"Orang tua temen kamu tuh aneh ya," suara mama Christine terdengar di telinga Alisha ketika ia tengah berjalan turun di tangga. Alisha menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik tembok untuk mendengarkan lebih banyak.
"Aneh gimana?" tanya Christine bingung. "Ya aneh. Masa anaknya minggat nggak dicariin.” "Udahlah, ma, biarin aja. Nggak usah julid gitu, nanti kedengeran Alisha nggak enak," Christine berusaha menenangkan mamanya. "Biarin aja, biar temen kamu juga tahu diri kalau numpang di rumah orang tuh nggak bisa seenaknya. Biar dia segera cari kos atau apa gitu. Lagian papa kamu juga suruh mama ngomong ke Alisha kalau dia nggak bisa-bisa tinggal di sini," mamanya mengingatkan. "Iya, ma, nanti aku bilangin Alisha," Christine menyanggupi. "Ini kamu mau les?" tanya mamanya setelah melihat penampilan Christine yang rapi seperti hendak pergi. "Iya, kenapa, ma?" Christine membalas dengan rasa ingin tahu. "Mama ikut, sekalian mama mau belanja bahan masakan dan camilan yang banyak buat kakak kamu," jelas mamanya. "Oh, ya udah kalau gitu. Tapi aku nggak bisa nemenin, ya, Ma?" Christine meminta klarifikasi. "Iya, mama cuma nebeng aja kok," jawab mamanya dengan santai. "Oh ya? Temen kamu nggak ikut les sekalian?" Mamanya kembali bertanya. "Enggak, Alisha nggak pernah ikut les. Katanya orang tuanya nggak pernah setuju kalau dia ikut les begitu," Christine menjelaskan, "Udah yuk, berangkat nanti aku telat lesnya," lanjutChristine, mengakhiri percakapan sebelum mamanya berkata lebih banyak lagi. Setelah memastikan Christine dan mamanya pergi, Alisha segera turun untuk mengambil minum. Sembari menunggu minumannya terisi, Allisha merenungi percakapan Christine dengan mamanya. Ia merasa tidak enak dan berpikir, "Mau nggak mau, aku harus segera pindah dari sini. Kasihan Christine dimarahi orang tuanya terus." Saat meneguk minuman di gelas, tiba-tiba saja sepasang tangan bergerak di atas kepalanya hendak mengambil sesuatu di rak yang berada tepat di atas galon. Alisha seketika tersedak karena kaget. “Uhuk… uhuk…” Alisha tersedak dan batuk-batuk, berusaha untuk mengambil napas dalam-dalam. Ia melirik ke belakang dan melihat kakak Christine, Bara. Bara tidak terlalu peduli dan tetap mengambil sesuatu dari rak di atas galon tanpa menoleh ke arah Alisha. Setelah selesai mengambil apa yang dibutuhkan, Bara berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Alisha yang masih batuk-batuk. Alisha menonton Bara pergi dengan perasaan yang sedikit tidak nyaman. Alisha berpikir dalam hati, "Gila, bener apa kata Christine, cuek banget kakaknya... Baru kali ini gue lihat cowok sedingin itu." Dia tidak bisa berhenti memperhatikan bagaimana Bara tidak menunjukkan sedikit pun reaksi atau perhatian saat Alisha tersedak dan batuk-batuk. Melihat sikap dingin Bara, Alisha pun berinisiatif mengajak Bara ngobrol terlebih dahulu. "Ehm, Hai kak, kenalin aku Alisha teman sekolah Christine." Kata Alisha setengah berteriak pada yang membuat Bara berhenti sejenak. Tiba-tiba, Bara menoleh ke arah Alisha dengan ekspresi yang tidak ramah. "Kamu... Jadi penumpang gelap di sini?" Suara Bara yang tajam terdengar menusuk di telinga Alisha. Alisha merasa sedikit kikuk dan tidak tahu harus bicara apa, jadi dia hanya menjawab, "Eh, itu….” Belum sempat Alisha melanjutkan ucapannya, Bara segera menyela, “Kamu nggak ada di daftar tamu, jadi aku bertanya, apa kamu di sini tanpa izin?" Kata Bara sambil memperhatikan Alisha dengan ekspresi yang tidak berubah. “Maaf kak,” Bara masih memperhatikan Alisha dengan ekspresi yang dingin. "Aku hanya ingin memberitahu kamu, jangan membuat masalah," kata Bara dengan nada yang tegas lalu pergi meninggalkan Alisha yang masih mematung di sana.Tok... Tok... Tok... Alisha yang masih tidur, segera terbangun karena suara ketukan pintu di ruanganya. Matanya masih setengah terpejam, rambutnya berantakan, ia bergumam pelan.“Ya...?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.“Pagi, princess!” terdengar suara riang dari balik pintu.Alisha terkejut. Ia langsung mengenali suara itu. “Bara? Kamu datang? Ini masih pagi loh...”Bara di luar kamar terkekeh. “Coba tebak aku bawa apa?”Alisha mengucek matanya sambil duduk di ranjang. “Apa? Bunga?”Bara menggeleng, meski Alisha tak melihat.“Coklat?” tebaknya lagi.“Salah juga.”Alisha mulai mendengus. “Ya terus apa dong? Jangan-jangan kamu malah nggak bawa apa-apa.”“Sabar, aku hitung ya. Satu... dua... tiga...”Tiba-tiba terdengar suara lain menyusul. “Taraaa...!”Pintu terbuka, dan sosok yang tak asing masuk ke kamar.“Christine?!” seru Alisha kaget, seketika rasa kantuknya hilang.Gadis itu tersenyum lebar lalu berlari kecil menghampiri Alisha. “Hai Sha! Gue kangen ban
Puas mengobrol dan bersenda gurau hingga malam, Bara pun akhirnya pamit. “Aku pulang ya? Besok aku ke sini lagi,” katanya sambil merapikan jaketnya. Alisha menggeleng pelan. “Kalau capek nggak usah, Bara. Nanti aja ketemu kalau aku udah sembuh, oke?” Bara tersenyum miring, mencondongkan tubuh. “Ehm… nggak janji, ya? Soalnya kaki aku biasanya gerak sendiri kalau lagi kangen kamu.” Alisha mendengus gemas. “Mulai deh… habis kena sihir di mana sih kamu tiba-tiba jadi senang ngegombal gini?” “Itu, di depan pintu ruangan kamu sihirnya kuat banget. Bisikin aku katanya gombalin Alisha terus, Bara. Dia kalau malu pipinya gede merah kayak bakpau tomat.” Alisha ternganga, lalu cekikikan. “Emang ada bakpau tomat?” “Ada, ini.” Bara menunjuk pipi gembung Alisha, menekannya dengan jahil. Wajah Alisha kembali memerah. Ia menutup pipinya dengan tangan. “Kalah aku hari ini sama kamu, Bara.” Bara mengangkat alis nakal. “Se
Sementara Alisha bersama Bara di ruangannya, Andin masih setia berada di ruangan Marchel sejak tadi. Ia duduk di kursi samping ranjang, tangannya menggenggam tangan Marchel. Suaranya lirih mengajak bicara Marchel, karena sesuai anjuran dokter agar otot sensorik dan kesadaran Marchel lebih cepat pulih.“Kamu tahu nggak, Mas… anak kita udah punya pacar loh,” ucap Andin sambil tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana. “Ganteng, CEO baru. Namanya Bara, tapi ya namanya hubungan, pasti ada jatuh bangunnya. Kayak kita dulu, kan? Hubungan kita yang awalnya hambar, tapi entah kenapa aku selalu percaya, suatu saat nanti aku dan kamu bakal jadi kita yang utuh.”Suara Andin mulai bergetar. Ia menunduk, menahan air mata. “Aku sadar, Mas… yang benar-benar mencintaiku bukan orang yang sekadar bilang ‘aku cinta kamu’, tapi orang yang selalu ada waktu aku butuh. Yang nggak pernah ingin aku menderita. Dan aku merasakan itu… cuma dari kamu, Mas. Bukan dari Marco.”Nafasn
Setelah Bara pergi, Alisha masih tersipu malu. Pipinya panas, jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Lelaki itu benar-benar mampu membuat suasana hatinya berubah drastis. Jika kemarin ia merasa sendirian, sekarang ada Bara yang hadir membawa kehangatan dan membuat dunianya kembali terasa penuh warna.Tok tok…“Sha, Mama boleh masuk?” terdengar suara lembut Andin dari balik pintu.Alisha buru-buru menarik selimut, merapikan posisi tidurnya. “Eh iya, Ma… masuk aja.”Andin membuka pintu sambil tersenyum. “Loh, Bara mana?”“Beli makanan, Ma.” jawab Alisha cepat, tapi senyum malu-malu yang menyertai membuat Andin langsung mengerti.Andin duduk di tepi ranjang, jemarinya membelai rambut putrinya penuh kasih. “Kamu sudah lebih baik, Nak?”“Iya, Ma. Udah mendingan,” sahut Alisha lirih.Andin mengangguk pelan. “Mama juga melihatnya begitu. Apalagi sejak Bara datang… wajah kamu lebih segar, hatimu juga pasti ikut memb
Bara menatap Alisha serius. “Takut kenapa, Sha?”Alisha menarik napas pelan, lalu menunduk. “Takut kalau kamu punya pacar baru.”Bara sontak terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Mana ada, Sha. Kan kamu pacar aku.”Alisha langsung melotot kecil, wajahnya memerah. “Ih, Bara… ngomongnya gampang banget. Lagian sejak kapan kita jadi pacar kamu aja nggak pernah nembak aku.”Alisha langsung melotot kecil, wajahnya memerah. “Ih, Bara… ngomongnya gampang banget. Lagian sejak kapan kita jadi pacar? Kamu aja nggak pernah nembak aku.”Bara menaikkan alis, lalu tersenyum nakal. “Lah, tadi udah nembak.”Alisha berkerut bingung. “Kapan?”“Ya tadi,” jawab Bara santai, “waktu aku cium kamu. Kalau dipikir-pikir, kita udah beberapa kali ciuman, jadi anggap aja itu momen aku nembak kamu.”Alisha spontan menepuk lengannya, separuh malu separuh kesal. “Kamu ini ya… CEO, ganteng, punya segalanya, tapi nggak bisa romantis sama sekali. Mas
“Papa…” suara Alisha bergetar ketika memasuki ruangan.Di ranjang rumah sakit itu, Marchel sudah membuka mata. Tubuhnya masih lemah, selang infus menempel, tapi sorot matanya hidup, tajam namun rapuh.Alisha mendekat, berusaha menahan air mata. “Ini Alisha, Pa… syukurlah Papa sudah sadar.” Tangannya gemetar saat mengelus pipi lelaki tua itu. Meski hatinya menyimpan luka atas perlakuan sang ayah di masa lalu, tak pernah sedikit pun terbersit rasa benci.Andin yang berdiri di samping mereka ikut menenangkan. “Papa masih belum bisa bicara, Nak… dokter bilang butuh waktu untuk pulih. Tapi lihat, tatapan Papa nggak lepas dari kamu.”Marchel menatap Alisha lama sekali, matanya basah, seolah ada ribuan kata yang ingin ia sampaikan tapi terhalang oleh kelemahan tubuhnya. Jemarinya bergetar, berusaha mengangkat, namun hanya mampu sedikit bergerak.“Pa…” Alisha makin terisak, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. “Nggak apa-apa kalau Papa belum bis