"Woi! Ngelamun aja kerjaan lu!" Lena menepuk bahuku yang terasa sakit.
Dia duduk di sampingku yang masih merenung. "Len, kamu tahu gak, soal cinta?" tanyaku dengan pandangan lurus ke depan.
"Ya gak tahulah, orang belum pernah pacaran, gimana sih lu!" jawabnya.
"Aku mau minta pendapat dari kamu, kalau misalkan kita membuat sebuah kesalahan besar sama orang lain, apa dia bisa memaafkan kita kalau secara langsung kita minta maaf sama orang itu?" tanyaku lagi.
"Lah, mana ku tahu. Tapi, kayaknya sih dia bakal maafin aja, apalagi kalau lu sambil bawa makanan pas minta maafnya hehehe...." jawabnya setengah bercanda.
"Ah, kamu ini!" ujarku kesal karena Lena malah menanggapinya dengan bercanda.
"Dahlah, mending kita jajan ke kantin dari pada ngelamun, nanti kesambet baru tahu rasa, yuk ah buruan!" ajak Lena sambil menarik tanganku yang pasrah saja mengikutinya.
Saat berjalan menuju kantin, aku berpapasan dengan Riko. Dia melirik sekilas ke arahku tanpa sepatah katapun. Biasanya Riko tak habis bicara ketika bertemu denganku. Apa ada hal yang sudah dia ketahui tentang aku dan Pak Devan?
"Kenapa tuh pacar lu?" tanya Lena padaku.
"Gak tau!" jawabku singkat seakan tak peduli, padahal aku merasa tak enak hati.
"Biasanya kalian suka pergi bareng, sampai-sampai anak jurusan hukum musuhin lu, gara-gara lo jadi girlfriendnya cowok terpopuler di kampus." Kata Lena yang aku abaikan saja.
Sesampainya di kantin aku hanya melamun sambil membolak balikkan mie instan yang sudah mulai dingin.
"Kayaknya lagi ada yang galau nih, hahaha... cewek kampung sok polos ternyata seorang simpanan!" sindir Erista, anak jurusan hukum yang kerap kali memusuhiku.
"Iyalah, gimana gak galau coba, cowoknya malas ladeni cewek kampungan kayak dia yang ternyata seorang pelakor" jawab Siska temannya.
"Asal kalian tahu ya, kemarin Riko ajakkin gue ke butik mewah loh, dia juga beliin gue tas cantik, kalian tahu gak sih harganya berapaan?" kata Erista pada teman-temannya.
"Masa sih Ta? Keren banget sih lo bisa jalan bareng sama pangeran tampan, harga tasnya berapaan sih?" tanya temannya.
"Ya lima puluh jetilah, secara dong, gue kan cewek populer, jadi Riko pantesnya bergandeng sama cewek populer dan kaya macam gue!" balas Erista sambil melihat ke arahku.
Aku tak peduli, aku diam saja lalu membayar mie instan yang tidak sempat aku makan. Menarik tangan Lena yang amarahnya mulai naik saat mendengar ucapan mereka.
"Mau kemana lo? Merasa tersindir, sama omongan gue?" Erista menghalangi jalanku bersama Lena.
Dengan santai aku menjawab. "Siapa yang merasa tersindir?" tanyaku balik.
"Ya elu lah, siapa lagi!" jawabnya ketus.
"Ada cewek terpopuler, kaya dan cantik, tapi merasa saingan sama cewek kampung simpanan. Kira-kira, dia merasa tersaing atau lagi sindir dirinya sendiri gak sih Len?" jawabku menyindirnya balik.
Erista naik vitam. Dia menarik kerah bajuku. "Dasar pelakor! Berani-beraninya lo bicara kayak gitu sama gue, liat aja ya, siapa yang akan di pilih Riko antara gue sama lo nantinya, dan yang pasti Riko gak akan pernah milih lo!" ujarnya lalu kembali melepas kasar kerah bajuku.
Seketika keributan kami menjadi pusat perhatian semua orang. Mereka berkerumun memperhatikan kami.
"Woi! lo jangan berani kasar dong sama temen gue!" Lena mendorong tubuh Erista. Dengan sengaja dia menjatuhkan diri saat Pak Devan datang.
"Ada keributan apa ini?" tanya Pak Devan melirik ke arahku yang melihatnya sekilas.
"Ini pak, Si Ardila dorong aku sampai aku jatuh!" jawab Erista sengaja memfitnahku.
"Iya, Pak, lagian cuma gara-gara Erista nanya doang, dia emosi banget jawabnya sambil dorong-dorong segala lagi!" sambung Siska sejalan dengan Erista.
"Itu boh..." Lena sempat menjawab tapi Siska memotong ucapannya.
"Diam lo!" ujar Siska dengan mata melotot ke arah aku dan Lena.
Setelah mempertimbangkan, Pak Devan menyuruhku mengikutinya ke ruangan. "Ardila, ikut saya ke ruangan!" katanya sambil berjalan pergi di ikuti aku di belakangnya.
"Huuhhhh!" suara sorak anak-anak kampus menyoraki aku yang baru saja lewat di hadapan mereka.
Sesampainya di ruangan Pak Devan aku langsung duduk di kursi bersebrangan dengan Pak Devan yang duduk di hadapanku.
"Apa yang sebenarnya terjadi, coba jelaskan sama saya." Pinta Pak Devan.
Aku tidak ingin melihat ke arahnya. Aku menaruh tanganku di meja yang masih gemetaran. Penyakit cemasku timbul karena aku merasa terancam tadi. Entah kenapa, tiba-tiba saja Pak Devan memegang tanganku. Mungkin dia menyadari sikapku yang terlihat aneh.
"Tenangkan diri kamu dulu, minumlah!" ucapnya, melepas tanganku lalu menyodorkan satu gelas air yang masih tertutup.
Karena masih cemas aku menggeleng. Rasanya tak bisa berkata apa-apa lagi karena hatiku sedang dongkol atas tuduhan pelakor yang di sematkan padaku. Aku tak habis pikir, siapa yang menyebarkan berita itu sampai mereka yang memusuhiku mengetahui hal itu.
"Ar, minumlah!" perintahnya lembut, dia melepas kacamatanya.
"Saya tidak haus!" jawabku singkat tegas jelas.
"Saya gak minta kamu minum karena kamu haus, saya minta kamu minum untuk meringankan kecemasan kamu. Saya tahu kamu sedang cemas akibat gosip yang sudah beredar." Jelasnya terlihat santai begitu saja.
Sedangkan aku sebagai korban hanya bisa memendam kesal serta rasa sakit karena ulahnya. Aku memandangnya tajam. Rasanya tak ingin berlama-lama lagi berada dalam satu ruangan bersama orang yang sudah menghancurkan masa depanku.
"Ada apa? Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" tanya dia lagi, ingin rasanya aku melepas sandalku lalu melempar ke arahnya.
"Saya di cap sebagai pelakor dan itu terjadi karena anda, Pak Devan. Tapi dengan santainya anda bicara seperti itu? Anda pikir ini masalah ringan? Bagi saya ini masalah yang sangat berat!" jelasku masih memendam kekesalan.
"Terus saya harus bagaimana? Menurut kamu saya harus bagaimana? tadi saya sudah coba menyelamatkan kamu dengan cara membawa kamu kesini. Lalu, harus bagaimana lagi?" tanya dia semakin membuat aku merasa muak.
"Ya sudah kalau begitu saya pergi!" ucapku tak tahan lagi melihatnya. Tapi Pak Devan menahan tanganku.
"Jangan pergi dulu, duduk dulu sebentar, tenangkan diri kamu dulu!" ucapnya.
Aku hampir saja berontak melepas tangannya. Tapi sebuah pesan yang masuk di ponselku, membuatku urung. Lalu segera membaca pesan di grup.
Terlihat foto seksiku bersama seorang laki-laki yang wajahnya tertutup stiker sudah beredar di grup pesan. Pak Devan juga membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Kami saling berlirikkan.
"Siapa sebenarnya yang sudah menyebarkan foto ini?" tanyanya.
*********
Sepulang kuliah aku langsung pulang ke rumah. Ku lihat ibu tengah memasak makanan pesanan tetangga yang akan mengadakan syukuran. Selain menjadi buruh serabutan, dia juga mengadakan open catering makanan.
Maklum saja, ibu seorang janda yang ditinggal meninggal oleh bapak saat kami masih kecil. Setelah terjadi sebuah tragedi di antara aku dan Pak Devan kami memutuskan untuk pindah ke kota, menumpang hidup di rumah Kak Lita.
"Ar, tolong bantuin ibu bungkus makanannya dong, ibu mau ke pasar sebentar, ada yang harus ibu beli." Suruh ibu padaku.
"Iya Bu," ucapku sambil duduk di atas lantai bersiap membantunya.
"Ibu ngapain masih buka catering segala, kan Lita udah kasih ibu uang kemarin, emangnya uang yang Lita kasih masih kurang ya?" tanya Kak Lita saat ibu berpapasan dengannya.
"Enggak Lit, ibu buka catering kan buat bantu-bantu biaya kuliahnya Ardila. Biaya kuliahnya kan gak cukup uang sedikit. Udah, kamu bantu adik kamu bungkus makanan gih!" kata Ibu sambil pergi.
Kak Lita melirik ke arahku dengan sinis. "Kenapa lu liat gue kayak gitu?" tanya Kak Lita. "Awas ya kalau sampai lu kasih tahu ibu yang sebenarnya, gue gak akan segan-segan usir lu dari rumah ini!" ujarnya lalu pergi ke kamar mandi.
"Apa maksud kamu bawa aku ke tempat ini?" tanyaku sinis pada Riko. Dia tertawa. "Loh, memangnya kenapa Ar? Villa ini tempat yang menenangkan. Bagi aku Villa ini adalah tempat yang bisa membuat suasana hati aku menjadi lebih tenang, rileks, pokoknya nanti kamu akan tahu sendiri apa tujuan aku sebenarnya bawa kamu ke tempat ini. Yuk, kita masuk!" kata Riko, dia menarik tanganku tanpa ragu. "Tunggu dulu Riko!" cegahku lagi yang membuatnya berhenti melangkah. "Apalagi sayang? Jangan grogi gitu dong, aku gak bermaksud apa-apa kok, aku cuma mau minta bantuan sama kamu." Bujuk Riko. Akhirnya hatiku luluh juga. Aku menurut, mulai memasuki villa itu mengikuti Riko yang tak lepas memegang tanganku. Tiba-tiba saja Riko mendorong tubuhku memasuki sebuah kamar. Dia menutup pintu dan menguncinya. "Riko! Apa-apaan ini?! Kenapa kamu tutup pintunya?!" teriakku dengan ketakutan. Laki-laki itu hanya terdiam dalam emosi yang menggebu. Tatapannya seperti singa yang siap melahap mangsa. "Apa selama
Aku menatap ke arah ibu yang masih memandangku dengan wajah pucatnya. Lalu dia melirik ke arah Pak Devan yang duduk di belakangku. "Ar... Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini? Menikah secara siri itu tidak adil untuk seorang wanita. Dan ibu ingin memperingatkanmu, wanita akan sangat rugi jika menikah secara siri." Ucapnya lembut. Aku termenung mencoba mempertimbangkan setiap ucapan ibu. Aku rasa semua ucapan itu memang benar. Wanita hanya akan merugi jika menikah secara siri atau menikah secara agama. Tapi, disisi lain aku tidak ingin hubunganku dengan Pak Devan terombang ambing begitu saja. Dan lagi, kami sudah melakukan sebuah kesalahan besar. "Ar... Kamu dengar ucapan ibu 'kan?" tanya ibu menyadarkan lamunanku. "Eu... iya bu, Ardilla mendengar semuanya. Kalau boleh Ardilla tanya sama ibu, apa ibu merestui hubungan kita, kalau kita berniat ingin menikah?" tanyaku ragu tapi aku ucapkan begitu saja. Terlihat ibu masih begitu gelisah. Dari raut wajahnya dia masih belum ikhlas mel
Dia terkekeh melihat sikapku yang gelagapan juga kesal mendapat perlakuan barusan. Riko memang jahil. Sengaja dia mengerjaiku. Setelah selesai mengganti baju dia menghadangku kembali. "Mau kemana lagi?" Riko kembali menahanku yang hendak pergi. "Aku harus kerja, aku bukan bos yang enak-enak bersantai ria!" jawabku kesal. "Malam ini anggap saja kamu itu seorang bos, aku udah pesan ramen pedas plus cake kesukaan kamu juga kopi hangat dan jus mangga. So, duduk lagi, dan tunggu dulu, sebentar lagi makanannya akan segera diantar." Katanya lagi, dia menggiring tubuhku kembali. "Tapi..." "Ardian itu sepupu aku, dan aku udah izin sama dia kalau kamu gak usah kerja lagi malam ini, lagipula jam kerja kamu cuma tinggal beberapa menit lagi 'kan?" sangkalnya memotong ucapanku. Karena tak ingin lelah berdebat dengannya. Aku memutuskan untuk pasrah saja. Menuruti apa yang dia katakan. Setelah salah satu temanku selesai menaruh semua pesanan di atas meja. Kami mulai menyantapnya. Aku jadi teri
"Nyaman juga tempatnya, enak, adem ya!" katanya sambil duduk di atas ranjangku. "Sekarang kita tetanggaan loh, aku ngekost disini juga," jelasnya yang membuat mataku terbelalak. "Ngekost disini juga?! Bukannya selama ini dia tinggal di apartemen?" ucap batinku. "Kenapa terkejut? Emangnya salah ya, kalau aku ngekost dekat kamu?" tanyanya. Aku tetap diam, menahan emosiku yang seakan ingin meledak. Ku rogoh ponselku dari dalam tas kecil. Lalu mengirimkan sebuah pesan singkat pada Pak Devan. "Aku boleh numpang tiduran disini ya?" tanya Clara. "Gak boleh!" jawabku tegas menatapnya sinis sambil melipat tangan. "Sombong banget sih, baru ngekost di tempat kayak gini aja udah sombong!" celetuknya sambil bangkit."Kostan kita sama, jadi bukan masalah sombong. Tapi, harus tahu adab ketika masuk ke dalam rumah orang lain. Seengaknya jika belum di izinkan masuk, jangan langsung masuk!" balasku lagi. Clara menatapku tajam. Dia seakan sedang mengibarkan bendera peperangan denganku. "Akan aku
Singkat cerita kami tidak pernah bertemu kembali. Aku memutuskan untuk pergi pindah kostan juga agar Pak Devan dan Riko tidak bisa menemuiku lagi. Aku juga sudah bekerja di salah satu restaurant memutuskan untuk berhenti kuliah yang aku anggap itu hanya akan menyusahkan ibu. "Ar, tolong kamu antar pesanan ini ke meja nomer 12!" Kata salah satu teman kerjaku. "Oke, Bang!" segera aku mengantar dua gelas kopi late pesanan itu ke arah yang di tuju. "Ini Mbak pesanannya, selamat menikmati," ucapku ramah padanya. Tapi baru saja aku hendak pergi, wanita berkacamata hitam itu menahan tanganku. "Kamu... Ardilla 'kan?" tanyanya. Aku mengernyitkan dahi, sambil mengangguk mencoba mengingat siapa wanita itu sebenarnya. Saat dia membuka kacamatanya barulah aku bisa mengenalinya. "Iya, saya Ardilla." Jawabku. "Siapa juga yang gak tahu sama kamu, jejak digital itu emang gak akan bisa terhapus. O, ya. Aku cuma mau kasih tahu aja sama kamu kalau semalam Riko ada di apartemen aku." Katanya seolah
Ternyata Pak Devan tidak langsung pulang. Dia tetap menunggu restaurant tutup agar bisa mengantarku pulang seperti yang dia katakan. Menunggu selama berjamjam tak lantas membuatnya bosan. Dia justru membantu aku dan karyawan lain melayani pelanggan dari meja satu ke meja lain. "Pak, bira saya saja, bapak sebaiknya istirahat." Ucapku sambil mengambil nampan di tangannya. "Gak apa-apa, saya sudah terbiasa bekerja seperti ini. Tolong kamu ambilkan handphone saya di dalam tas ya!" katanya sambil menyunggingkan senyuman. Aku menurut. Segera pergi menuju ruangan. Dengan ragu aku membuka tas kerja milik Pak Devan karena tidak terbiasa membuka tas orang sembarangan. Ku lihat dalam sebuah buku terdapat lukisan yang belum selesai. Saat aku mengambilnya. Ternyata itu adalah lukisan wajahku. Buku itu seperti buku diary. Terdapat banyak kata-kata yang di tulis beberapa tahun yang lalu. "Wanita ini akan menjadi milikku, namanya Ardilla Maharani, seorang perempuan yang sudah berhasil membuatku