Mobil Satria semakin menjauh, Karina masuk ke dalam kosan, dan betapa terkejutnya dia saat membuka pintu, ternyata sudah ada seseorang yang sedang menunggunya di dalam kamar.
"Kapan kamu datang, apa kamu udah lama nunggu aku disini?" tanya Karina, yang tampak gugup.
"Sudahlah Karin, tidak perlu berpura-pura lagi, aku sudah mengetahui semuanya, betapa liciknya kamu, siapa laki-laki itu, beraninya kau berhubungan dengan orang lain di belakangku," cecar Dehan.
"Siapa laki-laki yang kamu maksud, dia itu orang yang nolongin aku di jalan, jangankan punya hubungan, kenal aja aku nggak," jelas Karina.
"Basi," cetus Dehan.
"Dengarkan dulu penjelasanku," tukas Karina.
"Apa lagi yang mau kamu jelaskan, aku rasa semuanya sudah cukup jelas, dan aku tidak butuh penjelasan apapun dari wanita murahan sepertimu," cibir Dehan.
"Kenapa dengan begitu mudahnya kamu meragukan kepercayaanku, apa kamu sedang mencari alasan, untuk lari dari masalah ini?" tanya Karina, air mata mulai mengembun di pelupuk matanya.
"Tidak perlu kamu pakai air mata buayamu, aku sudah tidak akan termakan oleh tipuanmu, wanita ular," sungut Dehan.
"Aku benar-benar tidak punya hubungan apapun dengan lelaki tadi, aku tidak kenal siapa lelaki itu. dia cuma orang yang." Belum sempat Karina menyelesaikan perkataannya, Dehan telah lebih dulu memotongnya.
"Sudahlah tidak perlu banyak alasan," potong Dehan. "Mulai sekarang kita tidak ada hubungan apa-apa lagi, kita putus," sambung Dehan.
"Kamu bercandakan, katakan padaku bahwa kamu tidak serius mengatakan hal ini," ucap Karina penuh harap.
"Aku tidak pernah main-main dengan perkataanku," jawab Dehan.
"Lalu bagaimana dengan nasib anak yang sedang aku kandung?" tanya Karina, berharap Dehan akan sadar dengan ucapannya.
"Aku tidak peduli dengan anak ini, berikan saja pada lelaki tadi, bisa saja anak ini adalah hasil hubunganmu dengan pria lain, mungkin kamu sudah berhubungan badan dengan lelaki lain di luaran sana, bukan dengan aku saja kamu berbuat, jadi untuk apa aku mempertahankan hubungan yang tidak sehat ini," ujar Dehan.
"Jelek sekali pikiranmu, aku tidak pernah melakukan hubungan dengan siapapun kecuali dengan mu, percayalah, anak yang sedang aku kandung adalah darah dagingmu," tutur Karina, dengan nada memohon, namun Dehan tetap cuek.
"Masa bodo, persetan dengan anak yang ada di rahimmu!" hardik Dehan.
"Kamu egois, Dehan, kamu tidak bisa seenaknya membuang aku begitu saja." tangis Karina pecah, dia sudah tidak bisa membendung lagi amarahnya, dan menumpahkannya melalui tangisan.
"Jangan pernah cari aku lagi, di dalam kartu ini ada sejumlah uang yang cukup besar nilainya, bisa kamu gunakan untuk biaya aborsi janin itu, dan maaf aku tidak akan pernah datang mengunjungimu lagi, mungkin ini kali terakhirnya kita bertemu, jaga dirimu baik-baik," ucap Dehan, seraya berjalan meninggalkan Karina.
"Kamu akan menyesal, karena telah membuangku dan anak ini, aku sumpahin jika kamu menikah nanti, kamu tidak akan pernah memiliki keturunan, istrimu tidak akan pernah bisa hamil, kamu akan menuai karmamu sendiri, karena telah menyia-nyiakan darah dagingmu sendiri!" teriak Karina, "aku berharap di kehidupan yang akan datang aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan orang angkuh sepertimu," sambung Karina.
Dehan tetap berjalan lurus kedepan, dia tidak menggubris teriakan Karina, sedangkan Karina masih terisak, melihat kepergian Dehan, yang mulai menjauh dari pandangannya.
Tubuh Karina luruh ke lantai, badannya tidak kuat menopang semua masalah yang sedang dia hadapi, dadanya terasa sesak menahan tangis yang dari tadi coba dia tahan, malam mulai menjelang, namun Karina masih diam membisu di tempatnya menangis, dia sibuk bergelut dengan lamunannya.
Tok.. tok.. tok..
Terdengar suara ketukan dari luar, Karina langsung berdiri dan membuka pintu, saat dibuka ternyata Tia yang bertamu, teman yang ngekost bareng Karina dulu.
"Apa kabar Karin, eh … Kamu lagi sakit bukan?" tanya Tia, dia merasa khawatir melihat keadaan Karina, wajahnya pucat, dengan mata yang sembab, karena seharian menangis.
"Aku nggak apa-apa Tia, mungkin lagi kurang sehat aja badannya, makanya kelihatan pucat," balas Karina.
"Syukur deh kalau gitu, aku khawatir aja, soalnya udah beberapa hari ini aku jarang ngeliat kamu, takutnya kamu lagi sakit, terus itu mata kamu kenapa kok bengkak begitu, kayak abis nangis," tutur Tia.
"Panjang ceritanya, nggak enak ngobrol di depan pintu, ayo masuk aja ke dalam," ajak Karina.
Karina membuka kulkas mini, yang terletak di dalam kamar, dan mengeluarkan dua buah minuman kaleng, sedangkan Tia duduk di sofa yang hanya muat untuk dua orang, sambil menunggu Karina menyiapkan camilan.
"Ini diminum dulu, maaf ya nggak bisa nyuguhin apa-apa, soalnya adanya ini doang," ucap Karina, merasa tidak enak hati karena tidak bisa menjamu temannya.
"Nyantai aja sih, kayak sama siapa aja," jawab Tia. "Tadi sore aku dengar suara ribut-ribut dari kamar kamu, apa kamu lagi ada masalah sama Dehan?" Tanyanya lagi.
Bukannya menjawab Karina malah menangis tersedu, Tia yang melihat Karina menangis langsung memeluknya,dan mencoba menenangkan sahabatnya.
"Kalau ada masalah cerita aja, jangan dipendam, siapa tahu aku bisa bantu," ujar Tia, sambil mengelus pundak Karina.
"Entahlah aku bingung harus cerita dari mana dulu, masalah yang ku alami cukup rumit, tidak mungkin ada orang yang akan mengerti," jelas Karina, sambil mengusap air matanya.
"Mulai dari mana aja, yang menurutmu enak dan pas buat di ceritain," ucap Tia.
"Aku belum siap buat cerita," ungkap Karina, sambil tertunduk, rambutnya tergerai hampir menutupi sebagian wajahnya.
"Gak papa, tenangin diri kamu dulu, kalo sekiranya udah siap buat cerita, cari aku, aku bakalan jadi pendengar yang baik buat dengerin keluh kesah kamu."
"Iya."
"Kamu sekarang gemukan ya," cetus Tia.
"Maaf ya bukannya ngusir, tapi aku mau istirahat, badan aku terasa sakit banget, kayak masuk angin," elak Karina mencoba menghindari pertanyaan Tia.
"Mau aku kerokin nggak?" tanya Tia, menawarkan bantuan.
"Nggak … Nggak usah, aku nggak biasa dikerok, nanti juga sembuh sendiri kalau udah minum obat," imbuh Karina, mencoba mencari alasan.
"Bukannya dulu kamu sering minta kerokin sama aku," imbuh Tia, yang merasa heran melihat tingkah Karina.
"Iya itu mah dulu pas badan aku masih," ucapan Karina terhenti, hampir saja dia keceplosan.
"Masih apa? Memangnya badan kamu kenapa nggak mau di kerokin?" Tanya Tia semakin penasaran.
"Udah dulu ya, kapan kapan lagi kita sambung ceritanya, kepalaku kerasa pusing aku mau istirahat."
"Kamu yakin nggak kenapa-napa?"
"Iya, aku cuma butuh istirahat doang."
"Ya udah, aku pamit ke kamarku dulu, maaf ya udah ganggu waktu kamu, kalau butuh apa-apa panggil aku aja ya." Tia berpamitan pada Karina.
Selepas kepergian Tia, Karina kembali berbaring di atas kasurnya, dia kembali merenung, memikirkan bagaimana nasibnya, dan nasib anak yang sedang dikandungnya.
Selepas kepergian Tia, Karina kembali berbaring di atas kasurnya, dia kembali merenung, memikirkan bagaimana nasibnya, dan nasih anak yang sedang dikandungnya.Minggu demi Minggu berlalu, usia kehamilan Karina sudah menginjak 4 bulan, lama kelamaan perut Karina mulai kelihatan mulai membentuk, ibu kost, dan teman kost, yang tinggal satu rumah dengan Karina, mulai membicarakan kelakuan aneh Karina, mereka sudah mulai curiga padanya, ditambah saat Karina, mulai menutup dirinya dari lingkungan kost, Karina lebih sibuk menyendiri dan diam di dalam kamar."Itu si Karin kaya orang lagi hamil ya, badannya melar, buah dadanya juga keliatan beda," cibir Aleta, salah satu penghuni kost di sana."Jangan asal ngomong kamu, nanti timbulnya fitnah loh," cetus Ica."Aku ini nggak asal ngomong, kalian pernah liat gak sih, kalo Karina pake baju ketat, ketara banget perutnya, kalau lemak kan bentuknya ngelipet, kalo d
Dengan langkah gontai, Karina berjalan meninggalkan kostan, tempat yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan cintanya dengan Dehan, suka duka telah dia lalui bersama, niat hati ingin bersanding di pelaminan, namun nyatanya cintanya harus kandas di tengah jalan."Karina," panggil Tia."Tia," seru Karina."Mau kemana kamu?""Aku mau pulang kampung.""Jangan lupa oleh-olehnya ya," ucap Tia, sambil cengengesan."Kayaknya kita nggak bakalan ketemu lagi deh," ujar Karina dengan sedih."Loh kenapa? Emang kamu nggak mau balik lagi? Nanti kuliah kamu gimana? Kerjaan kamu gimana? Sayang loh kalau di tinggal gitu aja." Tia terus melontarkan berbagai pertanyaan kepada Karina."Itu ojol pesananku udah dateng, aku pamit ya, jaga diri baik-baik." Karina lalu memeluk Tia, sebagai tanda perpisahan."Hati-hati
"Anam aku duluan ya, makasih udah mau nganterin," ucap Karina, sambil berpamitan dengan Anam."Hati-hati di jalan, titip ya Lik, anterin nyampe depan rumahnya dengan selamat," tutur Anam, seraya melambaikan tangannyaGapura kampung Pondok Wungu sudah di depan mata, dengan hati berdebar Karina berharap semuanya akan baik-baik saja."Rumahnya yang mana nduk?" tanya Parjo."Dari perempatan belok kiri, nanti ada rumah yang ada gapura kecil," jelas Karina.Meskipun sudah lama dia meninggalkan kota kelahirannya, namun Karina masih ingat betul letak rumahnya, yang tidak jauh dari perempatan jalan.Sepanja
"Mamah apa kabar?" tanya Karina, sambil sedikit membungkuk, saat hendak menggapai tangan Mutmainah, untuk menyalaminya, belum juga tangan Karina bersentuhan, namun segera di tepis dengan kasar oleh Mamah tirinya."Karin," seru seorang lelaki, suara baritonnya terdengar tidak asing di telinga Karina.Saat menoleh betapa senangnya Karina, dilihatnya lelaki yang selama 10 tahun ini jauh dari pandangannya, sosok yang sangat Karina rindukan."Ayah," teriak Karina, sambil berlari memeluk sang ayah."Ayah apa kabar? Karina kangen banget sama ayah, Ayah kenapa nggak pernah nengokin Karina?" Karina memberondong beberapa pertanyaan kepada Pak Diki."Maafin Ayah belum sempat nengokin kamu, soalnya udah beberapa tahun ini ayah merantau di Palembang, ini aja Ayah di kampung baru dua bulan doang," jelas Pak Diki."Tapi itu alasan yang nggak masuk akal Yah, 10 tahun waktu y
"Jangan larang Karina buat pulang ke sini, dan satu lagi, jangan pernah kamu bersikap kasar pada Anakku, kalau kamu nggak suka mending kamu aja sana yang pergi!" Hardik Pak Diki"Berani sekali kamu mengusirku Mas, tidak ingatkah kamu selama ini aku yang menemanimu dikala kamu susah, hingga sukses seperti sekarang ini, kenapa hanya karena anak itu kamu berani membentakku," balas Mutmainah, tak kalah sengit dari suaminya, dia kemudian berdiri sambil berkacak pinggang."Awas kamu Karina, lihat saja nanti, kamu pasti akan menerima balasan, karena telah mengganggu ketenangan dalam rumah tanggaku." Mutmainnah membatin dalam hati, sambil meremas ujung bajunya, kemudian dia pergi masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu, karena suaminya tidak menggubris ucapannya."Nek, kenapa d
Malam ini ada acara keluarga di rumah Darman, semua keluarga di undang dan wajib datang, begitu pula dengan Karina.Darman adalah anak pertama Bu Atiah, yang tinggal di Cikerang, jarak tempuh ke rumah Darman cukup memakan waktu tiga jam, karena Darman tinggal di kota, berbeda dengan Bu Atiah yang masih tinggal di perkampungan.Darman memiliki usaha tekstil yang cukup maju, tak salah jika namanya terkenal dimana-mana."Pakai baju apa Nek, Karin bingung," ucap Karina, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Yang ada aja, kalau nggak cari aja di lemari Bibi kamu, badan kamu kan seukuran sama dia," titah Bu Atiah, yang sedang mengiris bawang di atas talenan."Iya deh, nanti Karina coba cari, moga aja ada yang pas."Karina kemudian berjalan menuju kamar Bibinya, dia membuka lemari pakaian, dan terlihat susunan baju yang tersusun rapi, bahkan ada sebagian yang digantung.
Setelah acara pertunangan Zakia selesai, mereka melanjutkan acara makan malam bersama, semua keluarga berkumpul di meja makan, untuk menikmati hidangan yang telah disediakan."Ayo silahkan di nikmati makanannya," ujar Bude Sifa, kepada semua anggota keluarga yang telah berkumpul."Wah … ada gudeg nangka kesukaan Bapak nih," seru Pak Asmadi, sambil menarik kursi untuk duduk."Kakek mau gudegnya, biar Zakia ambilin," sambut Zakia, dia kemudian mengambil piring untuk Kakeknya."Nenek juga mau Kia," tutur Bu Atiah."Nenek kan punya kolesterol, jadi nggak boleh makan makanan yang mengandung santan, jadi Nenek makan yang lain aja ya, kan banyak pilihannya," sahut Zakia, dia tidak ingin kolesterol Neneknya naik."Nasib, udah tua banyak banget pantangannya," ujar Bu Atiah gigit jari."Karin, ayo duduk, ingat jangan pulang kalo belum makan,
"Aku harus mencari cara, untuk menjauhkan Mas Diki dengan, Karina," batin Mutmainah dalam hati."Itu siapa Mbak Sifa, cantik banget?" tanya salah satu tamu, dari keluarga calon besan Bude Sifa"Itu keponakan saya, anaknya Diki," jawab Bude Sifa."Oh keponakan, anak Diki yang tinggal di Pondok Wungu ya, tapi kok saya baru liat.""Dia nggak tinggal di sini, soalnya dia kuliah di Bogor, kebetulan sekarang lagi liburan di sini.""Calon mantu idaman ini, udah mah cantik, berpendidikan juga."Acara pertunangan Zakia telah selesai, keluarga calon besan juga telah pulang, kini tinggal Pak Asmadi dan