Home / Romansa / Terjerat Cinta CEO Dingin / Bab 7: Kapan Kalian Memberiku Cucu?

Share

Bab 7: Kapan Kalian Memberiku Cucu?

last update Last Updated: 2024-08-27 10:09:01

"Kenapa? Apa pertanyaanku terlalu berat, sampai membuatmu tersedak?" tanyanya, suaranya terdengar halus namun tajam, seperti mata pisau yang menyusuri permukaan sutra.

Dania mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, meneguk airnya perlahan, mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah-pecah.

"Tidak," jawabnya setelah beberapa saat, suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan. "Aku hanya terkejut saja, pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutmu."

Mark menghela napas kasar, suaranya menyerupai desahan angin yang berhembus melewati pepohonan di malam hari. Ia bangkit dari duduknya, menatap Dania dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Tidak masalah jika memang kau sudah melupakan pria itu," ucapnya dengan nada datar, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Dania yang masih terdiam di kursinya.

Dania mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata suaminya. Apakah Mark merasa lega karena ia sudah tidak mencintai Kevin? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, yang bersembunyi di balik kalimat sederhana itu? Pikirannya dipenuhi oleh tanda tanya, namun tidak ada jawaban yang jelas.

"Dasar, pria aneh," gumamnya dengan kesal, menggelengkan kepala seolah berusaha mengusir pikiran yang mengganggunya. "Kalau bicara seperti pakai kata sandi. Banyak sekali kodenya."

Namun, langkah Mark terhenti tiba-tiba ketika dering ponselnya memecah keheningan yang menggantung di udara. Ia meraih ponsel itu dari sakunya dan menjawab panggilan dengan nada yang jauh lebih lembut daripada sebelumnya.

"Halo, Ibu? Ada apa?"

"Mark, malam ini aku ingin mengajakmu makan malam bersama. Ajak juga istrimu, ya?” ucap Sarah dengan suara lembutnya.

Mark melirik ke arah Dania yang masih duduk di meja makan, menghabiskan sarapannya dengan perlahan, seolah mencoba menunda waktu. "Baik," jawabnya singkat, kemudian menutup panggilan tersebut tanpa banyak bicara.

"Ibuku mengundang kita makan malam di rumahnya," ucapnya kepada Dania dengan nada datarnya.

Dania menatap Mark dengan alis terangkat, ekspresinya bercampur antara ketidakpercayaan dan ketakutan. "Ma—makan malam? Oh, Mark. Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan apa lagi kalau nanti ibumu bertanya di luar dugaan," keluhnya, mencoba mencari celah untuk menghindari situasi yang jelas tidak ingin ia hadapi.

"Kau tidak bisa menolaknya. Harus tetap ikut makan malam," jawab Mark dengan tegas, suaranya tidak memberikan ruang untuk bantahan.

Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, ia berlalu pergi, meninggalkan Dania yang merasa semakin tertekan.

Dania mendesah panjang, merasa kesal dengan sikap suaminya yang semakin hari semakin sulit dipahami. "Dasar, pria tidak punya hati!" umpatnya pelan, melipat tangan di dadanya dengan ekspresi cemberut.

Rasanya seperti berbicara dengan dinding batu—tidak ada yang merespon, tidak ada yang peduli. Mark semakin seenaknya saja, memperlakukannya seolah-olah ia adalah istri yang sungguh-sungguh, bukan sekadar wanita yang terjebak dalam ikatan pernikahan palsu.

Waktu terus berjalan, dan malam yang dinanti dengan perasaan gelisah pun tiba. Dania berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil, mengikuti Mark menuju kediaman mertuanya.

Hatinya berdebar kencang, setiap langkah terasa berat, seolah-olah ia sedang menuju medan pertempuran yang tidak bisa ia hindari.

"Kau pernah bilang, jangan ragukan kemampuan aktingku. Kenapa sekarang seperti gugup?" tanya Mark dengan tatapan matanya yang serius, seolah ia tahu bahwa malam ini akan membawa lebih banyak daripada sekadar makan malam keluarga.

Dania menoleh, menatapnya dengan penuh kesal. "Iya, aku tahu—" namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Mark sudah menarik tangannya dengan lembut namun tegas, membawanya masuk ke dalam rumah yang megah.

Di dalam, kedua orang tua Mark sudah duduk di meja makan, menunggu dengan sabar. Sarah, dengan senyum lembutnya, menyambut mereka dengan kehangatan yang terasa seperti rumah.

"Selamat malam, Ayah, Ibu," sapa Dania, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa, mengulas senyum manis yang terasa palsu di bibirnya.

"Selamat malam, Dania. Aku ingin mengajakmu makan malam karena pertemuan pertama kita kemarin sepertinya kurang," kata Sarah, suaranya lembut namun penuh arti, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar makan malam ini.

Dania menganggukkan kepala dengan sopan. "Iya, Ibu benar. Terima kasih sudah mengundangku malam ini, Ibu, Ayah," ucapnya, namun matanya melirik ke arah Alex, ayah Mark, yang tampaknya enggan menyapa menantu yang tidak pernah ia terima sepenuhnya.

Di balik sikap tenangnya, Dania merasakan ada sesuatu yang berbeda malam itu. Mungkin ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan. Pikiran ini membuatnya merasa semakin gelisah, seolah-olah ada badai yang sedang mendekat.

"Dania. Bisakah kau memberitahu kami tentang keluargamu?" tanya Sarah tiba-tiba, menghentikan lamunan Dania.

Dania terkejut, namun ia berusaha menjawab dengan tenang. "Huh? Keluargaku? Um … ayahku memiliki perusahaan yang cukup berkembang pesat. Tapi, karena perusahaan yang dipegang ayahku tidak sesuai dengan basic yang aku miliki, aku memilih bekerja di perusahaan lain," jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha tetap tenang meskipun hatinya merasa tidak nyaman.

Sarah mengangguk, tampak mengerti. Ia tersenyum lembut, menatap Dania dengan mata yang penuh kasih. "Aku mengerti, Dania. Terima kasih, sudah mau menikah dengan anakku, ya," ucapnya, senyumnya semakin lebar.

Mark yang duduk di samping Dania hanya menaikkan alisnya, tidak memberikan reaksi yang berarti. Ia kembali fokus pada makan malamnya, seolah tidak ada yang penting dari ucapan ibunya.

Namun, Alex, dengan nada yang lebih tegas, menyela percakapan. "Kenapa harus berterima kasih? Belum tentu apa yang dia katakan itu benar," katanya dengan nada dingin, matanya tajam menatap Dania seolah menantang setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Dania menelan ludah, merasa cemas mendengar ucapan Alex. Perasaannya campur aduk—antara takut dan marah, namun ia tahu bahwa ini bukan tempat untuk melepaskan emosinya.

Sarah hanya menggelengkan kepala, berusaha menenangkan suaminya. "Terima saja, keputusan anakmu, Alex. Dia yang lebih tahu dengan hidupnya," ucapnya dengan nada sabar, mencoba meredakan ketegangan yang semakin terasa.

Mark tetap diam, namun tatapannya tidak bisa menyembunyikan ketidaksenangan yang ia rasakan. Ia menatap wajah ayahnya dengan datar, seolah berkata bahwa ia tidak peduli dengan pendapatnya.

Di tengah ketegangan yang menggantung itu, Sarah tiba-tiba beralih ke topik lain, suaranya lembut namun penuh harap. "Kalau begitu, kapan kalian akan memberi kami cucu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (20)
goodnovel comment avatar
Janah Jan
yg sabar ya Bu ,cucu pasti. berdoa saja
goodnovel comment avatar
Ika Dewi Fatma J
udah g kaget sih tiap habis nikah pasti yg ditodong orang tua pertama kali itu cucu,la ini nikah cuma pura2 ditodong cucu,apa g pening kepala dania hehe
goodnovel comment avatar
MAIMAI
tp ko aku curiga ya hubungan dania sama keluarga nya, masa gak di cariin gitu anak nya gak pulang pulang. apa ortunya dania jahat?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjerat Cinta CEO Dingin   END~

    Satu tahun kemudian ….Clara berdiri di depan jendela apartemen milik Stevan. Lalu pria itu menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang dan mencium pipinya dengan lembut.“Hi, Stev.”“Hm. Kau tahu? Apa yang sudah ayahmu bicarakan tadi di ruang meeting?” ucap Stevan dengan suara beratnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu.Stevan menghela napasnya dengan panjang. “Dia menagih cucu padaku.”Clara yang mendengarnya sontak tertawa. Ia kemudian membalikan badanya dan menatap Stevan.“Lalu, apa jawabanmu?” tanyanya kemudian.Stevan mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya dan membukanya.Sontak Clara menutup mulutnya dengan mata membola melihatnya. “Stevan ….”“Clara. Kita sudah melewati perjalanan yang cukup panjang. Aku telah mencintaimu sejak kau masih remaja, aku telah menyayangimu sejak kau lahir ke dunia. Aku tahu, kau adalah takdir yang telah Tuhan tentukan untukku.“Meski us

  • Terjerat Cinta CEO Dingin   Permintaan Clara

    Tiba-tiba, suara dentingan terdengar. Begitu cepat. Tanpa Emma sadari. Mike menendang meja. Meja menjadi miring lalu membuat pisau di tangan Emma terpental.Tring! Pisau menjauh dari Emma. Stevan bergerak dalam hitungan detik.Ia meraih lengan Emma, memelintirnya ke belakang, membuat wanita itu berteriak kesakitan.Clara tersungkur ke lantai saat Stevan berhasil menjatuhkan Emma.Napasnya memburu. "Mmmh ..." mulut itu terikat. Clara tak bisa bicara apapun.“Permainanmu selesai,” desisnya.Emma menatapnya, matanya dipenuhi amarah dan kepedihan.“Tapi aku mencintaimu …”Stevan memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.“Tidak, Emma.” Ia menatapnya tajam. “Ini bukan cinta, tapi obsesi. Aku tidak pernah mencintaimu dan kau salah mengartikan semuanya. Bahkan kau pun tahu sejak dulu pun aku hanya mencintai Clara.”“Sekali lagi kutegas

  • Terjerat Cinta CEO Dingin   Ancaman Gila

    Emma menyimpan pisaunya kembali, tetapi sorot matanya tetap menakutkan. Clara menelan ludah dengan susah payah, merasakan jantungnya berdegup begitu keras seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi kulitnya yang sudah pucat.Emma berjalan ke pintu dengan langkah santai, seolah semua ini hanya permainan baginya. Namun, sebelum keluar, ia berhenti dan berbalik."Oh, dan satu hal lagi, Clara …"Clara menahan napas, tubuhnya menegang. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada simpul yang mengikatnya erat dari dalam."Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan paling menyedihkan sebelum akhirnya aku menghilangkanmu dari dunia ini."Senyuman Emma penuh kepuasan, seperti seorang seniman yang baru saja menyempurnakan mahakaryanya yang keji.Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, ia mendorong pintu gudang hingga tertutup dengan suara berderak, menggema di ruang kosong yang dingin.

  • Terjerat Cinta CEO Dingin   Sudah Dalam Perjalanan

    "Hahaha, lelaki lemah. Kau mau apa? Menangisi wanitamu? Kau memang pantas ku buang sebagai rekanku. Aku tidak suka lelaki lemah sepertimu." Emma merasa menang. Desain tawanya begitu liar."Clara? Ini berbahaya, Emma. Kendalikan dirimu!""Mike, aku ... Aku hanya mengajaknya bermain. Kau tahu, dia selalu menghalangi jalanku. Aku hanya ingin memberinya pelajaran." Suara Emma santai tanpa rasa bersalah sama sekali."Emma, jangan lakukan ini!" suara Mike meninggi, tangannya mengepal. "Kau sudah cukup membuat kekacauan!""Oh, Mike, kau selalu terlalu baik l… atau terlalu bodoh? Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau dan Stevan bisa melindungi wanita ini. Sekarang dia ada di tanganku. Jika kau ingin menolongnya, ajak Stevan dan temui aku."“Apa yang kau lakukan pada Clara?” Mike menggertakkan giginya.Tawa Emma terdengar lebih keras. "Ah, kau akan melihatnya sendiri. Aku akan mengirim lokasi. Tapi jangan terlambat… atau

  • Terjerat Cinta CEO Dingin   Hanya Ingin Berbagi Kebahagiaan

    Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar."Seperti yang kau minta. Semuanya akan berjalan lancar."Emma tersenyum puas. Ia meletakkan ponsel itu kembali dan merapikan rambutnya di depan cermin."Malam ini akan menjadi malam yang panjang," bisiknya.Ia meraih mantel, mengenakannya dengan gerakan anggun, lalu mengambil kunci mobilnya dari meja. Satu tarikan napas panjang, satu langkah menuju pintu.Ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan tenang.Ponselnya ia tekan. Bukan ponsel yang biasa ia gunakan. Ponsel lain dan nomor ponsel yang baru, telah ia siapkan kemarin."Nona Clara. Apa anda putri dari Tuan Mark? Papa Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, saya menolongnya dan tuan Mark sekarang ada di Alvarado hospital medicare center. Tolong datang segera, karena saya harus mengejar jadwal penerbangan saya.""APAA?! ba-baiklah saya segera datang. Terima kasih Nona telah menolong Daddy." Hiks."Apakah Daddy baik-baik saj

  • Terjerat Cinta CEO Dingin   Pastikan Semuanya Siap

    Ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada sosok Stevan di kejauhan. Mata hitamnya membesar, membulat seakan ia baru saja melihat sesuatu yang indah.Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona."Ah, Stevan …" gumamnya, suaranya terdengar seperti seorang gadis jatuh cinta. "Kau masih tampan sekali. Bahkan dari kejauhan sekalipun!"Ia menempelkan telapak tangan ke pipinya sendiri, memejamkan mata, membayangkan sesuatu.Pernikahan mereka. Stevan di altar, mengenakan jas putih. Ia di sisinya, mengenakan gaun yang memesona. Semua orang tersenyum bahagia.Ya … itulah yang seharusnya terjadi setelah ini.Emma membuka matanya, ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras, napasnya semakin cepat."Tapi sebelum aku menjemputmu, sayang …"Tangannya menyelip masuk ke dalam tas kecilnya. Jemarinya bergerak lincah, mencari sesuatu.Lalu, sesuatu berkilau di bawah lampu. Pisau kecil dengan ukiran indah di gagan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status