Dania menoleh perlahan, seakan waktu melambat saat ia mengamati setiap garis tajam di wajah Mark.
Mata kelam pria itu menatap Cindy dengan kebencian yang begitu terang, membuat suasana ruangan seolah membeku dalam ketegangan. Bibirnya terkatup rapat, dagunya terangkat tinggi, menandakan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat.
"Apa maksudmu, Mark?" tanya Cindy dengan nada marah, matanya menyala penuh emosi. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Mark, seolah sentuhan itu telah menjadi duri yang menusuk kulitnya.
Mark menghela napas panjang, seolah berusaha menahan amarah yang membara di dalam dadanya. “Pergi dari rumahku sebelum aku memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar,” ucapnya dingin, suaranya bergetar dengan ancaman yang jelas.
Perkataan itu menyulut kemarahan Cindy. Dengan wajah memerah, ia mendesis, “Argh!” sebelum akhirnya berbalik dan pergi dengan langkah cepat, menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai marmer yang dingin.
Mark tidak memedulikan Cindy lagi. Ia berbalik, matanya yang tajam melunak sejenak saat menatap Dania. Tanpa berkata-kata, ia menarik tangan Dania dengan lembut namun tegas, membawanya ke ruang makan yang sudah disiapkan dengan sarapan yang tampak lezat.
Aroma kopi yang menggoda dan roti bakar yang masih hangat mengisi udara, namun suasana tegang masih terasa menyelimuti.
“Apa yang dia lakukan padamu?” tanya Mark dengan suara datarnya, pandangannya tidak lepas dari wajah Dania yang terlihat ragu-ragu.
Dania menelan ludah, hatinya berdebar. “Tidak … tidak ada,” jawabnya, suaranya hampir berbisik. “Sepertinya dia ingin mencari tahu tentang kita, Mark.”
Mark menghela napas berat, matanya menyipit. “Sudah kubilang padamu agar tinggal di sini bersamaku. Karena aku yakin, wanita itu dan ayahku sedang mencari tahu semuanya.”
Dania hanya bisa diam, menundukkan kepalanya. Ia tahu betul, pernikahan ini adalah keputusan impulsif, langkah yang diambil tanpa perencanaan matang.
Namun, ikatan ini sudah terjalin, dan ia sekarang adalah istri sah dari pria yang berdiri di hadapannya ini. Meski semuanya terasa bagai mimpi buruk, Dania merasa harus mengikuti alur yang telah dibuat oleh suaminya.
“Lalu, apa yang bisa aku dapatkan dengan menjadi istri pura-puramu ini?” tanyanya akhirnya, suaranya bergetar.
Mark mengangkat kepalanya, menatap Dania dengan tatapan yang sulit ditebak. Matanya gelap dan penuh misteri. “Apa pun itu,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi.
Dania menghela napas kasar, merasa frustasi dengan jawaban ambigu itu. Ia tahu bahwa Mark adalah pria yang sulit ditebak, seperti bunglon yang bisa berubah warna sesuai situasi. Tapi, kali ini ia ingin kepastian.
Apakah mungkin Mark benar-benar akan memberikan apa pun yang ia inginkan? Atau ini semua hanya permainan belaka?
Mark memiringkan kepalanya sedikit, seakan memikirkan sesuatu. “Kenapa kau dikejar-kejar oleh pria botak itu?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya dingin namun penuh rasa ingin tahu kejadian yang mempertemukan mereka di malam itu.
Dania menatap Mark, mencoba mencari petunjuk dari ekspresi wajahnya. “Aku … aku melakukan sesuatu yang membuat pesta pertunangan mantan kekasihku dan sahabatku kacau,” jawabnya dengan suara pelan.
Mark menaikkan satu alis, tertarik. “Oh?” gumamnya, mempersilakan Dania untuk melanjutkan ceritanya.
Dania menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Mereka selingkuh di belakangku. Mantan kekasih dan sahabatku. Jadi, aku ingin membalas dendam. Tapi, semuanya jadi kacau setelah ibu Kevin memerintahkan anak buahnya mengejarku.”
Mark tetap diam, namun matanya yang tajam menyiratkan bahwa ia mendengarkan dengan saksama. Ia memahami situasi Dania, merasakan ketidakadilan yang dirasakannya. “Mantan kekasihmu terlalu bodoh,” katanya datar, penuh keyakinan. “Selingkuh dengan sahabatmu, hm? Wajar jika kau ingin balas dendam. Mereka pantas mendapatkannya.”
Dania hanya tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa perih mengingat pengkhianatan itu. Ia kemudian mengambil sepotong roti bakar dan segelas susu hangat yang ada di hadapannya, mencoba menikmati sarapannya meski hatinya masih terasa gelisah.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “Kau masih mencintai mantan kekasihmu?” tanya Mark tiba-tiba, nada suaranya datar namun mengandung rasa ingin tahu yang tajam.
“Uhuk! Uhuk!”
Dania terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tersedak, batuk-batuk kecil sambil menutup mulutnya.
Satu tahun kemudian ….Clara berdiri di depan jendela apartemen milik Stevan. Lalu pria itu menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang dan mencium pipinya dengan lembut.“Hi, Stev.”“Hm. Kau tahu? Apa yang sudah ayahmu bicarakan tadi di ruang meeting?” ucap Stevan dengan suara beratnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu.Stevan menghela napasnya dengan panjang. “Dia menagih cucu padaku.”Clara yang mendengarnya sontak tertawa. Ia kemudian membalikan badanya dan menatap Stevan.“Lalu, apa jawabanmu?” tanyanya kemudian.Stevan mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya dan membukanya.Sontak Clara menutup mulutnya dengan mata membola melihatnya. “Stevan ….”“Clara. Kita sudah melewati perjalanan yang cukup panjang. Aku telah mencintaimu sejak kau masih remaja, aku telah menyayangimu sejak kau lahir ke dunia. Aku tahu, kau adalah takdir yang telah Tuhan tentukan untukku.“Meski us
Tiba-tiba, suara dentingan terdengar. Begitu cepat. Tanpa Emma sadari. Mike menendang meja. Meja menjadi miring lalu membuat pisau di tangan Emma terpental.Tring! Pisau menjauh dari Emma. Stevan bergerak dalam hitungan detik.Ia meraih lengan Emma, memelintirnya ke belakang, membuat wanita itu berteriak kesakitan.Clara tersungkur ke lantai saat Stevan berhasil menjatuhkan Emma.Napasnya memburu. "Mmmh ..." mulut itu terikat. Clara tak bisa bicara apapun.“Permainanmu selesai,” desisnya.Emma menatapnya, matanya dipenuhi amarah dan kepedihan.“Tapi aku mencintaimu …”Stevan memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.“Tidak, Emma.” Ia menatapnya tajam. “Ini bukan cinta, tapi obsesi. Aku tidak pernah mencintaimu dan kau salah mengartikan semuanya. Bahkan kau pun tahu sejak dulu pun aku hanya mencintai Clara.”“Sekali lagi kutegas
Emma menyimpan pisaunya kembali, tetapi sorot matanya tetap menakutkan. Clara menelan ludah dengan susah payah, merasakan jantungnya berdegup begitu keras seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi kulitnya yang sudah pucat.Emma berjalan ke pintu dengan langkah santai, seolah semua ini hanya permainan baginya. Namun, sebelum keluar, ia berhenti dan berbalik."Oh, dan satu hal lagi, Clara …"Clara menahan napas, tubuhnya menegang. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada simpul yang mengikatnya erat dari dalam."Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan paling menyedihkan sebelum akhirnya aku menghilangkanmu dari dunia ini."Senyuman Emma penuh kepuasan, seperti seorang seniman yang baru saja menyempurnakan mahakaryanya yang keji.Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, ia mendorong pintu gudang hingga tertutup dengan suara berderak, menggema di ruang kosong yang dingin.
"Hahaha, lelaki lemah. Kau mau apa? Menangisi wanitamu? Kau memang pantas ku buang sebagai rekanku. Aku tidak suka lelaki lemah sepertimu." Emma merasa menang. Desain tawanya begitu liar."Clara? Ini berbahaya, Emma. Kendalikan dirimu!""Mike, aku ... Aku hanya mengajaknya bermain. Kau tahu, dia selalu menghalangi jalanku. Aku hanya ingin memberinya pelajaran." Suara Emma santai tanpa rasa bersalah sama sekali."Emma, jangan lakukan ini!" suara Mike meninggi, tangannya mengepal. "Kau sudah cukup membuat kekacauan!""Oh, Mike, kau selalu terlalu baik l… atau terlalu bodoh? Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau dan Stevan bisa melindungi wanita ini. Sekarang dia ada di tanganku. Jika kau ingin menolongnya, ajak Stevan dan temui aku."“Apa yang kau lakukan pada Clara?” Mike menggertakkan giginya.Tawa Emma terdengar lebih keras. "Ah, kau akan melihatnya sendiri. Aku akan mengirim lokasi. Tapi jangan terlambat… atau
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar."Seperti yang kau minta. Semuanya akan berjalan lancar."Emma tersenyum puas. Ia meletakkan ponsel itu kembali dan merapikan rambutnya di depan cermin."Malam ini akan menjadi malam yang panjang," bisiknya.Ia meraih mantel, mengenakannya dengan gerakan anggun, lalu mengambil kunci mobilnya dari meja. Satu tarikan napas panjang, satu langkah menuju pintu.Ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan tenang.Ponselnya ia tekan. Bukan ponsel yang biasa ia gunakan. Ponsel lain dan nomor ponsel yang baru, telah ia siapkan kemarin."Nona Clara. Apa anda putri dari Tuan Mark? Papa Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, saya menolongnya dan tuan Mark sekarang ada di Alvarado hospital medicare center. Tolong datang segera, karena saya harus mengejar jadwal penerbangan saya.""APAA?! ba-baiklah saya segera datang. Terima kasih Nona telah menolong Daddy." Hiks."Apakah Daddy baik-baik saj
Ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada sosok Stevan di kejauhan. Mata hitamnya membesar, membulat seakan ia baru saja melihat sesuatu yang indah.Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona."Ah, Stevan …" gumamnya, suaranya terdengar seperti seorang gadis jatuh cinta. "Kau masih tampan sekali. Bahkan dari kejauhan sekalipun!"Ia menempelkan telapak tangan ke pipinya sendiri, memejamkan mata, membayangkan sesuatu.Pernikahan mereka. Stevan di altar, mengenakan jas putih. Ia di sisinya, mengenakan gaun yang memesona. Semua orang tersenyum bahagia.Ya … itulah yang seharusnya terjadi setelah ini.Emma membuka matanya, ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras, napasnya semakin cepat."Tapi sebelum aku menjemputmu, sayang …"Tangannya menyelip masuk ke dalam tas kecilnya. Jemarinya bergerak lincah, mencari sesuatu.Lalu, sesuatu berkilau di bawah lampu. Pisau kecil dengan ukiran indah di gagan