Share

Tawaran

Ucapan Bu Dosen tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuat kepalanya serasa mau pecah, bertemu dosen cantik itu malah membuat dia trauma.

Bu Dosen yang entah siapa namanya itu, orangnya galak, tegas, tidak bisa diajak bercanda sedikit pun. Andai saja seperempat kemampuan Bu Dosen itu ada padanya, pasti kuliah terasa lebih indah.

"Apa yang mau saudara teliti? Kalau tidak terjadi masalah dalam kasus ini? masalah itu akan terjadi jika teori tidak sesuai dengan kenyataan, pelajari lagi! besok temui saya! kalau saudara tidak paham juga, terpaksa saudara ajukan judul baru."

Rangga mengacak rambut gondrongnya sehingga menjadi berantakan, dia pusing dan tidak mengerti, jika tidak lulus juga, dia akan digantung oleh bapaknya sendiri.

Rumah, sawah dan ladang sudah tergadai demi menyekolahkannya setinggi ini. Dia kuliah di tempat orang kaya pula, biaya kuliah dan biaya gaya hidup yang tidak sedikit.

Andaikan boleh memilih, dia akan memilih terlahir dengan wajah biasa saja tapi memiliki otak cerdas, dari pada wajah mengalahkan artis Aamir khan waktu muda, tapi otaknya lemot.

Rangga membanting-banting kepalanya ke sisi meja. Tak ada sedikit pun ide keluar dari sana, mungkin emaknya dulu terjatuh waktu mengandung dia, sehingga otaknya terbentur dan tidak bisa menangkap pelajaran.

Rangga mengalihkan pandangan, saat teman kosnya yang jauh lebih muda masuk ke kamar itu, namanya Zaki, masih semester satu, tapi otaknya luar biasa encer.

"Ada apa, Bang?"

Zaki melirik tumpukan kertas di hadapan Rangga. Ya Tuhan, anak itu lebih cocok memanggilnya paman daripada sebutan Abang.

"Biasalah, derita baru masalah lama."

"Ooh," jawab Zaki. "Pinjam carger ya,  Bang."

Rangga memberi isyarat, Zaki pun keluar dari kamarnya.

Sekarang sudah jam satu dini hari, besok dia akan menemui Bu Dosen galak, dia hanya pasrah sekarang ini.

"Ibu Peri, turunlah, tolong aku!" ucapnya masuk ke dalam selimut, tanpa menunggu lama, dia masuk kedalam mimpi.

***

Naima mengaduk sarapannya bosan. Sepiring nasi goreng dan ocehan ibunya adalah paket lengkap sarapannya setiap pagi. Kalau ada remot untuk menghentikan orang berbicara, maka dia akan membelinya.

Ibunya cerewet luar biasa, terkadang dia berniat punya rumah sendiri, supaya dia bisa hidup dengan nyaman, tapi mengingat ayahnya yang sudah sakit-sakitan, dia menjadi tidak tega.

"Pak Broto akan datang melamarmu nanti malam, siapkan penampilan terbaikmu! kalau kau tak pulang cepat, aku akan menyeretmu dengan paksa dari kampusmu."

"Ibu, kenapa ibu memperlakukan aku begini?" Naima tidak terima, ibunya yang tadi membersihkan sayur, berbalik menatapnya, melempar kain lap yang ada di tangannya ke sembarang tempat.

"Kau itu gadis bodoh, hanya karena kau dikhianati, kau tak berniat untuk menikah."

"Aku bukannya tak berniat, ibu. Hanya saja...."

"Hanya saja kau mau menunggu pria pembohong itu untuk bercerai dengan istrinya lalu menikahimu, begitu?"

Naima tak tahan lagi, "Bu, jangan ungkit masalaluku, aku mohon, Bu." Dia berusaha meredam amarahnya.

"Kenapa? Itu kenyataan, aku ini ibumu, kau tak bisa menyembunyikan apa pun dariku, sekarang kalau kau ingin selamat, bawa sendiri laki-laki yang kau inginkan menghadap bapakmu nanti sore, sebelum Pak Broto datang."

Tegas dan tidak bisa dibantah, Naima tahu persis siapa ibunya.

Dia meninggalkan sarapannya, meraih kunci mobilnya dan pergi secepatnya meninggalkan rumah. Mau dicari ke mana calon suami dalam waktu sepuluh jam, rasanya dia ingin mati saja.

****

Naima memijit kepalanya pelan, dia benar-benar pusing.

Pintu diketuk perlahan, Naima mempersilahkan orang itu masuk tanpa melihatnya.

"Selamat pagi, Bu."

Suara bass yang cukup familiar, Naima mengangkat wajahnya, menilai laki-laki yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima senti meter itu.

Laki-laki yang tak lain adalah Rangga, tersenyum kikuk, apakah penampilan masuk kedalam penilaian? kali ini dia hanya menggunakan kemeja pendek dengan celana jins robek di bagian lutut.

"Duduklah!" perintah Naima, dia menghela nafasnya agar fikirannya bisa fokus.

"Mana proposalmu?"

Rangga mengeluarkan lembaran kertas itu ragu-ragu, Naima melihat satu persatu, kertas itu tak ada perbaikan sama sekali.

"Apa ini?" Dia memandang Rangga yang menggaruk kepalanya.

"Eh, itu, Bu... saya ... saya gak ngerti."

"Jadi apa saja kerja saudara tadi malam? bahkan tak ada coretan sedikit pun di sini."

Otak Naima tambah pusing,

"Bu, please Bu! mohon bantu saya lulus semester ini, kalau tidak, saya bisa mati."

Rangga menautkan jari-jarinya penuh permohonan.

"Rangga, lulus atau tidak, semua tergantung usahamu sendiri, saya cuma bisa membantu."

"Bu, saya mohon! saya akan lakukan apa saja yang ibu pinta asalkan saya bisa lulus."

Rangga berlutut, bahkan tangannya seenaknya mampir ke paha Naima untuk berpegangan, Naima menyingkirkan tangan itu dengan marah.

"Maaf, Bu! saya gak sengaja."

"Duduk di kursi!" perintah Naima, Rangga menurut.

"Benar kamu akan melakukan apa saja?"

Naima mencoba peruntungannya, ini gila, tapi terpaksa dilakukannya.

"Saya bersumpah, asalkan saya nggak disuruh terjun dari gedung, akan saya lakukan, saya nggak mau mati sekarang, saya masih perjaka, Bu."

Naima menggeleng-geleng. Mahasiswa aneh.

"Kau pikir aku sejahat itu."

"Jadi apa yang harus saya lakukan?"

"Gampang saja, nanti ikut ke rumah saya, menyamar jadi calon suami di depan keluarga saya, bisa?"

"Itu saja, Bu? Itu mah kecil..

" Rangga tersenyum remeh.

"Jam lima sore, kita akan temui orang tua saya, beraktinglah sebaik mungkin, saya akan menjamin kelulusan saudara di semester ini."

"Wah, terimakasih, Bu." Rangga tersenyum bahagia, berniat memeluk Naima, Naima melotot sehingga tangan itu berhenti mendadak.

"Jangan menyentuh saya sembarangan! faham?"

Rangga kembali nyengir, tapi dasar mulut tak bisa direm dia malah melontarkan pertanyaan yang membuat Naima marah.

"Ngomong-ngomong kok saya yang harus pura-pura? Ibu nggak laku, ya?"

Naima mendelik ke arahnya. "Mau lulus atau tidak? Saya tidak punya waktu mencari calon suami, jangan banyak bicara, tapi banyak bekerja, di situ kelemahan saudara selama ini."

"Iya, Bu." Rangga menundukkan wajahnya.

"Sini! saya bantu!"

Naima meraih proposal itu, menerangkan satu persatu secara detail, Rangga mengangguk-angguk, awalnya dia masih tidak paham, tapi Naima tidak menyerah menjelaskannya sampai Rangga mengerti.

Suara tegas Naima dan wangi mawar yang tercium di hidung Rangga menjadi penyemangat tersendiri.

Rangga akhirnya keluar dari ruangan dengan wajah berbinar setelah dua jam konsultasi, dia sudah tau apa lagi yang akan dikerjakannya. Dosen cantik itu membuat daftar khusus untuknya setiap hari, daftar itu harus ditaati. Menaati atau mati, Rangga terbayang kumis tebal bapaknya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Youe
absen absen absen
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status