguh memalukan. “Tidak bisa nanti saja mandinya?” Aku memandangi Joe yang asyik mencuci rambutnya. “Apa tuan benar-benar nak
“Ke mana saja kamu dengan Realino?” Berdasarkan hasil pengamatanku selama kurang lebih dari satu jam, Joe agaknya benar-benar menyesal telah menamparku. Dia memeriksa pipiku lalu mengecupnya sebelum memeriksa tanganku yang membersihkan pecahan gelas tadi. Joe bersyukur aku tidak kenapa-kenapa, tapi yang paling mengejutkan, dia membuatkan makan malam walau hanya pop mie dan es susu kocok stroberi. “Kamu menyukai ini kan? Makanlah setelah menjawab pertanyaanku!”Pertama-tama aku menjawab pertanyaannya dengan jujur. “Tuan bisa memastikannya langsung kepada yang bersangkutan.”“Kamu bersenang-senang dengannya?”“Lumayan.” Aku menguncupkan bibir. “Ada ilmu yang aku dapat, tapi juga pusing, ada revisi besar-besaran. Tuan, maafkan keinginanku itu.” Joe tidak mempermasalahkan keinginanku, baginya itu kecil dan gampang. “Terimalah permintaan maafku dulu, Rania. Makanlah dan bersenang-senang denganku lagi.” Bagaimana caranya tersenyum? Coba katakan? Aku sungguh-sungguh tidak paham
Dari sepersekian detik yang bergulir bagai anak siput yang baru lahir, kami bertatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Satu dua larik kata muncul dan tenggelam begitu saja hingga pada akhirnya aku malas untuk mulai berkata. Toh seperti sejak pertama berjumpa memang aku tidak boleh mendominasinya. Aku mengerti, meminta maaf sekarang tidak akan memperbaiki keadaan. Apalagi membahas Sabrinna lagi, astaga pria itu pasti akan semakin tenggelam pada kenangan! Aku berbalik dengan detak jantung yang tambah berdebar-debar. Entah mengapa aku takut, canggung dan grogi. Joe dan keadaan apartemennya yang berantakan bertolak belakang dengan isi pikiranku. Aku pikir dia enggan melihatku atau menungguku pulang. Dua gelas anggur merah yang pecah di lantai dan wadah bekas makanan seolah-olah dijadikan bukti bahwa dia tetap di sini selama aku pergi bersenang-senang. Aku meletakkan tas ranselku di meja, ada baiknya membersihkan tempat ini lalu mengurus diri sendiri. “Apa kamu tidak berp
“Saya rasa kerja sama ini akan sepedas rujak es krim yang kalian bawa.” Pak Anto terkekeh-kekeh sambil mengulurkan tangan. “Senang bisa bergabung dengan kalian.” Meski tampak ramah, Pak Anto tampak tidak bisa menyembunyikan wajah seriusnya. Aku buru-buru menyambut tangannya dan mengangguk. “Saya sendiri berharap ide-ide menarik dari imajinasi saya tidak membingungkan Pak Anto dan Realino.” “Santai, Rania. Ini justru menarik dan seru!” sahut Realino yang berdiri di sampingku. “Tapi ini udah kelewat batas, gue takut ada yang khawatir sama elo!” Aku paham ada bencana yang akan menimpaku nanti. Tetapi aku tidak bisa tidak tersenyum setelah berdiskusi panjang dengan mereka. Rasanya memang seru bertemu orang-orang hebat yang tidak menghakimi kepolosan dan kegilaan yang aku miliki. “Sampai jumpa lagi, Pak. Jadwal kedua nanti semoga tidak bentrok dengan jadwal Bapak.” Pak Anto mengangguk dan mengantar kami berdua ke pelataran rumahnya yang asri. Banyak pohon anggrek yang sed