Terima kasih sudah membaca ✌😊 Instagram @vilnocte
Dua hari kemudian...Mobil hitam Andrew meluncur mulus ke depan hotel bintang lima. Ban berhenti tepat di bawah kanopi besar yang menahan cahaya matahari pagi.Dua petugas valet yang sigap segera bergegas, salah satunya membukakan pintu untuk Ariana, sementara yang lain menyambut Andrew dan Diego.Begitu kaki mereka menjejak lantai marmer yang licin, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapu kulit. Lobi hotel itu berkilau, marmer mengkilap di bawah lampu gantung kristal besar, musik piano lembut mengalun dari sudut lounge, dan aroma kopi mahal bercampur samar dengan wangi parfum para tamu.Diego mengangkat kepalanya, matanya menyapu sekeliling. Ada beberapa wajah asing yang ia tangkap, sebagian mengangguk tipis, sebagian lagi hanya memandangi dari jauh sambil berbisik.Ariana berjalan di sampingnya, bahunya tegak, blazer putih membingkai tubuhnya, dress biru tua jatuh rapi hingga lutut. Perpaduan keanggunan dan ketegasan seorang CEO.
Ban mobil berdecit ringan saat Diego memutar kemudi, memasuki area parkir basement kantor pusat Grup Ortiz.Aroma khas beton lembap dan suara gema mesin pendingin mengisi ruang. Mereka bertiga keluar dari mobil tanpa banyak bicara, langkah kaki berpacu menuju lift pribadi di sudut ruangan.Begitu pintu lift tertutup, ruangan kecil itu hanya diisi suara dengung mesin dan napas yang berjarak. Diego berdiri di sisi kanan, sesekali melirik Ariana lewat pantulan kaca pintu lift.Perempuan itu memandang lurus ke depan, seperti sedang menimbang langkah berikutnya. Andrew berdiri di belakang mereka, matanya terpejam sebentar.Pintu terbuka di lantai eksekutif. Lorong di sini terasa berbeda, hening, bersih, dan berlapis karpet tebal yang meredam suara langkah. Lampu sorot memantulkan kilau di gagang pintu kaca besar bertuliskan nama Ariana.Begitu pintu ruang kerja dibuka, aroma kopi hitam pekat langsung menyambut. Andrew berjalan masuk duluan, meletakkan map hitam di meja tamu sebelum menjatuh
Matahari pagi mulai menembus celah tirai, menarik garis tipis di permukaan ranjang. Udara kamar terasa hangat, bercampur aroma lembut yang tertinggal dari malam sebelumnya.Selimut sedikit tergeser, memperlihatkan kulit Ariana yang masih menyimpan sisa hangat sentuhan.Ia membuka mata perlahan. Kelopak matanya berat, senyum samar muncul begitu sadar sepasang mata kini tengah menatap dirinya. Diego sudah terjaga lebih dulu, bersandar di sisi ranjang, menatapnya tanpa berkedip.Ariana menghela napas pelan, menarik selimut hingga menutupi bahu sebelum beranjak dari tempat tidur. Ia lalu meraih gaun yang semalam tergeletak di kursi, lalu mengenakannya kembali dengan gerakan ringan.Diego menunduk sedikit, tatapannya tidak pernah lepas dari tubuh sang kekasih.“Tidurmu nyenyak?” tanyanya pelan.Ariana menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Cukup. Meskipun ranjang ini... sempit,” balasnya.Diego tertawa pendek. “Kalau tidak hati-hati, aku bisa jatuh tadi malam.”Ariana tertawa pelan, menun
Diego masih berada di atas tubuh Ariana. Napas mereka beradu, lambat dan hangat. Kamar sunyi, tapi atmosfernya pekat oleh rasa yang tak lagi bisa disembunyikan.Jari Diego menyentuh garis rahang Ariana, lembut, lalu turun menyusuri leher dan bahu yang kini terbuka penuh di hadapannya.Ia menunduk, mengecup bibir Ariana sekali lagi. Tangannya meluncur perlahan ke bawah. Menyusuri sisi perut Ariana, lalu ke paha bagian dalam, menyapu dengan gerakan ringan yang membuat tubuh Ariana sedikit gemetar.Diego menggeser tubuhnya sedikit, lalu membimbing bagian paling pribadi dari dirinya ke tempat paling pribadi Ariana.Tubuh Ariana menegang sesaat. Nafasnya tertahan. Matanya terbuka, tapi tak fokus.“Diego…” bisiknya, antara gugup dan yakin.Diego menatap langsung ke dalam matanya. “Aku di sini,” jawabnya, tenang.Dengan hati-hati, Diego mendorong dirinya masuk. Perlahan, sangat perlahan, seolah memastikan tubuh Ariana menerima sepenuhnya.Ariana menggigit bibirnya. Suara erangan kecil lolos d
Suara napas masih memenuhi kamar itu. Lembut, beradu. Hangat.Ariana belum membuka mata. Ia hanya membiarkan dirinya larut dalam detik-detik setelah ciuman panjang mereka berhenti.“Diego…” bisiknya. Pelan.Diego diam. Tapi matanya tetap pada Ariana. Ia menyentuh pipi Ariana, lalu dengan satu gerakan lembut, ia menyelipkan helaian rambut Ariana ke belakang telinga. Pandangan mereka bertemu sejenak, lalu terlepas lagi.“Maaf,” gumam Ariana tiba-tiba.Diego mengernyit pelan. “Untuk apa?”Ariana menunduk. “Aku… tidak tahu harus merespon bagaimana.”Diego mengangguk sekali. Tidak memaksa. Tidak mendekat. Ia hanya membiarkan Ariana punya ruangnya sendiri.Lalu, Ariana bergerak. Pelan. Ia mendekat, dahi mereka bersentuhan. Satu tangan Ariana menyentuh dada Diego, merasakan denyut jantung pria itu.“Bolehkah aku… hanya menikmati ini dulu? Tanpa berpikir?”Diego mengusap tengkuk Ariana. “Apa pun yang kamu mau.”Detik berikutnya, bibir Diego menyentuh kening Ariana. Lalu turun ke pelipis. Arian
Ariana masih menunduk. Tangannya di pangkuan, saling menggenggam, dan pipinya merah nyaris sepenuhnya. Tapi perlahan, ia mengangkat wajah. Tatapannya bertemu dengan Diego… lalu berpaling lagi secepat itu.Namun ada yang berubah. Di balik rasa malu, ada keberanian kecil yang muncul.Pelan-pelan, tangannya terangkat. Ia menunjuk pipi kanannya sendiri. Gerakannya ragu, tapi jelas. Tidak berkata apa-apa. Hanya menunjuk, lalu menatap Diego dengan pandangan yang nyaris seperti... permintaan.Diego mengerjap pelan. Mengerti.Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia maju sedikit, lalu mengecup pipi kanan Ariana dengan lembut. Hanya satu sentuhan ringan. Tapi cukup untuk membuat Ariana memejam sekejap, dan napasnya tertahan setengah detik.Belum sempat Diego menarik diri jauh, Ariana menunjuk pipi satunya lagi, lebih cepat kali ini. Bahkan ada senyum kecil yang muncul di ujung bibirnya, malu-malu, seperti anak kecil yang bermain diam-diam.Diego tertawa p