Andin resah, dia menunggu pesan dari Marco juga menunggu Marcel yang tak kunjung pulang. Apa mungkin Marcel tidak pulang malam ini? Kalau iya itu satu kesempatan untuknya menemui Alisha.
Andin akhirnya memutuskan untuk menghubungi Marchel, entah apa tanggapan suaminya nanti. “Halo.” “Apa? Tumben kau meneleponku?” sahut Marchel dengan nada sinis. “Eh, nanti malam kau pulang nggak?” tanya Andin pelan. “Kenapa tanya? Mau berkeliaran lagi? Aku tak peduli, asal jangan kau bawa pulang anak itu lagi!” kata Marchel ketus, lalu langsung menutup teleponnya. Andin hanya bisa mengelus dada. Ia sudah terlalu sering menghadapi sikap dingin Marchel. “Untung dia kaya. Kalau nggak, mana mungkin dulu aku mau dijodohin sama batu kayak dia,” gumam Andin, setengah menertawakan diri sendiri. Tak lama kemudian, Andin tersadar akan sesuatu dari ucapan Marchel. “Eh,Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa mereka sadari, malam telah larut. Tawa dan tangis telah bercampur menjadi hangatnya percakapan antara ibu dan anak yang terlalu lama terpisah oleh keadaan. Andin melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir tengah malam. “Mama harus pulang, ya,” ucapnya pelan, nyaris berat hati. Ia mengusap rambut Alisha dengan lembut, seperti saat anak itu masih kecil. Alisha menunduk, menahan keinginannya untuk berkata “jangan pergi.” “Hati-hati di jalan, Ma,” jawabnya akhirnya, mencoba terdengar tegar meski matanya kembali memerah. Andin berdiri, lalu meraih tasnya. Sebelum membuka pintu, ia menoleh lagi. “Mama janji, Mama akan sering ke sini. Kalau kamu butuh apa pun, tinggal bilang. Dan… satu hal yang harus kamu ingat…” Ia mendekat dan menggenggam kedua tangan Alisha. “Kamu bukan anak yang tidak diinginkan. Kamu adalah bagian dari hidup Mama… yang paling berhar
Andin resah, dia menunggu pesan dari Marco juga menunggu Marcel yang tak kunjung pulang. Apa mungkin Marcel tidak pulang malam ini? Kalau iya itu satu kesempatan untuknya menemui Alisha. Andin akhirnya memutuskan untuk menghubungi Marchel, entah apa tanggapan suaminya nanti. “Halo.” “Apa? Tumben kau meneleponku?” sahut Marchel dengan nada sinis. “Eh, nanti malam kau pulang nggak?” tanya Andin pelan. “Kenapa tanya? Mau berkeliaran lagi? Aku tak peduli, asal jangan kau bawa pulang anak itu lagi!” kata Marchel ketus, lalu langsung menutup teleponnya. Andin hanya bisa mengelus dada. Ia sudah terlalu sering menghadapi sikap dingin Marchel. “Untung dia kaya. Kalau nggak, mana mungkin dulu aku mau dijodohin sama batu kayak dia,” gumam Andin, setengah menertawakan diri sendiri. Tak lama kemudian, Andin tersadar akan sesuatu dari ucapan Marchel. “Eh,
Kamar Andin diketuk dari luar. “Bu Andin,” suara lembut terdengar dari balik pintu. “Di luar ada teman Nona Alisha.” Andin yang sedang duduk membaca, langsung menoleh cepat. Ia meletakkan bukunya dan berdiri dengan cemas. “Teman Alisha?” gumamnya. “Ada apa?” Tanpa menunggu lebih lama, Andin segera berjalan keluar dan menuju ruang depan. Di sana, ia melihat seorang pemuda berdiri kikuk di ambang pintu. “Kamu... teman Alisha?” tanyanya sambil mendekat, sorot matanya tajam tapi juga penuh harap. “Iya, Tante...” jawab Bara pelan, menundukkan kepala sebagai tanda hormat. “Saya mamanya,” kata Andin, lalu menjabat tangan Bara hangat. “Di mana Alisha? Apa kamu datang bersamanya?” Bara menggeleng cepat. “Enggak, Tante. Alisha nggak ikut. Saya cuma ingin ngobrol… soal dia.” Mata Andin menyorot curiga, tapi ia mengangguk. “Oh, ya sudah. Ayo masuk dulu,” katanya sambil mempersilakan Bara duduk di ruang tamu. Setelah mereka duduk, Andin menatap Bara dalam-dalam. “Kenapa dengan A
Sekarang… ia harus bagaimana?Yang ia lakukan hanya untuk melindungi dirinya sendiri dari harapan yang mungkin akan menghancurkan nya.Tapi kini, saat Bara benar-benar pergi, ia mulai bertanya… apakah ia terlalu sibuk menjaga diri, sampai lupa menjaga cinta yang telah di tunjukkan oleh Bara?Meski begitu, Alisha tetap melanjutkan pekerjaannya dan membuang perasaan bersalahnya pada Bara.Ia duduk di tepi ranjang kamarnya, menatap cermin di hadapannya, "Enggak," gumamnya pelan menatap refleksi dirinya di cermin. "Gue harus kuat. Bara cuma pacar, bukan suami. Jadi nggak semua omongannya harus gue turutin."Alisha mengingat kembali nada keras Bara saat menyuruhnya berhenti dari pekerjaannya. Katanya, pekerjaan sebagai pemandu lagu terlalu berbahaya. Tapi bagi Alisha, ini adalah cara bertahan hidup dan terus bisa membiayai sekolah sampai kedua orang tuanya kembali menemuinya. "Kalau gue turutin terus, dan ujung-ujungnya kita put
"Aku pikir-pikir dulu, ya? Aku… masih ragu dengan hubungan kita," kata Alisha pelan. Suaranya terdengar rapuh, seperti daun kering yang siap jatuh kapan saja. Bara menatapnya, berusaha memahami. Tapi yang ia rasakan justru mulai berubah—ada perih, ada letih, dan kini muncul rasa jengkel yang sulit ditahan. "Apalagi yang kamu ragukan, Sha?" tanya Bara, kali ini nadanya tidak sehalus tadi. "Bukannya kita udah sejauh ini bareng? Aku udah berusaha, aku nggak main-main." Alisha menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Bara mulai terpancing. Tapi tetap, ia merasa harus berkata jujur. "Banyak, Bara… termasuk kepastian hubungan kita. Aku nggak mau terus jalan bareng kamu tapi merasa sendiri. Aku ngerasa kamu nggak benar-benar tahu mau ke mana hubungan ini dibawa." Bara mengernyit. Matanya menatap tajam, bukan dengan amarah, tapi dengan luka yang dalam. "Kepastian? Jadi selama ini semua yang aku lakuin nggak cukup? Aku temani kamu, jaga kamu, dengerin semua cerita kamu, tahan segala mood kamu…
Di sela-sela istirahat siang, Alisha duduk sendirian di bangku taman belakang sekolah. Entah kenapa, sejak pagi tadi ia terus merasa gelisah. Seperti ada sepasang mata yang diam-diam memperhatikannya. Ia mencoba mengabaikannya, menyibukkan diri dengan membaca buku. Tapi dari sudut matanya, ia bisa melihat seorang pria asing berdiri terlalu lama di dekat gerbang belakang sekolah. Dia berseragam tukang kebun tetapi tidak terlihat seperti petugas kebun yang biasanya. Terlalu kaku dan matanya fokus mengawasi kanan dan kiri. Alisha menutup bukunya. Hatinya mulai tak tenang. Ia berdiri, hendak kembali ke kelas, tapi langkahnya terhenti saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “Hei, Sha. Ngelamun aja?” sapa Christine yang datang sambil membawa beberapa buku dari perpustakaan. “Iya, cuma lagi cari udara segar aja,” jawab Alisha cepat, meski matanya masih melirik ke arah gerbang. Tapi pria itu sudah tidak ada. Hilang begitu saja. Alisha menarik napas panjang. Mungkin hanya