Suara benda terjatuh berhasil mengacaukan semuanya. Di depan pintu kamar, seorang gadis dengan gaun putih berdiri dengan tubuh terlihat bergetar. Di bawahnya, terlihat paper bag dengan sesuatu yang terlihat seperti kue tumpah mengotori lantai marmer.
“Nic-nicholas, apa yang kau lakukan dan siapa dia?" Rose berjalan mendekat dengan langkah lemah, air matanya sudah berada di ujung mata. “Siapa dia? Apa yang kamu lakukan dengannya, Nich?” Rose kembali bertanya dengan tatapan nanar kecewa. Dengan napas yang terengah, Rose mencoba menelisik suasana kamar, pakaian sudah tercecer di mana-mana. Bahkan ia berhasil melihat sesuatu di atas nakas. Benda yang seharusnya tidak Nicholas sentuh. “Katakan? Apa yang kau lakukan dengannya, Nicholas?” pekiknya dengan napas terengah, “tidak ingatkah kau jika hari ini adalah anniversary hubungan kita?” Nicholas mencoba turun dari ranjang, meraih baju kaos yang tergeletak di bawah kaki mereka. Sementara itu, wanita yang berada bersamanya hanya menghela napas kesal. “Nicholas, selesaikan segera urusanmu dengannya dan kita lanjutkan–” “Tunggu aku, jangan tidur.” Nicholas menoleh dan tersenyum lembut dan itu berhasil menghancurkan hati Rose berkali-kali. Sudut bibir Rose kembali berkedut, selama enam bulan terakhir sikap manis Nicholas padanya memang terlihat berbeda. “Siapa dia, Nich dan apa yang kalian berdua lakukan?” tanya Rose dengan napas terengah, ia bukan wanita bodoh, tahu apa yang telah terjadi, tetapi ia masih berharap Nicholas memberikan alasan yang manis. Nicholas menarik tangan Rose keluar dari kamarnya, membawa wanita yang selama ini memberinya cinta dan kesetiaan. “Kau bisa lihat sendiri,” katanya malas menjelaskan, “kau seharusnya memberikan apa yang aku inginkan Rose.” “Nich–” “Aku sudah lelah, Rose. Kau lihat saja dirimu, pakaian ini bahkan sudah pernah kau pakai sebelumnya,” katanya dengan tatapan mengejek. “Nich, apa yang kau katakan, bukankah kau bilang–” “Sudahlah. Tidak perlu membahas ini, lagi. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan kita. Aku sudah memiliki Diana yang mau memberikan apa yang aku inginkan,” jelas Nicholas panjang lebar. “Aku tahu kau hanya bercanda, kan? Bukankah kita sudah memikirkan semuanya, pernikahan dan–” “Hentikan Rose!” bentak Nicholas, “tidak bisakah kau memikirkan ini? Aku tidak ingin meneruskan hubungan kita.” Belum hilang rasa sesak melihat kekasihnya bermesraan di atas ranjang, kini dengan teganya Nicholas meninggikan suara dan memutuskan hubungan mereka. “Aku lelah menahan semua ini, Rose,” ujarnya, “di kantor mereka menertawakanku karena memiliki kekasih sepertimu, kau yang tidak pandai berdandan dan tak terurus,” cemoohnya lagi. “Nich, apa yang kau katakan aku–” “Pergilah! Hubungan kita sudah berakhir. Aku tidak ingin memiliki pasangan sepertimu, kau bahkan tidak pandai merawat diri, Rose.” Rose menggeleng dengan air mata mengalir, ia mencintai Nicholas, pria itu adalah cinta sejatinya. “Tidak, Nich, tolong,” katanya, “aku sangat mencintaimu, jangan lakukan ini.” Mendengus kasar, Nicholas melepas pegangan tangan Rose dengan paksa. “Kau kira pantas bersanding denganku? Lihatlah, sebentar lagi aku akan menjadi manager dan kau tetap saja seperti wanita pengangguran.” “Nich, aku juga akan bekerja, Minggu depan aku sudah menjadi wanita kantoran,” jelasnya memberikan fakta, tetapi Nicholas berdecak tak puas. “Wanita sepertimu siapa yang menerima? Perusahaan akan menerima wanita cerdas dan seksi, Rose. Sedangkan kau, lihat penampilanmu, tak ada pantas-pantasnya.” Tak lama, wanita dengan penampilan seksi keluar dari kamar, ia melangkah dengan anggun ke arah Rose dan Nicholas. “Sayang, kenapa lama sekali?” tanyanya dengan suara yang mendayu. Ia menatap ke arah Rose yang terlihat kacau dengan air mata. “Harusnya kau sadar diri, lihat saja penampilanmu sangat tidak pantas,” katanya dengan tatapan remeh. “Sayang, minta dia pergi, aku sudah tidak bisa menunggu lama,” ujar Diana dengan senyum yang menggoda. “Nich, tolong jangan seperti ini, aku–” Rose meringis tatkala tubuhnya terdorong hingga lututnya terbentur keramik dengan keras. Ia menatap Nicholas dan wanita yang mendorongnya tengah tertawa bahagia. “Pergilah! Kau mengganggu kesenangan kami!” usir Nicholas dengan tangan menunjuk ke arah pintu. ________ Dengan air mata yang berderai deras, Rose membawa langkahnya ke tempat yang tak pernah sama sekali disinggahinya. Di sini, ia tertawa sambil menangis, meneguk sesuatu yang tak pernah dicoba sebelumnya. “Dia memutuskanku karena tak bisa tidur dengannya,” umpatnya dengan air mata mengalir. “Dia memutuskan hubungan kami yang sudah berjalan lama karena aku tak bisa tidur dengannya,” imbuhnya lagi dengan lirihnya. “Nicholas, aku membencimu!” ujarnya dengan tawa semakin mengerikan. Rose berdiri, ia keluar dari klub malam dengan langkah sempoyongan. Namun, di depan pintu, ia menabrak punggung seseorang. Si pria berbalik dan mengeryit ketika menatap Rose yang terlihat sangat kacau. Rose berdecak dan mendongak, menatap dengan mata setengah terpejam. “Tidak bisakah kau berjalan lebih cepat? Aku ingin lewat!” “Nona, siapa–” Si pria mencegah asistennya dengan gerakan tangan. Ia menatap Rose dengan tatapan rumit. “Ini bukan jalan milik orang tuamu, lagipula, tidak bisakah kau lihat jika di depan ada orang lain?” “Aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan siapa pun,” katanya dengan bibir terlihat ingin menangis. Namun, kemudian ia terkekeh ketika mengingat bagaimana Nicholas menghina penampilannya. “Pak, dia mengatakan aku tak pantas dengannya,” adunya pada si pria, “apakah aku benar-benar tidak cantik?” “Nona, tolong jaga sikap Anda,” kata pria lain yang sedari tadi sudah khawatir akan ada masalah. Rose menoleh ke arahnya dengan mencebik. “Diamlah, bukankah dia sudah mengatakan untuk jangan bicara?” “Nona–” “Lebih baik kita kembali, biarkan saja kucing kecil ini dengan kegilaannya,” katanya hendak berbalik. Namun dengan cepat, Rose menarik kemeja mewah miliknya dan semakin mendekat. “Pak, tidak bisakah kau katakan jika aku cantik?” “Cantik dari mana? Kau bahkan terlihat seperti wanita tak berbentuk,” timpalnya, “coba belajar berdandan,” sambungnya lagi dengan tatapan dingin. Rose kembali histeris, ia meneguk minuman yang masih tersisa, lalu merapatkan tubuhnya pada di pria. “Tidak bisakah kau berbohong? Tidak bisakah kau katakan saja jika aku cantik?” katanya dengan suara semakin serak, terdengar begitu menyedihkan dan menyakitkan. “Bawa aku bersamamu, Pak. Aku tidak tahu harus kemana lagi,” katanya di sela-sela tangisnya. “Kau tahu apa yang kau katakan? Kau tidak jika aku menjualmu?” kata si pria dengan senyum kecil di bibirnya. “Tidak, bawa saja aku denganmu Pak.” Si pria menatap serius wanita di hadapannya, gaun putih yang lusuh, tatapan ramah yang sudah tak berbentuk, tetapi kecantikan alami masih terlihat dengan jelas. “Jangan menyesal jika aku– "Tidak akan, aku membutuhkan pria tampan sepertimu," ucap Rose mulai kehilangan kesadaran. "Nicholas, lihatlah aku sudah menemukan pria yang mencintaiku dengan tulus," tukasnya terengah.“Aku mendengar jika Ayah ingin menjodohkanmu, ya?” tanyanya dengan suara dipelankan.“Hum, dengan putra tuan Baskoro,” jawab Anantha tanpa minat.Clara memicingkan mata, “Lalu bagaimana? Jangan bilang jika Kakak menerimanya.”Annatha merebahkan tubuhnya pada sandaran sofa, meraih buku di sebelahnya dan membuka halaman yang belum dibaca. “Ya, aku harus menerima demi nama baik ayah.”Clara frustasi, ia memegang tangan kakaknya dengan erat. “Kenapa tidak menolak? Jangan bilang bibi meninggalkan rumah mengomel karena ini?”Anantha mengangguk kecil. “Tidak bisa menolak. Aku sudah berjanji pada nenek sebelum meninggalkan kita. Bahwa aku akan selalu menjaga nama baik keluarga.”“Tapi, bukan seperti ini. Kamu salah paham, Kak. Jika nenek masih ada, dia pasti akan memintamu menolaknya.”Anantha menutup buku, menatap adiknya dengan serius. “Ini hanya soal waktu. Kami berdua hanya butuh membicarakan ini dengan kepala dingin. Jika setelahnya tidak cocok kami bisa membatalkan.”Clara semakin frusta
Tiga belas tahun berlalu.Tangan kekar kekar memeluk pinggang yang masih tetap ramping seperti tiga belas tahun lalu, wanita cantik itu, tetap terlihat awet muda meski usia tidak lagi seperti dulu.“Bagaimana pekerjaanmu?” tanyanya lembut di telinga istrinya.Bibir itu tersenyum indah, ia mengusap tangan kekar yang berada di perutnya dengan lembut. Tatapannya lurus pada pemandangan di depan mereka. Pada gadis dengan dres putih dengan sebuah buku di tangannya.“Semua berjalan baik,” jawabnya.“Putri kita sudah semakin besar dan semakin mirip denganmu,” ujr William dengan tatapan bangga, “tuan Baskoro–”“Dia masih muda, sayang jika usianya tidak digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.”Menghela napas pelan, William semakin mengeratkan pelukannya. “Hanya perjodohan, jika mereka tidak cocok–”“Aku tetap tidak setuju, Willie. Anantha masih sangat muda,” tolak Rose lembut, “kukira setelah kau melewati sembilan puluh sembilan kali kencan muda di masa muda, kau sadar jika perjodohan itu ti
Nicholas masih termangu di bawah, melihat bagaimana William memperlakukan Rose dengan sangat baik. Pria itu memberikan apa yang seharusnya wanita inginkan dan dia tidak bisa.Diam-diam, Nicholas meneteskan air mata dengan senyum getir, ada sakit yang tak bisa dijelaskan dengan benar. Putri mereka—Anantha adalah gadis paling beruntung selain mantan kekasihnya.“Tuan, kita kembali?” Megan yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari William mencoba untuk mendekati.Nicholas memalingkan wajah, menghapus air mata yang sempat terjatuh. “Hum, kita harus kembali, tapi ada baiknya berpamitan ada yang punya acara.”Megan melihat ke atas, perhatian yang William berikan memang membuat iri siapa saja. Kini, Megan tahu, jika Nichola masih belum bisa merelakan Rose meski wanita itu telah memiliki istana sendiri.“Kalau begitu ayo,” kata Megan, “saya khawatir terlalu lama, Ibu semakin lelah menunggu.”Nicholas melangkah ragu, tatapannya penuh dengan banyak penyesalan dan perandaian, bertemu dengan Diana
“Nyonya Diana semakin cantik, benar, kan Ibu?” bisik Megan pada Margaret. Setelah berpisah di lobi tadi, Nicholas terlihat lebih tidak bersemangat, entah apakah itu seperti dia menyesal datang atau menyesal karena tidak bisa menjadi suami yang baik dahulu.“Diana memang selalu cantik, dia pandai merawat diri, tetapi—” Margaret melirik pada putranya yang terlihat frustasi.Megan kembali meminta Margaret untuk fokus ke arah Diana, pemandangan yang semakin terlihat dramatis, “Bu, itu Bu Rose, dia ternyata lebih cantik,” puji Megan tidak bisa berhenti menatap kecantikan Rose.Nicholas yang mendengar nama Rose melihat ke arah pandang ibunya dan Megan. Ia menelan ludah kasar, kecantikan itu begitu alami, senyum yang tulus dan Nicholas merasakan jantungnya berdegup kencang.‘Sialan, kenapa aku masih berdebar ketika bertemu dengannya,’ batin Nicholas.Ia menghabiskan minumannya dan meninggalkan meja miliknya. Ia berjalan keluar untuk sekedar menenangkan diri sebelum acar benar-benar dimulai.
aDi hari yang telah dinantikan, di gedung pencakar langit itu, berdiri para kolega besar dengan rasa kagum yang tak bisa disembunyikan. Mereka terkagum dengan foto keluarga yang dipasang begitu besar di lobi utama.“Wah, ternyata benar kata orang-orang yang pernah melihat. Putri pak William memang sagat cantik, perpaduan ayah dan ibu yang imbang,” bisik para tamu yang tak henti memuji kecantikan Anantha.“Ya, aku tidak akan berbohong, jika putri mereka memang sangat cantik dan pasti sangat beruntung,” balas yang lain.“Benar, apalagi dia adalah keturunan terakhir, kekayaan yang nyonya besar miliki akan turun padanya. Oh, si cantik itu hanya perlu bernapas.”“Anda benar, Tuhan terlalu baik pada keluarga mereka. Hingga hanya menyisakan sedikit saja pada kami.”Mereka semakin masuk ke dalam, semakin menemukan keindahan yang tak terduga, dekorasi yang indah dan sempurna, makanan yang lezat serta minuman-minuman mahal tersedia di setiap meja.Dengan ini mereka yakin jika Matilda benar-be
Tiba di halaman belakang, Diana berjalan dengan wajah tenang, ia harus menerima nasibnya, keluarga ini memang tidak bisa menerima sebaik apa pun dia.Margaret menoleh tatkala mendengar langkah kaki seseorang mendekat. Ia tersenyum le,but dan berdiri menyambut mantan menantunya. Dibandingkan Nicholas, dia jauh lebih banyak salah pada Anantha.“Diana, kemarilah!” panggil Margaret penuh rasa bersalah.“Ibu, bagaimana kabarmu?” Diana memeluk Margaret cukup lama, menahan rasa sesak di dada karena akhirnya bisa memeluk mantan mertuanya.“Ibu, baik-baik saja,” ujar Margaret merasakan hal yang sama, tetapi ia mencoba tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.“Senang karena akhirnya bisa melihatmu lagi,” ucap Margaret setelah pelukan mereka terlepas, “kamu tinggal di mana, Nicholas—”“Aku memang pindah Ibu,” potong Diana.Mengangguk pelan, Margaret meminta Diana duduk dan menjelaskan dengan pelan tujuan, ia bisa melihat bahwa hidup mantan menantunya baik-baik saja setelah berpisah.“Ibu dengar,