Ujian selesai para peserta menghambur keluar, tak terkecuali Mita dan Amelia. Para peserta menunggu dengan was- was, karena hasil ujian akan di laksanakan hari ini.
Amelia dan Mita duduk di depan kelas juga para peserta lainya. Amelia matanya tak lepas dari dzikir digital yang ia lafalkan di dalam hati, Sedang Mita chatan dengan pacarnya.
"Kau chat an ama siapa Mit? Kayaknya seneng banget?"
"Ama pacarlah, emang kamu jomblo!"
"Jangan keras- keras dong, nanti ada yang denger, aku kan malu !" Ucap Amelia menutup mulut sahabatnya yang terlanjur ember.
"Iya maaf, hehehe..."
"Kamu nggak dzikir sih, kita udah berusaha harusnya berdoa dong."
"Aku sebenarnya hanya cari pengalaman aja, kalau keterima ya Alhamdulilah kalau nggak juga nggak apa- apa." Ucap Mita Enteng.
Amelia memukul lengan sahabatnya. "Terserah kau saja lah, kau kan anak orang kaya..."
"Heemm..." Ucap Amelia berdehem mengiyakan ucapan sahabatnya.
Waktu yang di tunggu tiba. Akhirnya pengawas menempelkan lembaran kertas yang berisi nama peserta yang di terima. Mereka berdesakan, Amelia dan Mita memilih mundur. Menunggu peserta lainya mundur. Setelah agak longgar baru Amelia maju melihat apakah dirinya termasuk dari dari penerima beasiswa itu apa tidak.
Amelia terpekik senang, saat dirinya masuk dan lolos dari beasiswa ini. Air mata lolos dari pelupuk matanya. Ia bahagia. Amelia pun sujud syukur, ia tak pedulikan orang melihat padanya. Ia hanya sangat bahagia, tak bisa ia lukiskan dengan kata- kata.
"Selamat ya Amel" Ucap Mita memeluk sahabatnya.
"Makasih..." Ucap Amelia menangis tersedu- sedu. Segera ia lepaskan pelukan sahabatnya. Ia tanya pada Mita. Mita tak sebahagia dirinya.
"Kau di terima?" Tanya Amelia penasaran. Mita mengeleng, tapi ia tersenyum tak ada kesedihan di matanya.
"Kau tak bersedih? Tanya Amelia penasaran.
"Nggak, kan tadi aku bilang aku hanya mencari pengalaman. Dan kali ini aku harus menurut dengan perkataan Ayahku untuk kuliah di Malaysia." Amelia tak menjawab omongan sahabatnya, tapi ia akan sedih di tinggalkan sahabatnya jauh di negeri seberang. Hanya Mita Sahabatnya yang bisa menerima dirinya, walau Mita dari golongan orang kaya, tapi Mita tak malu berteman dengan dirinya yang miskin.
"Kenapa kau diam Amel?" Tanya Mita. Walau Mita sahabatnya menunduk sedih. Karena tak mau kehilangan dirinya. Amelia menghapus air matanya. Ia langsung memeluk sahabatnya.
"Aku pasti akan kangen padamu..." Ucap Amelia sendu.
"Aku juga akan pasti kangen padamu, jangan lupakan aku ya, sahabatmu yang cerewet ini !"
"Aku tidak bisa melupakan sahabat sebaik kamu Mita Anastasia !"
Mita pun tersenyum mendengar ucapan Amelia.
"Yuuk aah, makan aku laper nih. Karena kamu yang lolos. Kamu yang traktir ya..."
"Oke sip..." Ucap Amelia mengandeng sahabatnya keluar dari ruang Aula kelas itu. Mereka kemudian menuju warung Bakso yang terletak di depan kampus. Amelia memesan Bakso pada pelayan yang datang menghampirinya. Mereka ngobrol ringan sebelum pesenan bakso datang. Mata Amelia menangkap sosok yang menatap saat ujian.
"Deg..."
Mata Amelia membulat sempurna Ryan berada tak jauh dari meja duduk. Ryan pun memandangi terus wajah Amelia. Tapi Amelia tak ingin menatapnya lama, ia ingin konsen candaan Mita yang berada di depanya.
Pesanan Amelia datang, pelayan membawakan dua mangkok bakso urat di sertai kuah gajih yang mengiurkan. Cacing di Perut Amelia kegirangan melihat bakso ada di hadapanya.
Amelia segera menyantapnya. Ryan masih terus memperhatikanya. Tapi Amelia tak menanggapinya. Ia fokus makan dan bercanda dengan Mita. Selesai makan bakso, Amelia segera membayar, ia janji bahwa dirinya yang mentraktir. Amelia dan Mita bergegas ke Kosan. Ia merebahkan dirinya di Bed.
Kenapa dia menatapku terus? Apa dia dia suka padaku? Nggak aah jangan gr dulu' batin Amelia.
Mita menimpuk wajah Amelia dengan bantal.
"Lamunin siapa sih senyum- senyum sendiri?"
Amelia beranjak dan duduk bersandar.
"Oh ya Mit, tadi saat kita makan bakso kamu liat pengwas yang makan tak jauh dari tempat kita duduk?
"Iya... pak Ryan ama pak Doni."
"Ko kamu tau namanya sih?"
"Ya taulah, kan mereka pake tanda pengenal. Kamu iish !"
"Kenapa emang? Kamu naksir pak Ryan ya?"
"Eehmmm... belum sih... Tapi pak Ryan liatin aku terus, kan aku jadi gr.
"Uhhukk..." Mita meledek sahabatnya.
"Moga Pak Ryan emang jatuh cinta pada sahabatku ini, biar tidak jomblo lagi.Amiin." Mita mengadahkan tanganya ke atas memohon ijabah doanya.
"Udah aah, aku mau packing nih. Aku mau pulang ke orang tuaku. Sebenarnya aku sedih ninggalin nenek ama kakek, tapi aku harus kuliah untuk masa depanku." Mita menghembus nafas pelan.
Mita dan Amelia bersahabat saat masih kecil. Orang tua Mita pengusaha suskes di jakarta. Ketika masih kecil Mita main di rumah neneknya dia bertemu dengan Amelia sejak saat itu mereka akrab sampai saat ini. Orang tuanya mengijinkan tapi saat lulus sma Mita harius menuruti kemauan orang tuanya kuliah di Luar negeri.
Selesai Packing Mita ke Bandara di anter Amelia. Mereka menunggu di lobby sebelum Amelia chek in.
Panggilan untuk segera naik ke pesawat mengema di seluruh ruangan Bandara. Mita segera bangkit dari duduknya.
"Amel, aku pamit ya. Jangan lupain aku, tatkala kamu banyak teman."
"Iya... kamu hati- hati. Jangan lupain aku juga."
"Heem, Mita kemudian memeluk Amelia, dan Amelia membalasnya. Mita kemudian melepas pelukan Amelia. Ia melambaikan tangan pada sahabatnya. Tak terasa air mata menganak sungai di pelupuk mata Amelia. Akhirnya Mita lenyap dari pandangan Amelia.
Amelia berbalik badan dan menyetop taksi yang lewat di hadapanya dan Menuju ke kosanya. Membuka kamar, bayangan akan sahabatnya melintas di memorinya. Segera ia hapus dari pikiranya takut dirinya akan sangat merindukan sahabatnya.
Ia segera pesen tiket bis, hari ini dia pulang untuk memberitahukan orang tuanya dirinya di terima dan mendapatkan beasiswa. Tiket sudah di tangan. Ia menunggu di halte. Tak lama kemudian bis datang. Amelia duduk di depan sesuai nomernya. Bis melaju menuju ke kampung halaman Amelia. Amelia pun turun tak lupa mengucapkan terima kasih pad kenet dan sopir. Mata Amelia berbinar mata bahagia. Tak sabar ingin menyampaikan berita bahagia ini pada orang tuanya.
Akhirnya Amelia sampai di rumah, ia mengucap salam.
"Assalamualaikum.." Amelia masuk ke dalam, karena emang pintu terbuka.
Mendengar suara dari luar Ningsih keluar. Ia terharu melihat putrinya pulang.
Amelia mencium punggung tangan ibunya.
"Gimana hasilnya nak? Kamu lulus?"
Amelia tak bisa menjawab, ia langsung memeluk ibunya dan menangis di pelukanya.
"Ko nangis!, kalau nggak di terima juga nggak apa- apa. Itu bukan rejeki kamu yang sabar ya, tahun depan mulai lagi." Ucap Ningsih sambil memberi nasehat.
"Aku lulus Bu..."
Bersambung...
Tania dan Arnold pulang dari kantor. Perasaan lega menyelimuti hati. Sejatinya tak ada manusia yang sempurna yang ada hanya saling memaafkan. Minggu depan Tania dan Arnold menikah. Kebetulan Ayah Arnold adalah temen bisnis Ryan di Singapore. Ini sekaligus sebagai silaturahmi bisnis. Ryan pulang ke rumah, di depan pintu bau masakan menguar menusuk hidung. Ryan Membuka pintu, karena pintu juga tidak di kunci. Terlihat Amelia sedang sibuk di dapur. Bau masakan semakin mengaduk perut yang keroncongan. "Masak apa sayang," tanya Ryan memeluk pinggang istrinya. Amelia kaget, suaminya sudah memeluk erat pingangnya. "Masak yang gampang aja, Cumi saos tiram sama capcay bakso kesukaan Mas Ryan," "Sayang, ada kabar baik." ucap Ryan mengecup pipi istrinya. "Apa tuh?" tanya Amelia semangat. "Tania dan Arnold mau menikah." Amelia kaget sekaligus senang. Sikap tegas Ryan
Arnold dan Tania, membicarakan rencana pernikahan. Tiba-tiba ia teringat perbuatanya pada Ryan. Ia ingin meminta maaf. "Tania, sebelum kita menikah aku ingin minta maaf sama Ryan," ucap Arnold sembari memegang jemari Tania. Tania terdiam sesaat, ia teringat kejadian itu atas perintah dirinya. Yang harus meminta maaf adalah dirinya. "Aku yang harus minta maaf sama Ryan, itu kan karena atas perintah ku," Kata Tania menatap kosong di depanya. Tania kini menyadari kesalahanya. Membiarkan dendam menguasai hatinya. Arnold seneng mendengar ucapan Tania. Itu artinya Tania ingin berubah menjadi lebih baik. Tak ingin menaruh dendam berlarut pada Ryan. Karena sejati hukum tabur tuai berlaku di dunia ini. Tania memperoleh hukumanya, di campakan oleh Ryan. Ia Lebih Memilih istrinya. Ingin menghancurkan hidup Ryan, tapi dirinya yang hancur. Untung cinta Arnold menyelamatkan dirinya, hi
Arnold menyodorkan cincin di hadapan Tania. Netra Tania menatap lurus cincin berlian di hadapanya. "Menikahlah denganku Tania, aku tak bisa berjanji bahwa aku akan selalu membahagiakan mu tapi aku ingin bersama sampai menutup mata." Tania mengejap matanya berulang kali, ia tak menyangkaa akan di cintai seperti ini. 'Apa ucapan kakak harus aku turuti?' Batin Tania. Arnold masih menatap penuh harap agar menerima dirinya. "Tania ...." panggil Arnold parau. "I-ya," jawab Tania sambil terbata- bata. "Apa kau menolakku?" tanya Arnold sedih. Ia berpikir sejenak. Lalu dengan memejamkan matanya ia menjawab lamaran Arnold. "Iya Arnold, aku mau menikah denganmu" walau hati ragu. Tapi ia ingin menghilangkan bayangan tentang Ryan di kepalanya. Hati Arnold sangat bahagia mendengar ucapan Tania. Arnold membuka kotak berisi cincin berlian. Menyematkan di jemari Tania. Cincin
Selama hampir sebulan Arnold mendekati Tania. Melakukan apa saja demi mendapatkan cinta Tania. Menyuruh Tania melupakan dendam pada Ryan. Mencoba berdamai dengan kehidupan. Bahwa semua terjadi adalah kuasaNya. Tapi Tania masih terdiam semua perkataan Arnold. Ia sangat sabar menghadapi Tania. Juga berdoa semoga Tania segera sadar. Arnold memakai jas Navy. Menyemprotkan aroma maskulin di tubuhnya. Jack sudah menunggu di belakang kemudi. Ia masuk mobil sudah tak sabar menemui Tania. Gugup menguasai hati Arnold. Jack melajukan mobilnya ke Apartemen Tania. Arnold membuka cincin berlian mata satu yang berkilau Indah. 'Ya Tuhan, semoga Tania menerimaku' batin Arnold. Tania baru bangun tidur saat mentari sudah naik. Ia mengeliat. Membuka selimutanya. Ada perasaan bahagia menyelinap ke dalam kalbu. Ia tak tau kenapa. Lebih baik mandi. Air pagi menyegarkan tubuh Tania. Rambut basah Tania telah di bungkus dengan handuk. Tania
Amelia melanjutkan makannya. Ucapan mertuanya yang menohok membuat selera makanya terhenti. 'Kapan Mama akan menerimaku?' Batin Amelia sambil menunduk. Ryan mengerti istrinya sedih. "Mas, ayo kita periksa ke dokter," rajuk Amelia dengan tatapan memohon. "Iya ... sayang, besok kita periksa. Kebetulan tak ada jadwal penting di kantor," Mata Amelia menyiratkan bahagia. Keinginan memiliki zuriat begitu besar baginya. Bukan sekedar menghindari ocehan mertuanya. Tapi ada kebahagiaan tersendiri di saat bayi mungil tumbuh besar di rahimnya. Melahirkan dan membesarkan dengan penuh cinta kasih. Untungnya suaminya sangat pengertian. Tak menuntutnya memiliki keturunan segera. Tapi anak adalah rejeki dan harus berusaha meraihnya. Juga doa yang tak pernah putus. Amelia mengeliat dalam pelukan suaminya. Hangat mengaliri darah Amelia. Ia mengejap dan mengedarkan pandanganya. Masih gelap jam berapa ini?
Kembali ke Amelia. Amelia mengejap matanya berulangkali. Ia melihat jam di beker di nakas. Jam 3 sore. Ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi tak jauh dari kamarnya. Ritual mandi dilakukan dengan cepat. Selesai mandi segera ke dapur. Memasak untuk nanti makan nanti malam. Aroma masakan menyeruak menyebar di seluruh ruangan rumah ini. Jam lima sore Ryan pulang. Pintu rumah tak di kunci. Ia langsung masuk saja. "Ceklek" "Assalamualaikum," "Walaikum salam Mas Ryan," Senyum mengembang dari kedua sudut mulut Amelia. Ia menyambut suaminya dan mencium tanganya. "Masak apa sayang?" Tanya Ryan sembari mencium kening istrinya. "Masak kesukaan Mas Ryan," ucap Amelia sembari menaruh Ayam goreng di meja. "Mas mandi dulu, nanti kita malam bareng," "Iya sayang," Ryan melangkah ke kamar. Mandi juga berganti pakaian. Ryan terlihat segar. Waj
"Kenapa diam Tania?" "Kamu masih memikirkan Ryan? Laki- laki pengecut seperti itu masih kau pikirin! Kurang kerjaan aja !" Arga selalu marah apabila Tania memikirkan Ryan. "Aku nggak mikirin Ryan kak, tapi memikirkan bagaimana membalas sakit hatiku!" ucap Tania sambil mengepalkan tangan menahan marah di dada. "Hemm ... sampai kapan kau memelihara dendam di hati? Bikin sakit aja!" "Udahlah ... tak ingin dengar alasanmu, kak Arga pingin kamu melupakan Ryan dan menerima Arnold. Itu demi kebaikanmu!" Arga berlalu dari hadapan Tania. Memberi ultimatum telak. Menbuat Tania tak berkutik. Apakah aku harus menerima Arnold? Tania melangkah gontai ke kamar. Ia menjatuhkan dirinya di Bed. Menarik selimut sampai ke leher. Memejamkan mata berharap pelangi datang lewat mimpinya. Tania mengejap matanya tatkala sinar mentari menerobos lewat celah kecil dari jendelanya. Dan m
Arnold masih berada di Hotel mewah. terpekur sendiri. Memikirkan Tania. Mencoba menghubungi gawainya tapi tak aktif. Kangen di dada serasa akan meledak. Akhirnya ia menemui kembali Tania. Bukankah cinta harus di perjuangkan? Pikir Arnold. Di depan Apartemen kakaknya. Ia memencet bel. Ting tong. Arnold berniat ingin melamar Tania secara baik- baik. Tania bangkit dan membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia saat tau Arnold ada di depanya. "Arnold ...." gumam Tania lirih. "Iya ini aku, sambil memegangi daun pintu. Tania menatap manik mata milik Arnold. Ada cinta yang dalam di matanya. "Ada apa, kenapa menatapku seperti itu?" Arnold tersenyum semanis mungkin di hadapan belahan jiwanya. "Tania ... aku ingin melamarmu," Jantung Tania serasa ingin melompat keluar juga deg- deg an. Senang mendapat perhatian dari lak
Ryan menyuruh Mamanya duduk di sofa, ia kembali berkutat dengan pekerjaanya. Agar tak mengganggu konsentrasinya. Akhirnya Mama Lina mau menuruti anaknya duduk di sofa. Tapi mulutnya tak bisa berhenti ngomel. "Kamu tuh keterlaluan banget ya, udah lupa sama Mamamu ini hah?! Beberapa Bulan tak ada kabar!" "Tapi Ryan selalu komunikasi sama kakak Ma?" "Kalau kakakmu aja di hubungi masa sama Mama nggak?" Lina semakin emosi. Anak bungsunya ini bikin gemes. Ryan kembali menekuri pekerjaanya. Tanpa melirik Mamanya. Tapi Mamanya masih aja nyerocos. "Kamu tuh belum tau rasanya jadi orang Tua sih!" Deg Hati Ryan tercubit. Ada Nyeri menyapa. Mencoba sabar omelan Mamanya. 'Ya Tuhan, sabarkanlah hamba menghadapi Mama' "Oh ya Si Amel udah hamil belum?" "Belum, kenapa Ma?&n