Esoknya, Alisha kembali menghubungi mamanya, setelah beberapa kali menelpon akhirnya Alisha dapat terhubung juga dengan mamanya.
“Halo ma,” “Ada apa sih, Sha? Mama lagi sibuk, jangan ganggu dulu. Nanti aja,” kata mamanya dari seberang telfon. Samar Alisha mendengar suara lelaki sedang berbicara dengan mamanya yang bertanya, “Kenapa sayang?” “Nggak apa-apa,” jawab mamanya dengan nada centil kepada lelaki tersebut. Lalu panggilan pun terputus begitu saja. Alisha termenung usai mamanya mematikan telepon, tetapi Christine membuat Alisha tersadar dari lamunannya. “Yuk, kita turun Sha,” Alisha dan Christine turun ke ruang makan untuk sarapan bersama keluarga Christine. Melihat kehadiran Alisha, papa Christine membuka percakapan, "Gimana, Sha? Apa orang tua kamu sudah mengabari?" Alisha menggeleng, "Belum, om. Mama juga dari semalam belum bisa dihubungi." jawab Alisha berbohong. Mama Christine memberikan saran, "Kamu coba terus, karena bagaimana pun itu orang tua kamu, dia pasti tidak tega membiarkan kamu berkeliaran begini." Alisha hanya diam saja mendengar hal itu dan Christine pun tidak mengucapkan sepatah kata pun pada orang tuanya. Mama Christine kemudian bertanya pada suaminya, "Oh ya pa, nanti ke bandara jam berapa?" Papa Christine menjawab, "Nggak tahu, ma. Lihat aja nanti, kalau nggak sibuk nanti papa nyusul tapi kalau sibuk kamu sendiri aja bisa kan?" Mama Christine pun mengangguk, “Ya udah oke,” Christine penasaran menjadi penasaran mendengar percakapan orang tuanya, "Bandara? Emang kak Bara pulang?" Mama Christine mengangguk, "Iya, dia pulang lebih cepat tahun ini, Chris." Christine hanya mengangguk singkat. Ia terlihat tidak antusias menyambut kakaknya dan Mama Christine menyadari hal itu. "Loh, kok kamu tidak antusias begitu menyambut kakakmu?" Christine menjawab dengan nada sarkas, "Antusias bagaimana, ma? Orang yang disambut aja dinginnya kayak es." "Itu karena kakakmu capek, Chris. Dia sudah belajar susah payah agar bisa lulus lebih cepat dan bisa segera mempersiapkan diri jadi calon CEO menggantikan papamu." Jelas mama Christine. Christine menjawab dengan nada pasrah, "Iya, iya. Selalu begitu." Kemudian, Christine berpaling pada Alisha, "Ya udah, aku berangkat sekolah dulu. Ayo, Sha." Alisha segera meletakkan sendoknya meskipun makanannya masih belum habis. Dia tahu suasana hati Christine saat ini sedang tidak baik meskipun Alisha tidak tahu pasti apa penyebabnya. **** Setelah pulang sekolah, Christine dan Alisha langsung menuju kamar Christine. Rumah yang besar itu tampak sepi, tidak ada anggota keluarga satupun yang terlihat. "Papa mama lo kemana, Chris?" tanya Alisha penasaran. Christine menjawab dengan santai, "Papa kerja, mama nggak tahu... mungkin arisan atau kalau enggak ya jemput kak Bara di bandara." Mendengar nama kakak Christine kembali di sebut, Alisha menjadi penasaran tentang kakak Christine, "Eh, iya? Kak Bara itu kakak kandung lo ya? Kok gue baru tahu lo punya kakak? Lo nggak pernah cerita ke gue." Christine tersenyum tipis, "Iya, ngapain diceritain? Kan nggak ada yang spesial juga dengan gue punya kakak." Alisha membalas, "Ehm, ya udah sekarang cerita dong. Gue penasaran." Christine mengangkat bahu, "Ya udah, kak Bara itu kakak gue. Dia kuliah di luar negeri dan baru pulang tahun ini. Dia tipe cowok yang super cuek banget. Nggak akan ngomong kalau nggak diajak ngomong" Alisha tertawa, "Wah, biasanya calon CEO emang dingin cuek gitu nggak sih?" Christine hanya mengangguk, "Ya gitu deh, Al.” Alisha hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar cerita Christine. Ia kemudian beranjak dari duduknya, "Gue turun dulu ya ke bawah, ambil minum." kata Alisha. "Gue nitip cemilan ya?" balas Christine, meminta Alisha untuk membawakan camilan favoritnya. "Siap," jawab Alisha singkat sebelum meninggalkan kamar Christine. Begitu turun ke lantai bawah, Alisha melihat pemandangan yang membuat matanya terbelalak lebar. Di ruang tamu, dia melihat seorang pria tampan dengan wajah yang familiar, namun tidak terlalu dikenal. Pria itu sedang berbicara dengan mama Christine dan dari cara mereka berbicara, Alisha bisa menebak bahwa pria itu adalah kakak Christine, Bara. Alisha berhenti sejenak, mengamati Bara dari jauh. Dia terlihat lebih dewasa dan lebih tampan daripada yang dibayangkan Christine. Alisha penasaran, siapa tahu Bara akan berbeda dengan kesan yang diberikan Christine. Bara yang merasa diawasi segera mengalihkan pandangannya pada Alisha. Mereka sempat saling menatap sejenak dan Alisha merasakan jantungnya berdegup kencang. Mata Bara yang tajam dan intens membuat Alisha merasa sedikit terganggu. Alisha mencoba untuk tidak terlalu memperdulikan dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia lanjut berjalan menuju dapur untuk mengambil camilan yang diminta Christine. Saat Alisha melewati Bara, dia tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana Bara memandangnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Alisha merasa sedikit tidak nyaman dan mempercepat langkahnya menuju dapur. Setelah mengambil camilan dan minum, Alisha kembali ke kamar Christine dan menyerahkan camilan tersebut. "Ini, Chris," kata Alisha, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari pertemuan dengan Bara. Christine memperhatikan Alisha dengan ekspresi penasaran. "Lo kenapa, Sha? Kok kayak keringetan gitu?" tanya Christine, memperhatikan wajah Alisha yang sedikit pucat. Alisha mencoba untuk menyangkal, "Ah, enggak. Gue cuma... mungkin karena panas aja," jawab Alisha, berusaha untuk mengalihkan perhatian Christine. Sial, ganteng banget. Gue nggak menyangka Christine punya kakak seganteng itu, Gumam Alisha dalam hati.Sejak malam itu, Bara tak pernah menghubungi Alisha lagi.Setiap pagi Alisha terbangun dengan mata sembab, menatap layar ponselnya berharap ada pesan masuk dari Bara. Namun nihil. Tak ada nama ‘Bara’ muncul di notifikasinya. Hanya grup keluarga dan pesan broadcast yang masuk.Ia duduk di pinggir ranjang, menatap kosong ke dinding kamarnya. Hatinya semakin hampa.Sementara itu, Bara memilih menenangkan pikirannya. Setiap pulang kerja, ia hanya masuk kamar, menyalakan lampu temaram, duduk bersandar di ranjang sambil menatap foto Alisha di layar ponselnya.Ia menatap mata gadis itu dalam foto. Senyuman lembutnya, tatapan teduhnya, semua selalu berhasil menenangkan hati Bara. Namun kali ini justru membuat hatinya semakin sakit.“Aku butuh waktu, Sha…,” gumam Bara pelan. Suaranya serak menahan tangis.Hari demi hari berlalu. Sudah tiga hari sejak kejadian itu, Bara belum juga menemuinya. Alisha menunggu di rumah, menatap setiap motor dan mobil yang lewat depan rumahnya, berharap salah satu
“Bara kamu bercanda kan?” tanya Mama Bara.Bara menggeleng, lalu kembali melangkah keluar menemui Alisha yang masih menunggu di luar dengan bingung, namun dengan cepat Mama Bara kembali menahan pergelangan tangannya.“Bara, Mama lihat dia kemarin…” suaranya bergetar menahan emosi, “ dia cek kandungan sama laki-laki lain.”Bara menatap mamanya dengan dahi berkerut, hatinya berdegup kencang. “Maksud Mama apa? Nggak mungkin.”“Beneran!” sahut mamanya cepat, matanya melotot. “Kalau kamu nggak percaya, tanya adik kamu, Christine… Christine!” panggil mamanya dengan suara tinggi.Tak lama kemudian terdengar langkah tergesa menuruni tangga. Christine muncul dengan ponsel di tangannya.“Iya, Ma. Ada apa? Apa pacar Kak Bara sudah datang?” tanyanya menatap Bara dengan antusias. “Iya sudah datang, tapi kamu pasti kaget siapa pacarnya.” “Emang siapa ma?” “Lihat aja sendiri tuh kedepan! Nggak habis pikir mama, bis
“Maaf kalau Alisha ada salah ya, Mi,” kata Alisha setelah berpamitan untuk mengundurkan diri.“Sama-sama.”Alisha pun keluar dari tempat karaoke itu.“Untung aja orang tuanya kasih jaminan. Kalau nggak, nggak bakalan gue lepasin. Udah bikin masalah, nggak ngasih duit lagi,” gumam sang mami saat melihat Alisha pergi meninggalkan tempat karaoke.Begitu keluar dari tempat karaoke setelah menemui Mami, Alisha menarik napas panjang. Ia kini akhirnya bisa bernafas dengan lega dan tidak perlu lagi berurusan dengan pekerjaan yang penuh resiko seperti pemandu lagu.Di tangannya, ia masih tergenggam ponsel yang bergetar pelan. Ia menatap layarnya sejenak sebelum mengetik pesan.Bara,Tak lama, ponselnya langsung bergetar lagi. Balasannya datang begitu cepat.Iya, ada apa sayang? Butuh sesuatu?Alisha menatap layar sambil menahan senyum kecil. Tangannya mulai terasa dingin karena angin malam, tapi hatinya justru m
Setelah mendapat izin dari Mamanya, Alisha akhirnya pulang untuk menemui Mami, bos di karaoke tempat kerjanya. Ia ingin berpamitan baik-baik, walau hatinya berat. Bagaimanapun, Mami sudah menolongnya saat ia terpuruk dulu.Dengan langkah cepat, Alisha berjalan di lorong rumah sakit menuju parkiran. Matanya sedikit sembab karena habis menangis menatap Papa yang masih belum sadar, meski sudah ada gerakan di jarinya pagi tadi. Doanya hanya satu, agar Papa segera pulih.Tanpa sengaja, saat melamun sambil menunduk, brakk!Ia menabrak seseorang cukup keras hingga tubuhnya terpental sedikit. Suara ringkikan kesakitan terdengar pelan.“Aduh!” rintih seorang wanita. Alisha cepat-cepat menoleh.Ia melihat seorang ibu hamil dengan perut besar, mengenakan gamis panjang warna mocca dan jilbab senada. Wanita itu memegangi perutnya sambil meringis.“Astaga… maaf ya, Bu! Saya nggak sengaja!” seru Alisha panik, matanya menatap perut sang Ibu deng
Alisha senang sekali mendengar kabar baik dari Dokter tentang kondisi Papanya. Setelah menunggu cukup lama dengan perasaan cemas, akhirnya hari ini ia bisa bernapas lega. Papanya menunjukkan perkembangan signifikan dan diperkirakan dapat pulang dalam beberapa hari ke depan.Ia menatap Mamanya, Andin, dengan mata yang berembun, lalu memeluknya erat."Ma, Papa pasti cepat sembuh ya," ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis haru."Iya, Nak. Tuhan pasti mendengar doa kita," balas Andin sambil mengusap punggung putrinya penuh kasih sayang.Dalam suasana bahagia itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu ruangan.Tok... Tok... Tok...Keduanya menoleh bersamaan. Seorang pria berjas rapi masuk sambil membawa sebuah bingkisan besar dengan pita putih di atasnya."Nona Alisha?" tanyanya sopan."Iya, itu saya," jawab Alisha sambil melepaskan pelukan Mamanya."Ini ada kiriman dari Pak Bara," ucap pri
Alisha berjalan di samping Andin menyusuri lorong menuju ruang ICU tempat Marchel dirawat. Bau antiseptik yang khas memenuhi udara, membuat suasana terasa semakin sunyi dan tegang. Setibanya di depan pintu ruangan, seorang dokter keluar dan Andin segera menyapanya, "Bagaimana perkembangan suami saya, Dok?" tanya Andin, suaranya tenang namun jelas menyimpan kekhawatiran. Dokter itu menghela napas pelan, lalu menjawab dengan sopan, "Masih seperti kemarin, Bu. Kondisinya stabil, tapi belum ada respon kesadaran yang signifikan. Namun kami akan terus berusaha semaksimal mungkin." “Tetapi ada kemungkinan suami saya untuk sembuh kan, Dok?” Tanya Andin dengan penuh harap. Dokter itu mengangguk pelan, “Semoga saja bu, kita hanya bisa berdoa dan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Pak Marchel,” "Baik, Dok. Terima kasih atas usahanya." Sahut Andin. Setelah dokter itu berlalu, suasana