Share

Calon Mertua

Rangga mematut dirinya di depan cermin, baru saja Naima membelikannya satu stel pakaian bermerek yang harganya cukup mahal. Rangga benar-benar merasa seperti bintang film, kenapa tidak ada satu produser pun yang meliriknya untuk menjadi artis, dunia memang aneh.

Naima masuk tidak sabaran ke ruang ganti itu, menunggu Rangga layaknya menunggu penganten yang sedang bersolek.

"Kenapa lama sekali? Bapak saya sudah nunggu, ini sudah jam lima lewat sepuluh."

"Eh, iya, Bu." Rangga meraih ranselnya. Baju baru memberi aura positif padanya, dia menjadi bersemangat.

Mereka berangkat dengan mobil Naima, Rangga tak berhenti mengagumi mobil mungil itu.

"Gaji sebagai dosen besar, ya, Buk? mobilnya kelihatan mahal."

"Nggak juga," jawab Naima, dia konstentrasi menyetir.

"Nanti kalau Ayah nanya, kamu jawabnya iya iya aja, jangan asal bicara, ngerti?"

"Beres, Buk." Rangga mengangkat tangannya seperti memberi tanda hormat.

Tiga puluh menit berkendara, mereka sampai di rumah Naima. Rumah sederhana tapi sangat bersih dan asri. Bermacam-macam bunga warna- warni dan tanaman hias lainnya tertata rapi di pekarangan rumah, ada kolam kecil dengan air mancur yang didisain apik dan begitu menawan.

Rumah itu tidak terlalu besar, tapi kesannya begitu luas dengan penataan perabotnya, rumah ini bersih, menggambarkan pemiliknya yang suka kerapian dan keteraturan.

Benar saja, baru saja Rangga mengucapkan salam, dua orangtua yang diyakini sebagai orang tua Naima sudah duduk tegap di sandaran kursi tamu.

Rangga menyalami dan mencium tangan ke dua orangtua Naima dengan hormat, tak lupa senyum yang teramat manis dan santun di tunjukkan Rangga. Ayah Naima tampak senang dan tersanjung dengan perlakuan itu, berbeda dengan ibu Naima yang lebih banyak membuang muka.

"Jadi kamu calon suami Naima?" Suara berat itu menggelegar.

"Iya, Om," jawab Rangga mengangguk mantap.

"Panggil Ayah! bukan Om," jawab ayah Naima tersenyum hangat.

Naima ketar-ketir sendiri dengan momen ini.

"Jadi , iapa namamu, Nak?"

"Saya Rangga, Om, eh Ayah."

Naima berdoa, jangan sampai ketololan Rangga keluar saat ini. Sikap pria itu bisa menghancurkan rencananya.

"Berapa usiamu?"

"Saya dua puluh tujuh, Om, eh! Ayah, he he." Rangga salah tingkah.

"Masih muda tiga tahun dari Naima, tapi tidak masalah...."

Ayah Naima mengangguk-angguk lagi, ibu Naima melotot tajam pada anaknya, mata itu menyiratkan, "Kau temukan di mana anak ini?"

"Kerja di mana?"

Inilah pertanyaan yang ditakuti Rangga, dia tak mungkin mengatakan kalau dia hanya tukang ojek online.

Naima mengusai keadaan lalu menjawab tenang.

"Rangga bekerja di perusahaan transportasi, Yah."

"Ooo, bagus itu, Nak. Rangga serius dengan Naima, kan?"

"Iya, Yah." Rangga mengangguk mantap. Seperti perintah Naima, dia cuma perlu mengatakan iya-iya saja.

"Berapa lama kalian saling mengenal?"

"Enam tahun, Yah." Naima menyela cepat.

"Sudah cukup lama. Baiklah, dua hari lagi kalian menikah, suruh orang tuamu datang melamar besok, ya!"

Rangga dan Naima seolah-olah seperti disambar petir, dia tak menyangka sandiwara ini berakhir serius. Menikah? Dengan Rangga? Apa jadinya pernikahan mereka nanti.

Rangga menoleh kepada Naima dengan pandangan meminta tolong,

"Bu, bagaimana ini?" Bisiknya.

*****

Naima memarkirkan mobilnya di bawah pohon, di pinggir jalan yang cukup sepi, setelah mendengar ultimatum ayahnya, mereka bergegas pergi dengan alasan Rangga ada telpon mendadak dari kantor.

"Ibu harus tanggung jawab!"

"Saya gak nyangka bakal seserius ini."

"Saya belum mau menikah, Bu."

"Kamu pikir saya mau nikah sama kamu?" bentak Naima pusing.

"Jadi, gimana? "

Naima diam, dia tau ayahnya tak pernah menuntut apapun darinya, kecuali menikah, apa yang akan terjadi jika harapan itu tidak terwujud, bisa-bisa ayahnya masuk rumah sakit lagi.

"Begini saja, saya punya penawaran."

"Apa lagi, Bu? Saya jadi takut."

"Kita nikah saja!"

"Nggak mau, Bu." Rangga langsung memotong.

"Kamu ingin lulus, kan?"

"Iyalah, Bu, Ibu juga tau."

"Sebenarnya ini dosa, tapi saya tak punya pilihan demi menyelamatkan nyawa ayah saya, saya tak bisa menolak, ayah saya penderita sakit jantung, saya terpaksa mengabulkannya."

"Maksud, Ibu?" Rangga belum juga mengerti.

"Kita menikah, tapi yang tau hanya orang terdekat saja seperti keluarga inti kita."

"Terus? "

"Kita menikah dengan beberapa kesepakatan, salah satunya tidak ada hubungan suami istri, kita tetap serumah, dengan status suami istri, saya bisa bantu kamu 24 jam membina semua mata kuliahmu dan menyelesaikan skripsimu, bagaimana?"

Rangga cukup tertarik tapi bagaimana dengan pacarnya?

"Saya punya pacar, Bu."

"Pacarmu tak perlu tau kalau kau sudah menikah, gampang, kan? Kita simbiosis mutualisme saja, kau lulus dan saya dapat suami, gimana?"

Rangga memandang wajah mungil milik Naima. Hatinya ragu, tapi sekali lagi, sepakat atau mati.

"Untuk urusan biaya rumah tangga kita saling mengerti saja, saling bantu, gaji saya cukup besar dan saya punya usaha lain yang cukup sukses, tidak ada yang akan dirugikan di sini."

"Deal, Bu." Rangga menjabat tangan Naima, gadis itu tersenyum lega.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status