“Kau tidak rindu pada ibu, dia merindukanmu sampai kondisinya semakin buruk,” terang Nicholas memulai percakapan mereka.“Aku akan temui ibu setelah meminta izin pada William,” balas Rose dengan wajah tenang, tetapi hatinya benar-benar khawatir dengan kondisi Margaret.Mengangguk pelan meski ada rasa kecewa di dalam hatinya. Nicholas mencoba untuk tidak menampakkan itu. “Hum, katakan padanya. Bagaimanapun, ibu sudah menganggapmu seperti putrinya.”“Hum,” balas Rose singkat.“Rose.” Nicholas mendekat, mencoba meraih tangan mantan kekasihnya, tetapi segera disadari oleh Rose.“Aku minta maaf padamu,” katanya dengan lirih dan kecewa karena tidak berhasil memegang Rose. Menarik napas panjang, Rose mengangguk pelan. “Aku sudah memaafkanmu, jauh sebelum kau menikah dengan Diana.”Nicholas merasakan hatinya tercubit. Bahkan Rose sudah memaafkan dirinya sudah lama. Wanita ini, telah keluar dengan masa lalunya dan bahagia dengan pria lain.“Apakah kau kembali bersamanya?” tanya Nicholas meng
Rose meninggalkan rumah Matilda setelah makan siang dan menidurkan Anantha, tetapi sebelum itu, ia sudah mengatakan pada putrinya, jika dia ingin menjenguk kerabat mereka yang lain. Awalnya, Anantha bersikeras ingin ikut karena tidak terbiasa ditinggalkan oleh ibunya.Namun, Matilda selalu punya cara untuk membuat siapa pun tetap tinggal atau pergi darinya. Di jalan, Rose meremas jari-jarinya sebab khawatir. Entah sejak kapan, tetapi setiap kali melihat Satia ia menjadi kasihan.“Kita singgah di toko untuk hadiah,” pintanya pada supir.“Baik Bu.”Ia merogoh tas kecil miliknya, mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.“Kenapa tidak bisa dihubungi,” ujarnya dengan wajah bingung.Beberapa menit kemudian, mereka sampai di toko yang Rose inginkan. Ia keluar dan meminta supir menunggunya._____Sementara di tempat lain, Kanaya dan Ronald sudah tiba di kediaman Kanaya. Wanita cantik itu, tak henti memuji kehebatan Ronald yang begitu lihai memindahkan putrinya dari ranjang ke box ba
“Kenapa kau yang datang?” Kanaya melotot tak suka pada Ronald yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya. Hari ini, ia dan bayinya sudah diizinkan kembali, tetapi wanita cantik itu tidak mengizinkan Matilda menjemput karena kesehatannya.“Pak William ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan,” jawab Ronald, “saya bisa mengantar Anda sampai depan pintu rumah,” katanya.“Aku tidak mau orang lain. Aku hanya ingin William yang menjemputku.” Kanaya meraih ponselnya dan kembali menghubungi William, tetapi lagi-lagi panggilannya tidak tersambung.“Ada apa dengannya,” gumamnya bingung.“Ponsel pak William rusak. Lebih baik kembali dengan saya saja.”Bayi cantik itu menangis, Kanaya mendesah sebab belum terbiasa membawa bayi sekecil itu, Andai ada William maka dia tidak akan sekhawatir ini.Ronald mendekat, ia bisa melihat kekhawatiran, di depan box bayi merah jambu dengan banyak hiasan, Ia berdiri dengan tatapan takjub. “Nona, bayi Anda sangat cantik.”“Tentu saja cantik. Aku ibunya juga b
Rose terbangun dengan cepat, ketika telinganya dengan cepat menerima saura putrinya. Wanita cantik itu bahkan belum sadar dengan penampilannya yang berantakan.Suara pintu kembali terdengar semakin intens. Rose hendak turun dari ranjang terhenyak ketika seseorang menarik tangannya hingga kembali berbaring di atas tubuh seseorang.Matanya terbelalak ketika ingatannya kembali pulih, ia mencoba melepaskan diri tetapi William semakin erat memeluknya.“Willie, lepas dulu,” mohonnya.“Yakin kau keluar dengan penampilan seperti ini?” tanya William.Suara ketukan beserta suara panik putrinya semakin terdengar nyaring. Rose mendesah, “Kalau begitu, kau yang keluar dan temui dia.”William mengangguk kecil, tidak tega juga dengan teriakan putrinya. “Kalau begitu, beri aku satu ciuman kecil.”“Tidak mau,” tolak Rose.“Kau yakin? Anantha bisa aja menangis di depan pintu jika salah satu di antara kita tidak ada yang menemuinya,” ujar William.Rose menarik napas panjang, ia menelan ludah kasar dan m
William meraih jasnya dengan tergesa. Ia meninggalkan semua pekerjaanya untuk Ronald yang masih tercengang, “Dia meninggalkan aku?” kata Ronald menata kepergiannya bosnya.Pria itu mengusap wajahnya secara kasar. “Ronald kau harus banyak belajar lagi. Pak William benar-benar membuat kami menderita.”Ia mendesah pelan, sekarang ia menyesal karena harus membatalkan janji dan memilih untuk membantu William dalam pekerjaannya. Malam itu, Ronald harus rela begadang demi menjadi orang kepercayaan William setelah Ethan.“Tuan Ethan, kau orang baik. Aku tidak bermaksud untuk menyaingi posisimu, tetapi bosmu membuatku menderita setiap hari dan itu selama dua tahun.”“Ayo bekerja. Satu pekan lagi ada upah menanti untuk digenggam.”Tidak jauh berbeda dengan William, pria yang berjuang sampai ke rumah dengan cepat kini harus menelan ludah kasar karena harus menerima kemacetan yang panjang. Ia menurunkan kaca mobil dan bertanya pada beberapa orang yang terlihat dari arah terjadinya.“Maaf, apa ada
Langit sudah mulai gelap ketika Rose sampai di rumah. Ia turun dari mobil seraya memanggil nama Anantha—putrinya.“Anantha, kau di mana?” Panggilannya dengan nada khawatir, “di mana putriku,” tanyanya pada pelayan yang kebetulan membuka pintu untuknya.“Bu, untung Anda kembali,” katanya dengan senang hati, “nona muda ada di dalam kamarnya.”Setelah diberitahu, Rose segera menaiki anak tangga dengan tergesa. Ia bahkan tak peduli dengan keselamatannya.“Bu hati-hati,” kata si pelayan mengingatkan, tetapi yang diingatkan sudah hampir sampai di lantai atas.“Anantha,” panggilnya lagi, ia masuk ke dalam kamar yang disediakan untuk putrinya.Di dalam kamar, gadis kecil dengan rambut tidak terikat menoleh ke arah pintu. Ia tersenyum lebar ketika mendapati ibunya masuk dengan kedua tangan terentang.“Ibu …,” ucap Anantha bahagia.Rose berjalan lebih cepat, memeluk putrinya yang terlihat tak terurus meski di dalam rumah mewah. “Apa yang terjadi, kenapa tidak mengikat rambutmu?”Anantha memeluk