“Ah …,” lenguhan lembut terdengar begitu indah. Tubuh yang masih dipenuhi dengan keringat terbaring dengan napas memburu. Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka.
“Nicholas, aku sudah katakan, aku bukan wanita bodoh, aku hebat,” gumamnya dengan bibir tersenyum kecil. Si pria yang masih berada di atasnya kini membaringkan tubuh, menempelkan kulit basah mereka berdua. “Dia bermain denganku, tetapi masih menyebut nama pria lain,” decaknya dengan napas yang sama memburu. Karena lelah, ia memejamkan mata dengan sebelah tangan berada di atas kepala. Bibirnya tersenyum kecil membayangkan panasnya permainan mereka. “Gadis bodoh,” imbuhnya sekali lagi sebelum ia benar-benar tak tertidur karena kantuk. Di tempat yang lain, Nicholas tengah mengumpat karena mendapatkan telepon dari ibunya. “Kemana dia?” geram Nicholas mematikan ponselnya, berjalan ke arah kamar di mana masih ada Diana dengan wajah yang muram. “Kenapa masih saja memikirkan dia, Nich. Bukankah kau sudah memutuskan hubungan kalian?” Diana berdiri dan memeluk Nicholas dari belakang. Mendengus kasar, Nicholas melepas pegangan tangan Diana pada tubuhnya, kemudian membawa si wanita berdiri berhadapan. “Ibuku, kau tahu sendiri bagaimana dia sangat menyukai Rose,” jawabnya. Diana membelai wajah kekasihnya. “Apa urusanmu? Kau yang menentukan kehidupanmu Nich. Ibumu boleh saja menyukainya, tetapi kau yang berhak memilih.” Nicholas mengangguk, ia meraih tangan lembut Diana dan mengecupnya lembut. “Kau benar, Sayang. Ah, lebih baik kita lanjutkan saja apa yang tertunda.” Diana mengangguk, ia mengalungkan tangannya pada leher Nicholas, mengecup pelan telinga Nicholas untuk memberikan rangsangan. Tak lama, apa yang mereka berdua nantikan akhirnya terjadi, Diana yang menyukai setiap sentuhan dari Nicholas pun tak malu mendesah dengan kuatnya. “Oh, kau memang luar biasa Diana, sangat hebat,” geram Nicholas tak mampu menahan rasa nikmat yang tak terkalahkan. Andai saja, Rose mau memberikan apa yang dia inginkan, hubungan mereka pasti berjalan lancar, tak peduli wanita itu hanya pengasuh ibunya. Akan tetapi, Nicholas menyerah, Rose mempertahankan dirinya dengan kuat. __________ Hari berganti lebih cepat, malam panjang yang penuh dengan gairah kini telah berganti. Di dalam sebuah kamar mewah, seorang gadis terbangun lebih awal. Rose merenggang tangan ke atas. Rose tersentak ketika tangannya tak sengaja menyentuh sesuatu seperti rambut. Ia menelan ludah kasar setelah menyadari jika dirinya berada di tempat asing. ‘Di mana aku?’ batinnya menahan napas, bahkan kedua tangannya masih terngiang ke atas. Saat ia mengerjakan tubuhnya, rasa nyeri yang teramat begitu terasa. Rose semakin membeku, ia menoleh dengan pelan untuk mengetahui apa yang terjadi. Napasnya tercekat ketika mendapati pria asing sudah tidur di sebelahnya. ‘Apa yang terjadi?” batinnya lagi, ia membuka selimut dengan pelan untuk memastikan apa yang dipikirkannya. ‘Ya Tuhan, apa yang aku lakukan? Apa pria ini yang memulai?” tanyanya pada dirinya sendiri. ‘Aku hanya minum sedikit, mengapa begitu sulit mengingat apa yang terjadi?’ batinnya mencoba mengingat, ‘apakah aku menyewa lelaki panggilan?’ Rose ingin histeris, tetapi tersadar jika itu akan membahayakan dirinya. Perlahan ia menurunkan kaki dan meraih gaun miliknya yang tercecer. “Rose, apa yang telah kau lakukan?” umpatnya pada diri sendiri, ia menoleh dan menatap wajah pria di atas ranjang. “Dia sangat tampan, kenapa harus menjadi lelaki panggilan jika segampang itu,” gumamnya memikirkan kemungkinan dia memanggil pria panggilan. Rose memukul kepalanya keras, kemudian mendengus kesal dan berbalik dengan langkah yang tertatih. “Aku harus pergi, aku tidak memiliki uang sedikit pun untuk membayarnya.” Perlahan pria yang tadi berbaring membuka mata, menatap punggung wanita yang semakin menjauh dari kamarnya. “Dia menganggapku apa?” decaknya menahan emosi. Dia adalah William Hawthorne—CEO dari perusahaan ternama bernama William Hawthorne Ventures, pria dengan begitu sulit disentuh oleh siapa pun. “Halo Ethan, tolong cari tahu siapa wanita yang semalam bersamaku,” pintanya pada asisten pribadinya. Setelah mendapatkan kesanggupan, William beranjak dari posisi tidur dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa ragu. “Aku tidak akan melepaskanmu,” gumamnya mengingat apa yang Rose pikirkan tentang dirinya. Tak berselang lama, William keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang jauh lebih segar. Ia melirik ke arah nakas, di mana ponselnya kembali berdering. “Kalian sudah menemukannya?” tanyanya pada Ethan yang kembali menghubungi. “[Kami sudah menemukannya, Pak. Saya akan mengirim foto yang saya dapatkan untuk Anda,]” katanya dengan nada lebih serius. “Hum, setelah itu, pantau terus, jangan biarkan dia melarikan diri setelah apa yang dia lakukan padaku.” William mematikan ponselnya dan kembali berdecak tatkala menemukan panggilan lain masuk ke dalam. Tak menunggu lama, pria dengan tinggi badan 185 cm tersebut melangkah dengan gagahnya keluar dari apartemen mewah miliknya. Di bawah, sudah menunggu Ethan dengan gaya yang tak kalah dominannya. Pria dengan setelan jas berwarna hitam serta kaca mata yang selalu melekat di wajahnya. “Nenek Anda sudah menunggu cukup lama, Pak,” lapor Ethan yang sementara mengemudi. “Hum, nenek menelpon setelah panggilan berakhir,” jawabnya memalingkan wajah ke arah luar. Kembali mengingat setiap desahan Rose. “Jadi siapa wanita itu?” tanya William masih dengan kenangan panas mereka semalam. “Rose Kingsley, Pak. Dia yakin piatu dan tinggal di kontrakan yang terpencil,” jelas Ethan mengutarakan apa yang diketahuinya. “Lalu, bagaimana dia bisa ke klub, dia bekerja di sana?” William menegakkan tubuhnya, menatap Ethan yang mengemudikan mobil dengan epik. “Yang kami ketahui, Rose menjadi pengasuh dari seorang wanita tua di pusat kota, Pak,” kata Ethan, “wanita itu menginginkan Rose menjadi menantunya.” Kening William terlihat mengkerut halus, pria yang tak pernah peduli dengan seorang gadis kini tiba-tiba merasa ada yang salah dengan dirinya. “Bisa kau jelaskan dengan benar?” Ethan mengangguk, ia menjelaskan apa saja yang diketahui oleh orang-orang yang bayarnya, bagaimana Rose dan anak dari majikannya terlihat sering bersama. “Jadi, gadis itu telah memiliki kekasih?” Ethan mengangguk ragu. “Maafkan saya Pak. Saya hanya mendapatkan beberapa foto dirinya. Setelah ini, saya akan mencari tahu lebih banyak.” William tidak menjawab, ia kembali memalingkan wajahnya ke arah jendela. Tak lama, ia kembali bersuara, “Apakah nenek sudah menemukan wanita baru?” Ethan kembali mengangguk. “Karena itulah, saya merasa jika nenek Anda tengah mempersiapkan sesuatu yang besar.” Ia membuang napas panjang, William memejamkan mata, mempersiapkan diri bertemu dengan orang yang paling disayang. “Selamat datang, Nak.” Wanita dengan penampilan modis dan wajah yang sangat ramah melangkah ke arah pria muda yang baru saja turun dari mobil. William tersenyum lembut menyambut pelukan sang nenek. “Nenek memiliki banyak kejutan untukmu, Willie.” William mengangguk. “Tolong maafkan aku Nek, tapi–” "Tidak ada tapi--"“Aku mendengar jika Ayah ingin menjodohkanmu, ya?” tanyanya dengan suara dipelankan.“Hum, dengan putra tuan Baskoro,” jawab Anantha tanpa minat.Clara memicingkan mata, “Lalu bagaimana? Jangan bilang jika Kakak menerimanya.”Annatha merebahkan tubuhnya pada sandaran sofa, meraih buku di sebelahnya dan membuka halaman yang belum dibaca. “Ya, aku harus menerima demi nama baik ayah.”Clara frustasi, ia memegang tangan kakaknya dengan erat. “Kenapa tidak menolak? Jangan bilang bibi meninggalkan rumah mengomel karena ini?”Anantha mengangguk kecil. “Tidak bisa menolak. Aku sudah berjanji pada nenek sebelum meninggalkan kita. Bahwa aku akan selalu menjaga nama baik keluarga.”“Tapi, bukan seperti ini. Kamu salah paham, Kak. Jika nenek masih ada, dia pasti akan memintamu menolaknya.”Anantha menutup buku, menatap adiknya dengan serius. “Ini hanya soal waktu. Kami berdua hanya butuh membicarakan ini dengan kepala dingin. Jika setelahnya tidak cocok kami bisa membatalkan.”Clara semakin frusta
Tiga belas tahun berlalu.Tangan kekar kekar memeluk pinggang yang masih tetap ramping seperti tiga belas tahun lalu, wanita cantik itu, tetap terlihat awet muda meski usia tidak lagi seperti dulu.“Bagaimana pekerjaanmu?” tanyanya lembut di telinga istrinya.Bibir itu tersenyum indah, ia mengusap tangan kekar yang berada di perutnya dengan lembut. Tatapannya lurus pada pemandangan di depan mereka. Pada gadis dengan dres putih dengan sebuah buku di tangannya.“Semua berjalan baik,” jawabnya.“Putri kita sudah semakin besar dan semakin mirip denganmu,” ujr William dengan tatapan bangga, “tuan Baskoro–”“Dia masih muda, sayang jika usianya tidak digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.”Menghela napas pelan, William semakin mengeratkan pelukannya. “Hanya perjodohan, jika mereka tidak cocok–”“Aku tetap tidak setuju, Willie. Anantha masih sangat muda,” tolak Rose lembut, “kukira setelah kau melewati sembilan puluh sembilan kali kencan muda di masa muda, kau sadar jika perjodohan itu ti
Nicholas masih termangu di bawah, melihat bagaimana William memperlakukan Rose dengan sangat baik. Pria itu memberikan apa yang seharusnya wanita inginkan dan dia tidak bisa.Diam-diam, Nicholas meneteskan air mata dengan senyum getir, ada sakit yang tak bisa dijelaskan dengan benar. Putri mereka—Anantha adalah gadis paling beruntung selain mantan kekasihnya.“Tuan, kita kembali?” Megan yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari William mencoba untuk mendekati.Nicholas memalingkan wajah, menghapus air mata yang sempat terjatuh. “Hum, kita harus kembali, tapi ada baiknya berpamitan ada yang punya acara.”Megan melihat ke atas, perhatian yang William berikan memang membuat iri siapa saja. Kini, Megan tahu, jika Nichola masih belum bisa merelakan Rose meski wanita itu telah memiliki istana sendiri.“Kalau begitu ayo,” kata Megan, “saya khawatir terlalu lama, Ibu semakin lelah menunggu.”Nicholas melangkah ragu, tatapannya penuh dengan banyak penyesalan dan perandaian, bertemu dengan Diana
“Nyonya Diana semakin cantik, benar, kan Ibu?” bisik Megan pada Margaret. Setelah berpisah di lobi tadi, Nicholas terlihat lebih tidak bersemangat, entah apakah itu seperti dia menyesal datang atau menyesal karena tidak bisa menjadi suami yang baik dahulu.“Diana memang selalu cantik, dia pandai merawat diri, tetapi—” Margaret melirik pada putranya yang terlihat frustasi.Megan kembali meminta Margaret untuk fokus ke arah Diana, pemandangan yang semakin terlihat dramatis, “Bu, itu Bu Rose, dia ternyata lebih cantik,” puji Megan tidak bisa berhenti menatap kecantikan Rose.Nicholas yang mendengar nama Rose melihat ke arah pandang ibunya dan Megan. Ia menelan ludah kasar, kecantikan itu begitu alami, senyum yang tulus dan Nicholas merasakan jantungnya berdegup kencang.‘Sialan, kenapa aku masih berdebar ketika bertemu dengannya,’ batin Nicholas.Ia menghabiskan minumannya dan meninggalkan meja miliknya. Ia berjalan keluar untuk sekedar menenangkan diri sebelum acar benar-benar dimulai.
aDi hari yang telah dinantikan, di gedung pencakar langit itu, berdiri para kolega besar dengan rasa kagum yang tak bisa disembunyikan. Mereka terkagum dengan foto keluarga yang dipasang begitu besar di lobi utama.“Wah, ternyata benar kata orang-orang yang pernah melihat. Putri pak William memang sagat cantik, perpaduan ayah dan ibu yang imbang,” bisik para tamu yang tak henti memuji kecantikan Anantha.“Ya, aku tidak akan berbohong, jika putri mereka memang sangat cantik dan pasti sangat beruntung,” balas yang lain.“Benar, apalagi dia adalah keturunan terakhir, kekayaan yang nyonya besar miliki akan turun padanya. Oh, si cantik itu hanya perlu bernapas.”“Anda benar, Tuhan terlalu baik pada keluarga mereka. Hingga hanya menyisakan sedikit saja pada kami.”Mereka semakin masuk ke dalam, semakin menemukan keindahan yang tak terduga, dekorasi yang indah dan sempurna, makanan yang lezat serta minuman-minuman mahal tersedia di setiap meja.Dengan ini mereka yakin jika Matilda benar-be
Tiba di halaman belakang, Diana berjalan dengan wajah tenang, ia harus menerima nasibnya, keluarga ini memang tidak bisa menerima sebaik apa pun dia.Margaret menoleh tatkala mendengar langkah kaki seseorang mendekat. Ia tersenyum le,but dan berdiri menyambut mantan menantunya. Dibandingkan Nicholas, dia jauh lebih banyak salah pada Anantha.“Diana, kemarilah!” panggil Margaret penuh rasa bersalah.“Ibu, bagaimana kabarmu?” Diana memeluk Margaret cukup lama, menahan rasa sesak di dada karena akhirnya bisa memeluk mantan mertuanya.“Ibu, baik-baik saja,” ujar Margaret merasakan hal yang sama, tetapi ia mencoba tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.“Senang karena akhirnya bisa melihatmu lagi,” ucap Margaret setelah pelukan mereka terlepas, “kamu tinggal di mana, Nicholas—”“Aku memang pindah Ibu,” potong Diana.Mengangguk pelan, Margaret meminta Diana duduk dan menjelaskan dengan pelan tujuan, ia bisa melihat bahwa hidup mantan menantunya baik-baik saja setelah berpisah.“Ibu dengar,