William mengangguk, tak ada yang bisa membantah kemauan neneknya. Mereka memasuki rumah mewah dengan interior yang begitu megah.
Beberapa pelayan wanita berbaris sembari menundukkan kepala. Ini adalah hari yang sangat besar, kehadiran William adalah perayaan yang luar biasa. “Aku tidak bisa berlama-lama, Nek. Aku ada banyak pekerjaan.” William duduk di sebelah wanita cantik yang sudah tak lagi muda. “Nenek tidak peduli dengan pekerjaanmu. Ada Ethan yang bisa kamu minta, Willie.” Ethan yang namanya disebut lantas mendongak, ia menatap William yang berdecak mengabaikan. “Dia sudah banyak pekerjaan. Aku tidak mungkin membebani dirinya dengan pekerjaan lain,” celetuknya kasihan pada Ethan. “Lupakan itu. Nenek sudah mengurus kencan buta untukmu, malam nanti datanglah ke–” “Ini kencang buta yang ke-99 Nek. Apa tidak malu melihatku melakukan hal kekanakan ini?” William meraih cangkir teh miliknya lalu menyesapnya sedikit. “Aku menolak, aku tidak ingin melakukan apa yang Nenek minta.” Matilda berdecak kesal, “Jika kau tidak menikah, lalu bagaimana ada penggantimu? Apakah kau ingin aku mati tanpa melihat anakmu, William?” William menutup telinga, lengkingan suara neneknya merusak gendang telinga mereka semua. “Nek. Kau akan berusia panjang tanpa aku harus menikah,” tolak Willian. “Tidak ada yang menjamin,” katanya, "jika kau tetap menolak berkencan, dalam dua hari kau bawa seorang gadis untuk menjadi istrimu, jika tidak, di hari ke tiga kau akan Nenek nikahkan dengan salah satu anak dari kerabat kita.” “Nenek, jangan bercanda!” dengus William. Ia bahkan tak pernah berniat menikah dengan siapa pun. “Aku tidak bercanda, William. Nenek bahkan sudah menyiapkan satu rumah dan lihat di sana,” tunjuknya dengan dagu, “di sana semua pemberian untuk wanita itu sudah nenek siapkan.” “Nek, aku bahkan tak ada niat untuk menikah, bagaimana kau–” “Karena itulah, pergi kencan buta. Mungkin saja wanita yang ini cocok untukmu, William.” William merebahkan punggungnya ke badan sofa, memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. “Aku akan menemukan wanita lain, Nek. Beri aku kesempatan beberapa hari untuk menemukannya,” putus William dengan mata masih terpejam. “Dua hari. Jika kau tidak menemukan wanita itu, Nenek pastikan–” “Aku akan menemukan wanita bodoh itu, Nenek.” William menegakkan tubuhnya, berdiri dan menatap pada Ethan yang langsung mengangguk. “Tentu saja, kau harus menemukan wanita itu. Tapi, jangan mencoba membodohiku William. Nenekmu tidak akan membiarkan wanita bodoh manapun bermain-main denganku.” William mengangguk, ia menunduk dan mengecup pipi neneknya bergantian. “Jangan terlalu memaksa. Aku khawatir kau semakin tua.” “Willie,” tegur Matilda. “Istirahatlah, aku akan segera kembali ke apartemen. Aku akan kembali beberapa hari bersama cucu menantumu.” William berbalik dan meminta Ethan ikut bersamanya. “William, coba untuk menemuinya malam nanti, dia putri dari kerabat kita, kau pasti–” “Jaga kesehatanmu Nek.” William tak berbalik, tetapi suaranya terdengar begitu jelas. Matilda mendengus kasar, “Dia sama seperti ayahnya. Selalu mengikuti keinginannya sendiri,” ujarnya, “kemarilah!” panggilnya kemudian pada seseorang yang berdiri tak jauh darinya. “Ada apa Bu?” “Ikuti William diam-diam, beritahu apa pun yang dilakukan di belakangku selama beberapa hari,” tukasnya, “aku khawatir dia akan membayar gadis lugu untuk lolos dari tugasnya.” “Saya akan melakukannya Bu.” Si pria pamit setelah membungkuk hormat. Matilda menghela napas pelan, ia duduk kembali di sofa sembari menatap barang yang harus diserahkan pada calon istri William. “Haruskah aku membuat sayembara?” gumamnya. _________ Sementara itu, di tempat yang berbeda, William sudah sampai di ruangannya. Pria yang lebih menyukai hidupnya dengan bekerja tiba-tiba menjadi resah. “Ethan, bukankah kau bilang jika mimpi hanya bunga tidur?” tanyanya pada Ethan yang duduk di sofa sembari membaca berkas yang diterima. “Benar Pak. Orang tua saya mengatakan jika mimpi hanya bunga tidur,” jawab Ethan dengan yakin. “Aku bermimpi jika nenek dalam kesedihan,” terang William menyampaikan apa yang dialami selama beberapa hari, “kau tahu, aku tidak berniat untuk menikah, tetapi bagaimana jika–” William menghentikan ucapannya, ia menatap Ethan yang serius menyimak apa yang dibicarakannya. “Cari gadis itu, siapa namanya?” Ethan terdiam sesaat, “Gadis?” “Gadis kemarin yang keluar dari apartemen,” kata William berdecak, “bujuk dia bagaimanapun caranya." “Pak, tapi dia--” Ethan merasa ragu melanjutkan. “Aku tidak ingin menikah dengan wanita manapun, jadi minta dia menjadi istri sementara.” Ethan kembali terdiam, ini sangat berbahaya jika Metilda tahu, bukan hanya dirinya yang mendapat hukuman tetapi William juga. “Pak, saya rasa ini sangat keterlaluan,” kata Ethan, “jika nenek tahu, beliau tidak akan memaafkan kita.” William mendengus kasar, “Lalu apakah kau memiliki cara agar aku tidak menikah? Ayolah, Ethan, hanya gadis bodoh itu yang bisa menolong kita.” Ethan menghela napas berulang kali, ia meraih ponsel di dalam saku celana dan menelepon seseorang. “Apakah kalian sudah yakin jika dia ditempat itu?” William menyimak, pekerjaan Ethan memang sangat luar biasa. Selama ini, dialah satu-satunya yang paling mengerti dengan keinginannya. “Bagaimana?” tanya William penasaran. “Orang kita sudah meminta Rose untuk menunggu di cafe tidak jauh dari sini, Pak. Saya bisa menemuinya sendiri jika Anda sibuk.” William terdiam sesaat, memikirkan apa yang harus dilakukannya. “Baiklah, kau bisa menemuinya sendiri. Aku khawatir jika aku yang ikut, orang nenek akan curiga dan merusak rencana kita,” katanya setelah lama melihat kerja neneknya. “Saya mengerti. Saya akan melakukan yang terbaik untuk Anda.” Ethan berdiri dan meninggalkan ruangan kerja bosnya. Ia harus mempersiapkan semuanya dengan maksimal. Sementara itu, di tempat yang lain. Rose yang mendapatkan panggilan secara mendadak tak memiliki rencana lain selain bertemu dengan Ethan. “Aku harap ini bukan penipuan,” gumamnya dengan wajah lesu. Setelah mendapatkan panggilan, Rose memang sudah berada di cafe di mana mereka telah membuat janji. Kebetulan, Rose memang tidak jauh dari tempat itu sehingga tiba lebih cepat. “Selamat siang, Rose.” Ethan berdiri menjulang di hadapan gadis dengan rambut tergerai. Rose mendongak dengan mata memicing. “Selamat siang, Pak.” Rose berdiri mengulurkan tangan. Ethan menyambut dan meminta Rose duduk. Mereka harus segera menyelesaikan pekerjaan mereka. “Bisa Anda jelaskan apa maksudnya?” Rose tidak tahan untuk tidak bertanya lebih cepat. “Seperti yang orang saya katakan. Kami akan langsung menerima Anda sebagai sekretaris jika Anda mau menerima penawaran saya,” jawabnya dengan tatapan lurus pada Rose. “Tapi, kenapa bukan dia sendiri yang mengatakan ini?” tanya Rose kembali. “Bos saya terlalu sibuk. Bagaimana, saya tidak bisa menunggu terlalu lama atau penawaran ini diberikan pada yang lain.” Rose bimbang, ia membutuhkan pekerjaan untuk menunjukkan pada Nicholas jika dirinya mampu, "Saya akan memikirkan ini."Rose meninggalkan rumah Matilda setelah makan siang dan menidurkan Anantha, tetapi sebelum itu, ia sudah mengatakan pada putrinya, jika dia ingin menjenguk kerabat mereka yang lain. Awalnya, Anantha bersikeras ingin ikut karena tidak terbiasa ditinggalkan oleh ibunya.Namun, Matilda selalu punya cara untuk membuat siapa pun tetap tinggal atau pergi darinya. Di jalan, Rose meremas jari-jarinya sebab khawatir. Entah sejak kapan, tetapi setiap kali melihat Satia ia menjadi kasihan.“Kita singgah di toko untuk hadiah,” pintanya pada supir.“Baik Bu.”Ia merogoh tas kecil miliknya, mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.“Kenapa tidak bisa dihubungi,” ujarnya dengan wajah bingung.Beberapa menit kemudian, mereka sampai di toko yang Rose inginkan. Ia keluar dan meminta supir menunggunya._____Sementara di tempat lain, Kanaya dan Ronald sudah tiba di kediaman Kanaya. Wanita cantik itu, tak henti memuji kehebatan Ronald yang begitu lihai memindahkan putrinya dari ranjang ke box ba
“Kenapa kau yang datang?” Kanaya melotot tak suka pada Ronald yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya. Hari ini, ia dan bayinya sudah diizinkan kembali, tetapi wanita cantik itu tidak mengizinkan Matilda menjemput karena kesehatannya.“Pak William ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan,” jawab Ronald, “saya bisa mengantar Anda sampai depan pintu rumah,” katanya.“Aku tidak mau orang lain. Aku hanya ingin William yang menjemputku.” Kanaya meraih ponselnya dan kembali menghubungi William, tetapi lagi-lagi panggilannya tidak tersambung.“Ada apa dengannya,” gumamnya bingung.“Ponsel pak William rusak. Lebih baik kembali dengan saya saja.”Bayi cantik itu menangis, Kanaya mendesah sebab belum terbiasa membawa bayi sekecil itu, Andai ada William maka dia tidak akan sekhawatir ini.Ronald mendekat, ia bisa melihat kekhawatiran, di depan box bayi merah jambu dengan banyak hiasan, Ia berdiri dengan tatapan takjub. “Nona, bayi Anda sangat cantik.”“Tentu saja cantik. Aku ibunya juga b
Rose terbangun dengan cepat, ketika telinganya dengan cepat menerima saura putrinya. Wanita cantik itu bahkan belum sadar dengan penampilannya yang berantakan.Suara pintu kembali terdengar semakin intens. Rose hendak turun dari ranjang terhenyak ketika seseorang menarik tangannya hingga kembali berbaring di atas tubuh seseorang.Matanya terbelalak ketika ingatannya kembali pulih, ia mencoba melepaskan diri tetapi William semakin erat memeluknya.“Willie, lepas dulu,” mohonnya.“Yakin kau keluar dengan penampilan seperti ini?” tanya William.Suara ketukan beserta suara panik putrinya semakin terdengar nyaring. Rose mendesah, “Kalau begitu, kau yang keluar dan temui dia.”William mengangguk kecil, tidak tega juga dengan teriakan putrinya. “Kalau begitu, beri aku satu ciuman kecil.”“Tidak mau,” tolak Rose.“Kau yakin? Anantha bisa aja menangis di depan pintu jika salah satu di antara kita tidak ada yang menemuinya,” ujar William.Rose menarik napas panjang, ia menelan ludah kasar dan m
William meraih jasnya dengan tergesa. Ia meninggalkan semua pekerjaanya untuk Ronald yang masih tercengang, “Dia meninggalkan aku?” kata Ronald menata kepergiannya bosnya.Pria itu mengusap wajahnya secara kasar. “Ronald kau harus banyak belajar lagi. Pak William benar-benar membuat kami menderita.”Ia mendesah pelan, sekarang ia menyesal karena harus membatalkan janji dan memilih untuk membantu William dalam pekerjaannya. Malam itu, Ronald harus rela begadang demi menjadi orang kepercayaan William setelah Ethan.“Tuan Ethan, kau orang baik. Aku tidak bermaksud untuk menyaingi posisimu, tetapi bosmu membuatku menderita setiap hari dan itu selama dua tahun.”“Ayo bekerja. Satu pekan lagi ada upah menanti untuk digenggam.”Tidak jauh berbeda dengan William, pria yang berjuang sampai ke rumah dengan cepat kini harus menelan ludah kasar karena harus menerima kemacetan yang panjang. Ia menurunkan kaca mobil dan bertanya pada beberapa orang yang terlihat dari arah terjadinya.“Maaf, apa ada
Langit sudah mulai gelap ketika Rose sampai di rumah. Ia turun dari mobil seraya memanggil nama Anantha—putrinya.“Anantha, kau di mana?” Panggilannya dengan nada khawatir, “di mana putriku,” tanyanya pada pelayan yang kebetulan membuka pintu untuknya.“Bu, untung Anda kembali,” katanya dengan senang hati, “nona muda ada di dalam kamarnya.”Setelah diberitahu, Rose segera menaiki anak tangga dengan tergesa. Ia bahkan tak peduli dengan keselamatannya.“Bu hati-hati,” kata si pelayan mengingatkan, tetapi yang diingatkan sudah hampir sampai di lantai atas.“Anantha,” panggilnya lagi, ia masuk ke dalam kamar yang disediakan untuk putrinya.Di dalam kamar, gadis kecil dengan rambut tidak terikat menoleh ke arah pintu. Ia tersenyum lebar ketika mendapati ibunya masuk dengan kedua tangan terentang.“Ibu …,” ucap Anantha bahagia.Rose berjalan lebih cepat, memeluk putrinya yang terlihat tak terurus meski di dalam rumah mewah. “Apa yang terjadi, kenapa tidak mengikat rambutmu?”Anantha memeluk
“Ayah, aku ingin tidur dengan ibu,” ucap Anantha merengek ada sang ayah. Sudah siang, tetapi Rose belum juga menampakkan diri ke rumah mereka.William tersenyum lembut, ia mengusap wajah anaknya dengan lembut dan mengecup Anantha. “Hari ini, tidur dengan Ayah dulu, ya. Besok kita jemput ibu.”Anantha menggeleng dengan bibir menahan tangis. “Aku ingin bersama ibu. Tolong telepon dia agar datang menjemputku.”Terpaku di tempatnya, William merasa semakin bersalah karena Anantha menganggap dirinya tidak aman dengan ayahnya sendiri. Gadis cantik itu tidak kuasa menahan tangis hingga William merasa semakin panik.“Sayang jangan menangis.” William meraih anaknya dan menggendongnya dengan nyaman.“Aku ingin bersama ibu.” Anantha masih menangis, sebab ini pertama kalinya ia berpisah dengan ibunya terlalu lama.“Baiklah, kita jemput ibu, tapi sekarang Anan tidur dulu, ya.” William masih mengusap punggung putrinya pelan.“Ayah berjanji?” tanya Anantha dengan suara mulai terdengar pelan.“Hum, Ay