Tubuhku terjatuh di ranjang empuk setelah didorong dengan kasar oleh Joe. Ranjang ini nyaman, beralaskan kain halus tanpa corak. Rasanya aku ingin tidur-tiduran di sini, nyenyak pasti tidurku. Tapi secepat mungkin aku bangkit, menentang kekuasaannya dengan cepat.
“Kamu memang akan menjadi bos saya, ya. Tapi perlakukan aku seperti orang asing saja. Tidak perlu ada sentuhan fisik begini. Sialan! Aku bukan binatang jalang.” Joe mengernyit heran. Jelas dia tidak tahu maksudku, dia pasti hanya memahami seni berhitung dan mengatur karyawan. “Siapa yang menganggap kamu binatang jalang? Kamu sendiri!” Aku mengepalkan kedua tangan sambil menatap Joe dengan berani setelah dia menganggap ucapanku tidak sepenting niat hatinya membawaku ke kamarnya. “Ini penting, dengar sajak ini.” Aku memuntahkan sajak Chairil Anwar berjudul Aku, Joe layaknya meresapi baik-baik ucapanku dan memahaminya. Aku sungguh-sungguh berlari ke sini tanpa berniat menebus peluru yang dilepaskan Ibu. Aku tidak mau kulitku tertembus peluru, sekalipun itu peluru bernama kejantanannya yang mungkin menakjubkan. Oh pasti menakjubkan, dari badannya saja sudah terlihat kekar. “Suaramu bagus juga, mendesahlah!” Aku melotot. “Kamu mau apa lagi, tuan?” “Rania Zaskia Putri.” Joe bersungguh-sungguh mengucapkan nama lengkapku. Aku terperangah, sejauh apa Ibu menjelaskan anak sulungnya kepada pria ini? Aku mendengus. Ini wilayah pribadi yang membuatnya menjadi diri sendiri. Wilayah pribadi yang mengukuhkan siapa dirinya bagiku. Sang penguasa dan aku ialah budak anyar yang sedang di uji kelayakannya. Aku bertepuk tangan dalam hati. Imajinasi lumayan menghanyutkan alam sadarku seakan-akan Joe benar-benar menginginkanku. Joe menghalangi pintu dengan tubuhnya yang kekar itu. Aku seyakin-yakinnya dengan prinsip yang aku bawa ke Jakarta. Aku harus berani dan percaya diri, meski ada prinsip yang wajib aku pegang erat-erat. Aku harus jujur, apapun alasannya. “Andaikan Tuan Joe tahu kenapa aku membuat polusi udara di sini, tuan pasti mengembalikan satu-satunya kawanku sekarang!” Dalam satu kesempatan yang mengejutkan, Joe mengisap rokok elektrikku lantas menyemburkan asap beraroma nanas itu ke wajahku. Ini penghinaan! Ada ketidaksopanan yang perlu aku layangkan. “Ibumu cukup menderita dan kamu justru merokok, bersajak dan tidak membuat makan malam untuk tuanmu ini?” Joe mengulas senyum, senyum menawan yang menjadikan perempuan manapun memiliki banyak alasan untuk melihat bibirnya lama-lama. Aku sesak napas dibuatnya. Tagihan makan malam itu belum ada di daftar rencanaku. Malam ini aku hanya ingin mengistirahatkan tubuh yang lelah ini. “Antara kita belum ada akad sebagai atasan dan karyawan. Mohon maaf bila tuan menginginkan makan malam. Itu tidak akan tersedia!” ucapku sopan. “Tapi di lain sisi apa tuan tidak takut aku racuni dan aku rampas harta benda tuan malam ini?” Dimatanya aku seperti melihat balon pecah. Hehe. Kemenangan ini aku sambut dengan senyuman. “Tuan boleh menyimpan vapor itu sebagai hadiah dari kampung. Aku sangat terhormat jika tuan menyimpannya dengan kehati-hatian.” Joe mendesis sambil membanting rokok elektrik punyaku ke lantai. Benda itu terpelanting, barangnya pecah secuil. “Barang murahan seperti ini harus aku simpan dengan kehati-hatian? Otakmu benar-benar sudah dipenuhi filsafat-filsafat sinting, Rania!” Aku tergelak. Tergelak dengan lepas. Dia mengenalku, Rania Zaskia Putri, yang mencintai sastra Indonesia, mencintai seni dan sedang menekuni filsafat. Baru-baru ini aku baru membaca karya Om Piring, buku filosofi teras. Aku memakan beberapa kutipan yang tidak sinting seperti yang diucapkan manusia buruk sangka di depanku ini. ‘Kita tidak bisa memilih situasi kita, tetapi kita selalu bisa menentukan sikap (attitude) kita atas situasi yang sedang dialami.’ Joe tidak betul-betul salah, memang ada filsafat-filsafat yang aku anggap sinting. Dan menyuruhnya menyimpan rokok elektrikku dengan kehati-hatian seperti menyimpan benda pustaka yang dirampas Belanda dan dikembalikan lagi ke Indonesia juga termasuk ide sinting. Itu cuma rokok elektrik, bukan benda prasejarah. “Logika tuan memang jalan. Aku suka. Rokok ini memang murahan.” Aku membungkuk, mengambil rokokku dan cuilannya yang sebesar kuku jari kelingking di lantai. “Jadi, boleh tuan selesai menghukumku?” Aku memelas. Sudah tidak selera merasakan wilayah pribadinya. Dia tampaknya hanya mau menunjukkan taringnya yang baru lahir, bukan hendak memanjakan aku dengan hukumannya yang menari-nari secara liar di kepala. Joe menatapku, menilai lagi siapa aku. “Tunggu sepuluh menit dan aku akan menghukum perbuatanmu!” Perbuatan apa yang aku lakukan? Hei tuan rumah? Aku melotot, dan tidak segan duduk di ranjangnya yang empuk sambil menatapnya mengambil handuk dan bersiap-siap mandi. Oh Ibu. Engkau pasti tahu tabiat busuk atasanmu ini. Dan engkau pasti tahu mengapa aku galak bukan main sekarang ini. Aku memang tidak cantik-cantik amat. Kulitku sawo matang khas perempuan desa, rambutku panjang dan tidak selembut sutra. Tapi dadaku yang menonjol ini bagai mengundang syahwat kaum adam untuk melihat dan berpikir untuk menjadikannya mainan. Aku menatap dadaku. “Turunan Suminah Andari ini, pantas Zainuddin kecantol Ibu, Ibu kecantol rayuannya!” Aku jengah sedang air berhamburan menubruk dinding dan lantai kamar mandi. Joe mandi bagai dikejar target pekerjaan dan tidak bersabar menemui perempuan yang tidak suka-suka amat dengan bentuk dadanya yang mengkal. “Untuk sekelas pembantu kamu benar-benar kurang ajar!” ucap Joe setelah keluar dari kamar mandi. Pria itu suka wewangian sepertinya. Tubuhnya wangi sekali, segar dan menarik dilihat lama-lama. “Tuan yang tidak mengizinkan aku keluar dari kamar ini.” ucapku sambil melihatnya mengeluarkan pakaian dari almari kayu. Joe berbalik, menatapku tajam seolah memperingati kehadiranku di wilayah pribadinya yang bebas. Aku tidak keberatan jika harus melihatnya baik-baik. Tubuh pria itu seperti lukisan yang enak dilihat, memiliki daya magis yang menyedot perhatian untuk berlama-lama melihatnya. Tapi demi kesopanan dan Ibu aku memejamkan mata. “Katakan jika tuan sudah berpakaian.” Aku menunggu-nunggu kabar dari Joe. Tidak ada ucapan sudah. Tidak ada komentar. Pria itu sepertinya sengaja membiarkan aku berlama-lama memejamkan mata. Sedetik kemudian baru aku tahu Joe berdiri di depanku, menusuk hidungku dengan wanginya. “Persoalan tentang Bu Minah, pekerjaan dan hukumanmu belum selesai, Rania. Tapi silakan keluar, Ibumu lebih membutuhkanmu!” Itu sudah jelas. Aku mengangguk sambil berdiri. “Tetapi tuan, adegan saat tuan menyeretku dan melempar ke ranjang masih terngiang di kepala. Sulit aku melupakan dan itu membuat saya bertanya-tanya, apa maksud tuan?” Joe memandangi dadaku seperti laki-laki kebanyakan yang mengetahui hal-hal menarik di balik pakaianku saat ini. Aku mendengus kasar. Sudah memintaku mendesah sekarang matanya keranjang. “Sebaiknya tuan segera menikahi perempuan yang saban kali mabuk di tempat hiburan malam, tuan bawa pulang.” Aku tidak yakin malam ini akan selamat. Joe lagi-lagi mendorong tubuhku ke ranjang dengan kuat dan ia segera menindih tubuhku tanpa malu seperti orang yang sudah lama kenal. Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Aku pasi. Matanya yang tajam betul-betul berada di atas mataku. Aroma pasta gigi merebak kemudian. “Jaga bicaramu, Rania. Kamu sedang bermain-main dengan pilihan, jangan sembarang!” - next & happy reading.Aku memandangi pintu yang perlahan terbuka. Senyum layu pun terpaksa aku berikan kepada Joe. “Kau benar-benar serius akan menyelesaikan ini dalam satu hari?” Joe menaruh jus alpukat dingin dan sepiring kue lapis di meja. “Ini sudah lima jam Rania, aku malas menunggumu lebih lama.” Aku tahu ini lama sekali, bahkan bokongku sudah panas dan Rebbecca sudah pergi entah ke mana setelah aku memastikan detail-detail tubuhnya dan kritikannya selesai dilontarkan. “Aku tidak meminta tuan menungguku sampai selesai.” Aku menaruh kuas sambil mendengus. Aku lapar, ingin rebahan. “Tuan tidak perlu repot-repot, lebih baik istirahat atau kerja.” Alih-alih cerewet dan berusaha tidak peduli. Joe menengok hasil lukisanku lalu mengamati wajahku. Dia melakukannya dua kali sebelum tersenyum lebar. “Kamu tahu caranya mengambil hati Mama.” Joe tiba-tiba menyerbu keningku dengan ciuman basah. “Aku suka kombinasi warna dan detailnya, meski aku tidak paham soal ini. Papa pasti menyukainya.” Tan
Mungkin lukisan, mungkin puisi, mungkin... Mengapa kami harus menjadi masa lalu kalau kami bisa menjadi masa depan? “Aku tidak suka dengan pertanyaan tuan.” “Aku juga tidak terima kamu mengabadikan masa lalumu dalam bentuk apa pun!” Iuh... Aku sungguh-sungguh menatapnya, “Kenapa tidak terima?” “Karena aku tidak ingin berada di nomer dua. Dan... Rania, hapus semua masa lalumu dalam bentuk apa pun!” “Kalau aku tidak mau bagaimana?” sahutku, terus terang aku tidak tahu cara berpikirnya. Kadang-kadang Romeo, kadang-kadang Kurawa. Dan kalau Joe diam saja begitu, aku hanya perlu menunggu kejutan-kejutan lain darinya. Sungguh-sungguh menyebalkan. - “Kau sudah siap, Rania?” Di depan dua videografer dan Rebbecca yang cantik dengan gaun musim panas hijau muda tanpa lengan. Aku mengangguk pasrah. “Aku sudah tidak sabar, Mama. Seluruh dunia ini harus tahu akulah kekasih sejati Abang Joe.” Rebbecca memutar bola matanya setelah membuang wajah, barulah kemudian dia tersenyu
“Kamu harus mengguyurnya berkali-kali, Rania. Aku tidak peduli keluhanmu. Foto-foto itu harus lenyap dari saluran air toilet kita!” “Siap tuan rumah!” Setelah mendengus jengkel, aku mengangkat ember hitam dan menuangkannya ke toilet. Ini sudah lima kali dan permintaannya itu sampai ember ke sepuluh. “Bagaimana kalau kita pindah apartemen saja?” Aku menyarankan. “Daripada ribet begini, kurang kerjaan banget.” keluhku sambil menghidupkan kran air. “Lagipula tuan, aku ini capek sekali lho. Badanku sudah pegal-pegal, tidak enak.” Joe melepas kaosnya, uh, aku dapat melihat bekas kecupanku semalam di dadanya. “Hari ini kita pergi ke rumah Mama, Rania. Selesaikan tugasmu dan biarkan aku mandi!” Aku mengiyakan dan mempunyai keinginan untuk menjotosnya. Satu manusia ini adalah contoh keberagaman sikap yang tidak perlu dicontoh. Kelakuannya sungguh-sungguh memalukan. “Tidak bisa nanti saja mandinya?” Aku memandangi Joe yang asyik mencuci rambutnya. “Apa tuan benar-benar nak
“Ke mana saja kamu dengan Realino?” Berdasarkan hasil pengamatanku selama kurang lebih dari satu jam, Joe agaknya benar-benar menyesal telah menamparku. Dia memeriksa pipiku lalu mengecupnya sebelum memeriksa tanganku yang membersihkan pecahan gelas tadi. Joe bersyukur aku tidak kenapa-kenapa, tapi yang paling mengejutkan, dia membuatkan makan malam walau hanya pop mie dan es susu kocok stroberi. “Kamu menyukai ini kan? Makanlah setelah menjawab pertanyaanku!”Pertama-tama aku menjawab pertanyaannya dengan jujur. “Tuan bisa memastikannya langsung kepada yang bersangkutan.”“Kamu bersenang-senang dengannya?”“Lumayan.” Aku menguncupkan bibir. “Ada ilmu yang aku dapat, tapi juga pusing, ada revisi besar-besaran. Tuan, maafkan keinginanku itu.” Joe tidak mempermasalahkan keinginanku, baginya itu kecil dan gampang. “Terimalah permintaan maafku dulu, Rania. Makanlah dan bersenang-senang denganku lagi.” Bagaimana caranya tersenyum? Coba katakan? Aku sungguh-sungguh tidak paham
Dari sepersekian detik yang bergulir bagai anak siput yang baru lahir, kami bertatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Satu dua larik kata muncul dan tenggelam begitu saja hingga pada akhirnya aku malas untuk mulai berkata. Toh seperti sejak pertama berjumpa memang aku tidak boleh mendominasinya. Aku mengerti, meminta maaf sekarang tidak akan memperbaiki keadaan. Apalagi membahas Sabrinna lagi, astaga pria itu pasti akan semakin tenggelam pada kenangan! Aku berbalik dengan detak jantung yang tambah berdebar-debar. Entah mengapa aku takut, canggung dan grogi. Joe dan keadaan apartemennya yang berantakan bertolak belakang dengan isi pikiranku. Aku pikir dia enggan melihatku atau menungguku pulang. Dua gelas anggur merah yang pecah di lantai dan wadah bekas makanan seolah-olah dijadikan bukti bahwa dia tetap di sini selama aku pergi bersenang-senang. Aku meletakkan tas ranselku di meja, ada baiknya membersihkan tempat ini lalu mengurus diri sendiri. “Apa kamu tidak berp
“Saya rasa kerja sama ini akan sepedas rujak es krim yang kalian bawa.” Pak Anto terkekeh-kekeh sambil mengulurkan tangan. “Senang bisa bergabung dengan kalian.” Meski tampak ramah, Pak Anto tampak tidak bisa menyembunyikan wajah seriusnya. Aku buru-buru menyambut tangannya dan mengangguk. “Saya sendiri berharap ide-ide menarik dari imajinasi saya tidak membingungkan Pak Anto dan Realino.” “Santai, Rania. Ini justru menarik dan seru!” sahut Realino yang berdiri di sampingku. “Tapi ini udah kelewat batas, gue takut ada yang khawatir sama elo!” Aku paham ada bencana yang akan menimpaku nanti. Tetapi aku tidak bisa tidak tersenyum setelah berdiskusi panjang dengan mereka. Rasanya memang seru bertemu orang-orang hebat yang tidak menghakimi kepolosan dan kegilaan yang aku miliki. “Sampai jumpa lagi, Pak. Jadwal kedua nanti semoga tidak bentrok dengan jadwal Bapak.” Pak Anto mengangguk dan mengantar kami berdua ke pelataran rumahnya yang asri. Banyak pohon anggrek yang sed