"Chris, gue mau tanya sesuatu tentang kakak lo," kata Alisha kepada Christine saat mereka sedang belajar bersama.
"Apa itu?" tanya Christine dengan rasa ingin tahu. "Gue ingin tahu lebih banyak tentang Bara. Apa yang disukainya? Apa yang tidak disukainya?" tanya Alisha dengan penasaran. Christine mengerutkan alis bingung tapi tetap menceritakan tentang Bara. "Bara itu memang cuek dari dulu, gue nggak tahu apa yang ada di pikirannya. Dia suka main game dan membaca buku," kata Christine. Alisha mendengarkan dengan saksama dan dia merasa bahwa dia sudah mulai memahami sedikit tentang kepribadian Bara. "Kok bisa sih dia cuek banget?" tanya Alisha lagi. Christine menggelengkan kepala, "Gue nggak tahu, mungkin itu memang sifatnya. Bara memang tidak terlalu peduli dengan orang lain, tapi dia baik kok, tapi ya gitu kalau lagi mode kulkas ngeselinnya minta ampun. Emang kenapa sih? Lo naksir?" tanya Christine. "Eh, bisa jadi," jawab Allisha kikuk. Christine tersenyum. "Ya udah, coba aja deh, gue yakin lo bakal bisa mengenal Bara lebih baik," kata Christine. “Jadi boleh gue deketin kakak lo?” “Silahkan aja, tapi gue yakin lo bukan tipe kakak gue. Karena tipe kakak gue tuh yang seumuran sama dia.” “Kita nggak akan tahu sebelum dicoba, ya nggak?” “Terserah lo, tapi jangan sakit hati ya kalau dicuekin,” “Urusan belakangan itu.” Kata Alisha. *** Alisha masih penasaran dengan Bara dan rasa ingin tahunya semakin membesar. Dia memutuskan untuk mengatur strategi agar bisa mendekatinya, berharap bisa memecahkan sikap dingin Bara dan memahami apa yang sebenarnya ada di balik mata yang tajam itu. Suatu sore, ketika Alisha sedang turun ke dapur, tanpa sengaja ia melihat Bara yang juga tampak mengambil minum. Tetapi bukan itu yang menjadi fokus Alisha, melainkan Bara yang hanya menggunakan celana pendek tanpa atasan. Pipi Alisha seketika merona melihat pemandangan itu, dia malu dan senyum-senyum sendiri di balik tembok. “Gila, cuma lihat punggungnya doang udah bikin gue dah dig dug gini.” Gumam Alisha sambil menyentuh pipinya yang terasa memanas. Tak lama kemudian, Bara lewat tanpa menoleh padanya. Alisha sempat menegang melihat pemandangan indah itu kembali. Namun tiba-tiba, ada yang menepuk pundaknya dari belakang membuat Alisha kaget. “Hey, ngapain disini?” Tanya seseorang itu yang ternyata adalah Christine. “Eh, Chris, ngagetin aja lo.” jawab Alisha dengan gugup. “Ya elo ngapain bengong di sini, katanya tadi mau ke dapur? Emang lagi lihatin siapa sih?” Tanya Christine sambil mengikuti arah pandang Alisha, “Oh, kak Bara? Emang kalau di rumah dia suka pakai celana aja.” Kata Christine blak-blakan. “Hah?” Alisha ternganga mendengar penjelasan Christine. "Iya, padahal rumah ini full AC tapi nggak tahu kenapa dia kayak gitu. Udah kebiasaan mungkin, emang kenapa sih kayak kaget gitu?" Tebak Christine. "Jangan keras-keras, dong, nanti kakak lo denger, kan gue yang malu," kata Alisha. "Nggak apa-apa kali atau mau gue sampaikan ke orangnya langsung kalau lo naksir dia?" kata Christine sambil tersenyum nakal. Belum sempat Alisha menjawab, Christine sudah memalingkan pandangannya ke arah Bara. "Kak, Alisha naksir lo nih!" Christine berteriak, membuat Alisha semakin malu. Alisha segera membungkam mulut Christine dengan tangannya agar tidak bicara keras-keras lagi. "Christine, malu tahu!" kata Alisha dengan wajah merah. "Nggak apa-apa kali," jawab Christine sambil tersenyum dan berusaha melepaskan tangan Alisha dari mulutnya. Bara yang tidak memperdulikan kelakukan absurd adik dan temannya itu segera pergi begitu saja dari sana. "Chris, kamu ngapain sih teriak-teriak gitu?" tegur mama Christine yang tiba-tiba keluar dari kamar dengan ekspresi yang sedikit kesal. "Enggak, ma, maaf." kata Christine singkat, berusaha untuk tidak menanggapi teguran ibunya. Mama Christine memperhatikan Alisha yang berada di sebelah Christine. "Oh ya, Sha, kebetulan tante lihat kamu," kata mama Christine dengan senyum hangat, "Minggu depan, mau tidak mau orang tua kamu sudah harus menjemput kamu ya di sini? Tante tahu kamu sedang mengalami kesulitan dengan orang tua, tapi tante khawatir kalau kamu terlalu lama di luar rumah." Alisha bergeming, tidak tahu harus berbuat apa. Melihat raut wajah Alisha, mama Christine merasa tidak enak. Dia pun kembali berkata, "Bukannya tante tidak membolehkan kamu di sini, tapi tidak baik terlalu lama keluar dari rumah, apalagi dalam keadaan sedang bertengkar dengan orang tua. Tante hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Sha." Alisha merasa sedikit terharu dengan perhatian mama Christine. "Iya, Tante, aku akan hubungi papa untuk menjemput. Maaf ya, sudah merepotkan," kata Alisha dengan nada yang sopan. Mama Christine tersenyum dan mengangguk. "Iya, tidak apa-apa, Sha. Tante hanya ingin membantu. Kamu bisa tinggal di sini sampai orang tua kamu datang menjemput," kata Mama Christine sebelum kembali masuk ke kamar. Alisha mengangguk pelan, memahami maksud Mama Christine. Ia kemudian kembali menatap Christine yang sekarang melihatnya cemas. Allisha tersenyum menenangkan, "Gapapa Chris, mungkin emang sebaiknya gue pulang saja. Tapi bingung aja si gimana caranya gue pulang, papa usir gue dari rumah sementara mama nggak bisa dihubungi." Kata Alisha lirih. Christine memegang tangan Alisha,"Apa lo mau gue temenin buat ketemu papa lo? Gue yakin orang tua lo pasti akan luluh dan terima lo lagi,“ Alisha menggeleng, dia merasa saran dari Christine akan percuma karena dia yang lebih mengenal papanya. Dan Alisha tahu jika papanya sudah memutuskan, tidak ada yang bisa mengubahnya sekalipun itu mamanya. “Makasih ya? Lo udah banyak bantu gue. Tapi kayaknya cara lo nggak akan berhasil karena papa gue nggak semudah itu orangnya. Selama papa gue belum hubungin gue lagi itu artinya gue nggak bisa balik ke rumah. Kayaknya gue mau cari kos aja, Chris,” kata Alisha.Sejak malam itu, Bara tak pernah menghubungi Alisha lagi.Setiap pagi Alisha terbangun dengan mata sembab, menatap layar ponselnya berharap ada pesan masuk dari Bara. Namun nihil. Tak ada nama ‘Bara’ muncul di notifikasinya. Hanya grup keluarga dan pesan broadcast yang masuk.Ia duduk di pinggir ranjang, menatap kosong ke dinding kamarnya. Hatinya semakin hampa.Sementara itu, Bara memilih menenangkan pikirannya. Setiap pulang kerja, ia hanya masuk kamar, menyalakan lampu temaram, duduk bersandar di ranjang sambil menatap foto Alisha di layar ponselnya.Ia menatap mata gadis itu dalam foto. Senyuman lembutnya, tatapan teduhnya, semua selalu berhasil menenangkan hati Bara. Namun kali ini justru membuat hatinya semakin sakit.“Aku butuh waktu, Sha…,” gumam Bara pelan. Suaranya serak menahan tangis.Hari demi hari berlalu. Sudah tiga hari sejak kejadian itu, Bara belum juga menemuinya. Alisha menunggu di rumah, menatap setiap motor dan mobil yang lewat depan rumahnya, berharap salah satu
“Bara kamu bercanda kan?” tanya Mama Bara.Bara menggeleng, lalu kembali melangkah keluar menemui Alisha yang masih menunggu di luar dengan bingung, namun dengan cepat Mama Bara kembali menahan pergelangan tangannya.“Bara, Mama lihat dia kemarin…” suaranya bergetar menahan emosi, “ dia cek kandungan sama laki-laki lain.”Bara menatap mamanya dengan dahi berkerut, hatinya berdegup kencang. “Maksud Mama apa? Nggak mungkin.”“Beneran!” sahut mamanya cepat, matanya melotot. “Kalau kamu nggak percaya, tanya adik kamu, Christine… Christine!” panggil mamanya dengan suara tinggi.Tak lama kemudian terdengar langkah tergesa menuruni tangga. Christine muncul dengan ponsel di tangannya.“Iya, Ma. Ada apa? Apa pacar Kak Bara sudah datang?” tanyanya menatap Bara dengan antusias. “Iya sudah datang, tapi kamu pasti kaget siapa pacarnya.” “Emang siapa ma?” “Lihat aja sendiri tuh kedepan! Nggak habis pikir mama, bis
“Maaf kalau Alisha ada salah ya, Mi,” kata Alisha setelah berpamitan untuk mengundurkan diri.“Sama-sama.”Alisha pun keluar dari tempat karaoke itu.“Untung aja orang tuanya kasih jaminan. Kalau nggak, nggak bakalan gue lepasin. Udah bikin masalah, nggak ngasih duit lagi,” gumam sang mami saat melihat Alisha pergi meninggalkan tempat karaoke.Begitu keluar dari tempat karaoke setelah menemui Mami, Alisha menarik napas panjang. Ia kini akhirnya bisa bernafas dengan lega dan tidak perlu lagi berurusan dengan pekerjaan yang penuh resiko seperti pemandu lagu.Di tangannya, ia masih tergenggam ponsel yang bergetar pelan. Ia menatap layarnya sejenak sebelum mengetik pesan.Bara,Tak lama, ponselnya langsung bergetar lagi. Balasannya datang begitu cepat.Iya, ada apa sayang? Butuh sesuatu?Alisha menatap layar sambil menahan senyum kecil. Tangannya mulai terasa dingin karena angin malam, tapi hatinya justru m
Setelah mendapat izin dari Mamanya, Alisha akhirnya pulang untuk menemui Mami, bos di karaoke tempat kerjanya. Ia ingin berpamitan baik-baik, walau hatinya berat. Bagaimanapun, Mami sudah menolongnya saat ia terpuruk dulu.Dengan langkah cepat, Alisha berjalan di lorong rumah sakit menuju parkiran. Matanya sedikit sembab karena habis menangis menatap Papa yang masih belum sadar, meski sudah ada gerakan di jarinya pagi tadi. Doanya hanya satu, agar Papa segera pulih.Tanpa sengaja, saat melamun sambil menunduk, brakk!Ia menabrak seseorang cukup keras hingga tubuhnya terpental sedikit. Suara ringkikan kesakitan terdengar pelan.“Aduh!” rintih seorang wanita. Alisha cepat-cepat menoleh.Ia melihat seorang ibu hamil dengan perut besar, mengenakan gamis panjang warna mocca dan jilbab senada. Wanita itu memegangi perutnya sambil meringis.“Astaga… maaf ya, Bu! Saya nggak sengaja!” seru Alisha panik, matanya menatap perut sang Ibu deng
Alisha senang sekali mendengar kabar baik dari Dokter tentang kondisi Papanya. Setelah menunggu cukup lama dengan perasaan cemas, akhirnya hari ini ia bisa bernapas lega. Papanya menunjukkan perkembangan signifikan dan diperkirakan dapat pulang dalam beberapa hari ke depan.Ia menatap Mamanya, Andin, dengan mata yang berembun, lalu memeluknya erat."Ma, Papa pasti cepat sembuh ya," ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis haru."Iya, Nak. Tuhan pasti mendengar doa kita," balas Andin sambil mengusap punggung putrinya penuh kasih sayang.Dalam suasana bahagia itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu ruangan.Tok... Tok... Tok...Keduanya menoleh bersamaan. Seorang pria berjas rapi masuk sambil membawa sebuah bingkisan besar dengan pita putih di atasnya."Nona Alisha?" tanyanya sopan."Iya, itu saya," jawab Alisha sambil melepaskan pelukan Mamanya."Ini ada kiriman dari Pak Bara," ucap pri
Alisha berjalan di samping Andin menyusuri lorong menuju ruang ICU tempat Marchel dirawat. Bau antiseptik yang khas memenuhi udara, membuat suasana terasa semakin sunyi dan tegang. Setibanya di depan pintu ruangan, seorang dokter keluar dan Andin segera menyapanya, "Bagaimana perkembangan suami saya, Dok?" tanya Andin, suaranya tenang namun jelas menyimpan kekhawatiran. Dokter itu menghela napas pelan, lalu menjawab dengan sopan, "Masih seperti kemarin, Bu. Kondisinya stabil, tapi belum ada respon kesadaran yang signifikan. Namun kami akan terus berusaha semaksimal mungkin." “Tetapi ada kemungkinan suami saya untuk sembuh kan, Dok?” Tanya Andin dengan penuh harap. Dokter itu mengangguk pelan, “Semoga saja bu, kita hanya bisa berdoa dan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Pak Marchel,” "Baik, Dok. Terima kasih atas usahanya." Sahut Andin. Setelah dokter itu berlalu, suasana