Selepas kepergian Tia, Karina kembali berbaring di atas kasurnya, dia kembali merenung, memikirkan bagaimana nasibnya, dan nasih anak yang sedang dikandungnya.
Minggu demi Minggu berlalu, usia kehamilan Karina sudah menginjak 4 bulan, lama kelamaan perut Karina mulai kelihatan mulai membentuk, ibu kost, dan teman kost, yang tinggal satu rumah dengan Karina, mulai membicarakan kelakuan aneh Karina, mereka sudah mulai curiga padanya, ditambah saat Karina, mulai menutup dirinya dari lingkungan kost, Karina lebih sibuk menyendiri dan diam di dalam kamar.
"Itu si Karin kaya orang lagi hamil ya, badannya melar, buah dadanya juga keliatan beda," cibir Aleta, salah satu penghuni kost di sana.
"Jangan asal ngomong kamu, nanti timbulnya fitnah loh," cetus Ica.
"Aku ini nggak asal ngomong, kalian pernah liat gak sih, kalo Karina pake baju ketat, ketara banget perutnya, kalau lemak kan bentuknya ngelipet, kalo dia mah bulat, ada juga orang hamil yang perutnya bulat mah, mana ada orang badannya kecil perutnya gede, masa iya dia busung lapar," jelas Aletta, sambil tertawa.
"Kalo beneran hamil, siapa Suaminya, dia kan belum nikah, kasian nanti Anaknya kalo nanya siapa Bapaknya, lagian masih kecil udah hamil, gimana itu nanti kalau orang tuanya tahu, kalau dia lagi hamil, pasti bakalan terpukul banget," balas Ica menimpali perkataan Aletta.
"Hust, jangan ngomong sembarangan, kasihan tau, nggak enak kalau didengar sama orangnya," tegur Tia.
"Kamu kenapa sih belain dia terus,mentang-mentang dulu pernah tinggal satu kamar kost sama dia," sahut Ica.
"Bukan gitu, nggak enak aja lah kalau didengar sama orangnya, kita juga harus bisa jaga perasaan dia, kita kan nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama dia, lagian kamu kayak paham banget sama wanita hamil, emangnya kamu udah pernah hamil?" tanya Tia, sedikit menyindir Aletta, karena dia tidak mau mendengar temannya dijelekkan oleh orang lain.
"Terakhir kali gue ngeliat cowoknya pas mereka lagi ribut, nyampe si Karinanya didorong-dorong, dia itu nangis sambil memohon ngemis minta si cowok biar nggak ninggalin dia, udah lama sih kejadiannya, udah beberapa hari yang lalu, dan sampai sekarang aku nggak pernah ngeliat cowoknya datang ke sini lagi," ungkap Aleta.
"Masa sih?" tanya Tia tidak percaya.
"Kamu kemana aja, masa berita udah heboh kayak gini kamu nggak tahu, kurang update deh," ledek Ica.
"Maklumlah namanya juga sibuk kerja," tukas Tia pura-pura tidak tahu, padahal jelas-jelas saat itu dia langsung mengunjungi Karina.
Karina masih mengurung diri di dalam kamar, tidak pernah sedikitpun dia meninggalkan kamarnya, karena kebetulan kamarnya lengkap dengan kamar mandi, jadi dia tidak perlu bolak balik ke kamar mandi, jika ingin buang hajat dan membersihkan badan, sedangkan untuk makanan dia selalu memesan makanan lewat aplikasi online, yang akan langsung mengantarkan ke depan kamarnya.
"Nyampe kapan gue bakalan kayak gini, orang-orang disini kelihatannya udah mulai curiga, rasanya udah nggak sanggup buat hidup kalau kayak gini terus," gumam Karina.
Semenjak kepergian Dehan, yang memutuskannya secara tiba-tiba, Karina seperti hilang haluan dalam hidupnya, dia lebih banyak melamun, seperti tidak ada lagi gairah untuk menjalani hidup.
Karina memutuskan untuk pulang ke rumah Ayahnya, yang di jawa tengah, Karina tidak mau pulang kerumah Ibu kandungnya, padahal kota Bandung lebih dekat jika dibandingkan dengan kota Cilacap, dia tidak mau membebani Ibunya karena Karina tau kondisi rumah tangga Ibunya, yang sedang sulit.
Diterima atau tidaknya oleh sang Ayah dan Ibu tiri itu urusan nanti, dia sudah tidak tahu lagi harus pergi ke mana selain ke rumah Ayahnya, karena jika karina pulang ke rumah Neneknya yang di bogor, sudah pasti Neneknya akan banyak bertanya dan akan mengomel sepanjang hari, apalagi jika tau Karina berhenti dari Kuliahnya.
"Assalamualaikum." Karina mengetuk pintu kamar, ibu pemilik kost.
"Waalaikumsalam, ada apa Karin, masih pagi udah rapi mau kemana?" tanya Bu Ima, sang pemilik kost.
"Anu Bu, ini saya mau nyerahin kunci kamar," tutur Karina, sambil menyerahkan Kunci kamarnya, dahi Bu Ima mengernyit.
"Loh kok dikasih ke saya, memangnya kamu mau kemana?" tanya Bu Ima, dia lalu mendorong kembali tangan Karina, dan tidak mau menerima kunci kamar Karina.
"Iya Bu, saya mau pulang kampung dulu," ujar Karina.
"Kuncinya pegang aja, kalo mau pulang dulu gak papa."
"Takutnya saya lama di kampung Bu, soalnya mau istirahat dulu di rumah."
"Kamu ada masalah apa gimana, kok mendadak banget, apa kamar kosnya udah jelek, nanti biar saya renovasi lagi, biar kamu nyaman," ucap Bu Ima panjang lebar.
"Nggak Bu, saya nggak ada masalah sama siapapun, saya juga nyaman kok tinggal di sini, saya lagi kangen aja sama suasana rumah, jadi pengen pulang ke rumah orang tua saya dulu, pengen istirahat," jelas Karina.
"Saya perhatikan kamu belakangan ini kayak orang lagi kurang sehat, apa kamu lagi sakit, tapi maaf maaf ya bukannya Ibu mau nuduh, kok Ibu ngeliat kamu kayak orang lagi hamil ya Karin," ucap Bu Ima, sontak saja Karina kaget, dia gelagapan mendengar penuturan Bu Ima, kenapa tebakan Bu Ima sangat tepat.
"Saya pamit ya Bu, maaf nggak bisa lama-lama ngobrolnya, ini kuncinya." Karina meletakkan kunci ke genggaman tangan Bu Ima, lalu pergi demi menghindari pertanyaan Bu Ima.
'Kok tebakan Bu Ima, bisa pas banget ya, gimana nanti kalau ketemu sama Mamah, pasti Mamah juga bisa nebak, secara Mamahkan udah pengalaman, duh gimana ini, dilema banget jadi aku,' batin Karina.
Karina mengemasi barang-barangnya, dia memasukkan bajunya ke dalam koper, hatinya masih sangat sakit jika mengingat tentang Dehan, bagaimana mungkin orang yang sangat dia cintai bisa melukainya sedalam ini.
Semua kenangan yang menyangkut nama Dehan dia bahwa bersama dirinya, setiap barang pemberian dari Dehan dia masukkan ke dalam koper.
"Biarlah kusimpan semua kenangan ini sendiri, cintamu mengalahkan rasa sakit yang kamu berikan, sejauh apapun kamu pergi kamu akan tetap ada dihatiku, aku pamit, terimakasih atas semua luka ini."
Begitulah isi pesan yang Karina kirim kepada Dehan, namun pesannya tidak dibalas, jangankan dibalas, dibaca pun tidak, padahal Dehan sedang online.
Dengan langkah gontai, Karina meninggalkan kostan, tempat yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan cintanya dengan Dehan, suka duka telah dia lalui bersama, namun nyatanya cintanya harus kandas di tengah jalan.
Dengan langkah gontai, Karina berjalan meninggalkan kostan, tempat yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan cintanya dengan Dehan, suka duka telah dia lalui bersama, niat hati ingin bersanding di pelaminan, namun nyatanya cintanya harus kandas di tengah jalan."Karina," panggil Tia."Tia," seru Karina."Mau kemana kamu?""Aku mau pulang kampung.""Jangan lupa oleh-olehnya ya," ucap Tia, sambil cengengesan."Kayaknya kita nggak bakalan ketemu lagi deh," ujar Karina dengan sedih."Loh kenapa? Emang kamu nggak mau balik lagi? Nanti kuliah kamu gimana? Kerjaan kamu gimana? Sayang loh kalau di tinggal gitu aja." Tia terus melontarkan berbagai pertanyaan kepada Karina."Itu ojol pesananku udah dateng, aku pamit ya, jaga diri baik-baik." Karina lalu memeluk Tia, sebagai tanda perpisahan."Hati-hati
"Anam aku duluan ya, makasih udah mau nganterin," ucap Karina, sambil berpamitan dengan Anam."Hati-hati di jalan, titip ya Lik, anterin nyampe depan rumahnya dengan selamat," tutur Anam, seraya melambaikan tangannyaGapura kampung Pondok Wungu sudah di depan mata, dengan hati berdebar Karina berharap semuanya akan baik-baik saja."Rumahnya yang mana nduk?" tanya Parjo."Dari perempatan belok kiri, nanti ada rumah yang ada gapura kecil," jelas Karina.Meskipun sudah lama dia meninggalkan kota kelahirannya, namun Karina masih ingat betul letak rumahnya, yang tidak jauh dari perempatan jalan.Sepanja
"Mamah apa kabar?" tanya Karina, sambil sedikit membungkuk, saat hendak menggapai tangan Mutmainah, untuk menyalaminya, belum juga tangan Karina bersentuhan, namun segera di tepis dengan kasar oleh Mamah tirinya."Karin," seru seorang lelaki, suara baritonnya terdengar tidak asing di telinga Karina.Saat menoleh betapa senangnya Karina, dilihatnya lelaki yang selama 10 tahun ini jauh dari pandangannya, sosok yang sangat Karina rindukan."Ayah," teriak Karina, sambil berlari memeluk sang ayah."Ayah apa kabar? Karina kangen banget sama ayah, Ayah kenapa nggak pernah nengokin Karina?" Karina memberondong beberapa pertanyaan kepada Pak Diki."Maafin Ayah belum sempat nengokin kamu, soalnya udah beberapa tahun ini ayah merantau di Palembang, ini aja Ayah di kampung baru dua bulan doang," jelas Pak Diki."Tapi itu alasan yang nggak masuk akal Yah, 10 tahun waktu y
"Jangan larang Karina buat pulang ke sini, dan satu lagi, jangan pernah kamu bersikap kasar pada Anakku, kalau kamu nggak suka mending kamu aja sana yang pergi!" Hardik Pak Diki"Berani sekali kamu mengusirku Mas, tidak ingatkah kamu selama ini aku yang menemanimu dikala kamu susah, hingga sukses seperti sekarang ini, kenapa hanya karena anak itu kamu berani membentakku," balas Mutmainah, tak kalah sengit dari suaminya, dia kemudian berdiri sambil berkacak pinggang."Awas kamu Karina, lihat saja nanti, kamu pasti akan menerima balasan, karena telah mengganggu ketenangan dalam rumah tanggaku." Mutmainnah membatin dalam hati, sambil meremas ujung bajunya, kemudian dia pergi masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu, karena suaminya tidak menggubris ucapannya."Nek, kenapa d
Malam ini ada acara keluarga di rumah Darman, semua keluarga di undang dan wajib datang, begitu pula dengan Karina.Darman adalah anak pertama Bu Atiah, yang tinggal di Cikerang, jarak tempuh ke rumah Darman cukup memakan waktu tiga jam, karena Darman tinggal di kota, berbeda dengan Bu Atiah yang masih tinggal di perkampungan.Darman memiliki usaha tekstil yang cukup maju, tak salah jika namanya terkenal dimana-mana."Pakai baju apa Nek, Karin bingung," ucap Karina, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Yang ada aja, kalau nggak cari aja di lemari Bibi kamu, badan kamu kan seukuran sama dia," titah Bu Atiah, yang sedang mengiris bawang di atas talenan."Iya deh, nanti Karina coba cari, moga aja ada yang pas."Karina kemudian berjalan menuju kamar Bibinya, dia membuka lemari pakaian, dan terlihat susunan baju yang tersusun rapi, bahkan ada sebagian yang digantung.
Setelah acara pertunangan Zakia selesai, mereka melanjutkan acara makan malam bersama, semua keluarga berkumpul di meja makan, untuk menikmati hidangan yang telah disediakan."Ayo silahkan di nikmati makanannya," ujar Bude Sifa, kepada semua anggota keluarga yang telah berkumpul."Wah … ada gudeg nangka kesukaan Bapak nih," seru Pak Asmadi, sambil menarik kursi untuk duduk."Kakek mau gudegnya, biar Zakia ambilin," sambut Zakia, dia kemudian mengambil piring untuk Kakeknya."Nenek juga mau Kia," tutur Bu Atiah."Nenek kan punya kolesterol, jadi nggak boleh makan makanan yang mengandung santan, jadi Nenek makan yang lain aja ya, kan banyak pilihannya," sahut Zakia, dia tidak ingin kolesterol Neneknya naik."Nasib, udah tua banyak banget pantangannya," ujar Bu Atiah gigit jari."Karin, ayo duduk, ingat jangan pulang kalo belum makan,
"Aku harus mencari cara, untuk menjauhkan Mas Diki dengan, Karina," batin Mutmainah dalam hati."Itu siapa Mbak Sifa, cantik banget?" tanya salah satu tamu, dari keluarga calon besan Bude Sifa"Itu keponakan saya, anaknya Diki," jawab Bude Sifa."Oh keponakan, anak Diki yang tinggal di Pondok Wungu ya, tapi kok saya baru liat.""Dia nggak tinggal di sini, soalnya dia kuliah di Bogor, kebetulan sekarang lagi liburan di sini.""Calon mantu idaman ini, udah mah cantik, berpendidikan juga."Acara pertunangan Zakia telah selesai, keluarga calon besan juga telah pulang, kini tinggal Pak Asmadi dan
"Karina." Pak Diki terperanjat mendengar teriakan Karina, dia langsung berlari menuju saklar dan menghidupkan lampu, Pak Diki terkejut saat melihat Karina sudah tergeletak di lantai.Matahari sudah menampakkan sinarnya, kokok ayam saling bersahutan, namun Karina masih belum sadar dari pingsannya.Kepala Karina terasa berat, perlahan dia membuka matanya, Karina bingung karena banyak orang di dalam kamarnya."Ayah, apa yang terjadi, kenapa di sini jadi ramai?" tanya Karina, kepada Ayahnya yang sedang berdiri di daun pintu, namun tatapan wajahnya sangat sulit diartikan."Jangan dulu banyak bergerak Cah Ayu," ucap seorang Nenek, yang duduk di samping Karina, dia adalah dukun beranak, orang di desa biasa memanggilnya Paraji."Mbok Nah, jelaskan lagi di depan kami semua, agar anak pembawa sial ini juga sadar dengan kesalahan yang telah dia buat!" sungut Mutmainah dengan penuh emosi, sa