Aku tidak mempedulikan ucapan Kak Lita. Sembari membungkus makanan catering aku membuka pesan yang baru masuk melalui ponselku.
— Ar, bisa ke resto sebentar gak? Ada yang mau aku bicarakan. Ini penting. —
Begitulah isi pesan darinya. Aku tak langsung menjawab. Karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan.
Setelah tiga puluh menit berlalu, barulah aku bangkit. Semua pekerjaan sudah selesai. Aku bergegas pergi, sambil berpamitan pada Kak Lita.
"Tolong bilang sama ibu, aku pergi ke rumah temen." Kataku pada Kak Lita yang asik memainkan handphonenya.
"Sama temen apa sama pacar?" tanyanya.
"Temen!" jawabku singkat sambil pergi.
**********
Sengaja aku memesan taxi online menuju restaurant Riko agar lebih cepat sampai ketimbang berjalan kaki meski jaraknya cukup dekat dengan rumah.
Langsung saja aku masuk ke restaurant itu menuju ruangan khusus karena Riko sudah menungguku disana. Baru saja hendak membuka pintu, sebuah suara perempuan terdengar.
"Aku harap kamu bisa membantu aku agar bisa mendapatkan hati Devan. Dengan begitu, anak yang di kandungku akan mendapatkan sosok Ayah." Kata perempuan itu.
"Lebih baik Mbak pergi dulu sekarang, aku lagi ada janji sama seseorang, kita bicarakan tentang itu nanti yang pastinya bukan disini." Jawab Riko, sepetinya dia tidak ingin aku mengetahui hal yang baru saja mereka bicarakan.
"Tapi kamu harus janji sama aku ya Riko, kamu harus bantu aku menemukan siapa perempuan yang sudah menjadi pacarnya Devan agar aku bisa bicara sama dia juga." Kata perempuan itu lagi yang seketika membuatku terkejut.
Karena tidak ingin ketahuan oleh mereka aku segera pergi keluar dari restauran. Bersembunyi di balik tembok karena ingin melihat wajah asli perempuan tadi. Tapi sialnya perempuan itu memakai masker serta kacamata hitam yang membuatku sulit menebak wajahnya.
"Siapa dia? Apa dia istri Pak Devan?" kataku bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Setelah mobil itu hilang dari pandanganku, suara panggilan dari ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya.
"Hallo?"
"Ar, kamu udah sampai?" tanya Riko.
"Eu...iya, aku udah sampai di restauran kamu, aku baru aja sampai." Jawabku, terpaksa berbohong.
"Oke, langsung masuk aja ke ruangan aku ya!" kata Riko lagi.
"Oke," jawabku. Lalu aku berjalan kembali memasuki restauran itu.
Saat aku membuka pintu, Riko sudah berdiri di hadapanku. Dia langsung memelukku.
"Ar, aku kangen banget sama kamu," ucapnya yang membuat aku merasa heran.
"Riko, kamu apa-apaan sih!" aku berusaha melepaskan pelukkannya. Tapi Riko tetap memelukku semakin eurat.
"Ar, maaf ya atas sikap aku di kampus tadi," ucapnya kini memandang ke arahku tanpa melepas pelukannya.
Karena tubuhnya yang tinggi aku mendongak memandangnya. "Tolong lepaskan aku dulu Riko, gak enak di lihat orang!" pintaku.
"Oh, oke," jawab Riko menurut lalu kami duduk di atas sofa.
Riko membawakan aku sepiring potongan kue beserta satu gelas jus mangga kesukaanku. Dia menaruhnya di atas meja.
"Ini kue buatan aku loh, cobain deh," ucapnya.
Entah kenapa aku merasa ragu ketika akan memakannya. "Makanan ini gak di taruh apapun kan?" tanyaku yang membuatnya tertawa.
"Hahaha... kamu ini, mikirnya kemana-kemana, gak mungkinlah aku menaruh sesuatu di makanan itu, lihat nih aku makan ya!" katanya sambil memakan kue itu.
Setelah melihat Riko baik-baik saja memakan kue itu, aku berusaha memakannya. "Emm...enak," ucapku.
"Enak kan? aku sengaja buatkan kue ini buat kamu, karena pas waktu kamu ultah aku gak sempat bikinnya. Maklum, sibuk, he..." katanya sambil nyengir memperlihatkan giginya yang putih bersih.
Meski aku merasa kagum tetap saja aku sembunyikan rasa itu. Aku merasa tidak pantas untuk Riko. Dia anak orang kaya dan lagi, aku adalah mantan kekasih gelap Kakaknya.
"Nih, aku suapin ya," Riko menyuapi aku sepotong kue. Kami tertawa bersama sambil menikmati kue buatannya.
Riko termasuk orang yang hambel. Dia baik kepada siapapun. Jadi tidak ada yang harus di baperin darinya karena dia memang baik kepada setiap orang.
Meski populer dengan ketampanan juga kekayaan kedua ortunya tak lantas membuat dia merasa sombong. Hanya satu yang aku tidak menyangka derinya. Ternyata dia suka ke klub malam.
"Kenapa lihat aku kayak gitu?" tanya Riko saat melihat ke arahku yang tengah memandangnya.Seketika aku teringat dengan Pak Devan yang bertanya hal yang sama tadi siang. Aku merasa dongkol sendiri. Kenapa juga harus kembali megingat Pak Devan di saat tengah bersama adiknya. Wajah mereka bahkan tidak mirip.
"Enggak, katanya tadi kamu mau bicara sesuatu sama aku, emang kamu mau bicara apa?" tanyaku.
Tanpa ragu Riko membaringkan kepalanya di atas pahaku yang tengah duduk di atas sofa.
"Tadi siang kamu diapain sama Erista?" tanya Riko.
"Enggak ada, aku gak di apa-apain sama pacar kamu!" jawabku berusaha santai.
"Hah? pacar? hahaha...pacar siapa maksud kamu?" ucapnya sambil tertawa lalu duduk seperti biasa.
"Kamu pacaran sama Erista kan? aku juga mau bicara sama kamu, kamu kan yang sudah menyebarkan foto itu?" tanyaku.
Sejenak Riko terdiam. Sikapnya membuat aku merasa curiga. "Jawab Riko!" ucapku lagi dengan tegas.
"Kalau iya kenapa dan kalau enggak ke napa?" jawabnya.
"Kalau iya, apa alasannya? Kamu menyebarkan foto itu? Apa karena aku gak terima cinta kamu?" tanyaku lagi.
Hap!
Kembali Riko malah memelukku lagi. Aku yang merasa tidak nyaman berontak padanya. "Riko, jangan begini! " ujarku mendorong tubuhnya.
"Kenapa sih, kamu kan udah jadi pacarku?" ucapnya melepas sejenak lalu memelukku lagi.
"Riko!" bentakku. Tapi Riko malah tertawa.
"Apa sih Ar?" tanya dia santai.
"Jangan ada sentuhan fisik di antara kita kalau kamu mau jadi pacar aku!" ujarku lagi sedikit mengancam.
"Kalau cuma peluk boleh kan?" tanya dia.
"Gak boleh!"
"Hahaha... kamu ini Ar. O, iya, aku udah siapkan kostan buat kamu, mulai malam ini juga kamu boleh bekerja di restauran aku." Kata Riko, tiba-tiba saja dia berkata begitu.
"Kamu tahu aku lagi cari pekerjaan daimana?" tanyaku penasaran, karena selama ini aku tidak pernah bercerita apapun padanya.
"Dari saya!" jawab sebuah suara dari arah pintu.
Lagi-lagi Pak Devan berdiri di depan pintu, sambil melipat kedua tangannya.
"Lagi ngapain kalian berduaan di sini?" tanya dia, lalu duduk di antara aku dan Riko yang membuat Riko menghela nafas lelah dengan sikapnya.
"Ganggu aja lu Bang, kita lagi mau ngerjain tugas iya kan Ar?" ujar Riko yang merasa kesal.
Pak Devan melihat ke arahku yang diam saja. "Mana tugasnya?" tanya dia lagi.
"Dahlah Bang, pergi sana lu, ganggu aja!" Riko mendorong punggung Kakaknya.
"Riko! Kamu ini di tugaskan untuk kuliah, bukan untuk pacaran! Dan ingat, resto ini bukan tempat untuk pacaran!" ujarnya lalu menoleh ke arahku yang hanya menunduk.
"Saya antar kamu pulang Ardila!" kata Pak Devan, sambil menarik tanganku.
"Loh, apaan sih lu Bang, gue yang berhak bawa Ardila pulang karena Ardila itu pacar gue! Minggir!" Riko melepaskan tangan Pak Devan yang memegang tanganku.
"Kamu ini masih bau kencur! Gak baik bawa anak orang apalagi ngajak dia ke jalan yang tidak benar!" Pak Devan melepaskan tangan Riko yang memegang tanganku.
Sedangkan aku merasa pusing sendiri harus melirik kesana-kemari dengan perdebatan yang tidak ada hentinya diantara mereka.
"Stop! Cukup! Saya bisa pulang sendiri!" ujarku mengambil tas lalu pergi dari ruangan itu.
Mereka berdua saling berlirikkan lalu mengejarku. "Ardila, tunggu, jangan pergi dulu biar saya yang antar kamu pulang, ini sudah malam!" cegah Pak Devan menghalangi jalanku.
Dia terkekeh melihat sikapku yang gelagapan juga kesal mendapat perlakuan barusan. Riko memang jahil. Sengaja dia mengerjaiku. Setelah selesai mengganti baju dia menghadangku kembali. "Mau kemana lagi?" Riko kembali menahanku yang hendak pergi. "Aku harus kerja, aku bukan bos yang enak-enak bersantai ria!" jawabku kesal. "Malam ini anggap saja kamu itu seorang bos, aku udah pesan ramen pedas plus cake kesukaan kamu juga kopi hangat dan jus mangga. So, duduk lagi, dan tunggu dulu, sebentar lagi makanannya akan segera diantar." Katanya lagi, dia menggiring tubuhku kembali. "Tapi..." "Ardian itu sepupu aku, dan aku udah izin sama dia kalau kamu gak usah kerja lagi malam ini, lagipula jam kerja kamu cuma tinggal beberapa menit lagi 'kan?" sangkalnya memotong ucapanku. Karena tak ingin lelah berdebat dengannya. Aku memutuskan untuk pasrah saja. Menuruti apa yang dia katakan. Setelah salah satu temanku selesai menaruh semua pesanan di atas meja. Kami mulai menyantapnya. Aku jadi teri
"Nyaman juga tempatnya, enak, adem ya!" katanya sambil duduk di atas ranjangku. "Sekarang kita tetanggaan loh, aku ngekost disini juga," jelasnya yang membuat mataku terbelalak. "Ngekost disini juga?! Bukannya selama ini dia tinggal di apartemen?" ucap batinku. "Kenapa terkejut? Emangnya salah ya, kalau aku ngekost dekat kamu?" tanyanya. Aku tetap diam, menahan emosiku yang seakan ingin meledak. Ku rogoh ponselku dari dalam tas kecil. Lalu mengirimkan sebuah pesan singkat pada Pak Devan. "Aku boleh numpang tiduran disini ya?" tanya Clara. "Gak boleh!" jawabku tegas menatapnya sinis sambil melipat tangan. "Sombong banget sih, baru ngekost di tempat kayak gini aja udah sombong!" celetuknya sambil bangkit."Kostan kita sama, jadi bukan masalah sombong. Tapi, harus tahu adab ketika masuk ke dalam rumah orang lain. Seengaknya jika belum di izinkan masuk, jangan langsung masuk!" balasku lagi. Clara menatapku tajam. Dia seakan sedang mengibarkan bendera peperangan denganku. "Akan aku
Singkat cerita kami tidak pernah bertemu kembali. Aku memutuskan untuk pergi pindah kostan juga agar Pak Devan dan Riko tidak bisa menemuiku lagi. Aku juga sudah bekerja di salah satu restaurant memutuskan untuk berhenti kuliah yang aku anggap itu hanya akan menyusahkan ibu. "Ar, tolong kamu antar pesanan ini ke meja nomer 12!" Kata salah satu teman kerjaku. "Oke, Bang!" segera aku mengantar dua gelas kopi late pesanan itu ke arah yang di tuju. "Ini Mbak pesanannya, selamat menikmati," ucapku ramah padanya. Tapi baru saja aku hendak pergi, wanita berkacamata hitam itu menahan tanganku. "Kamu... Ardilla 'kan?" tanyanya. Aku mengernyitkan dahi, sambil mengangguk mencoba mengingat siapa wanita itu sebenarnya. Saat dia membuka kacamatanya barulah aku bisa mengenalinya. "Iya, saya Ardilla." Jawabku. "Siapa juga yang gak tahu sama kamu, jejak digital itu emang gak akan bisa terhapus. O, ya. Aku cuma mau kasih tahu aja sama kamu kalau semalam Riko ada di apartemen aku." Katanya seolah
Ternyata Pak Devan tidak langsung pulang. Dia tetap menunggu restaurant tutup agar bisa mengantarku pulang seperti yang dia katakan. Menunggu selama berjamjam tak lantas membuatnya bosan. Dia justru membantu aku dan karyawan lain melayani pelanggan dari meja satu ke meja lain. "Pak, bira saya saja, bapak sebaiknya istirahat." Ucapku sambil mengambil nampan di tangannya. "Gak apa-apa, saya sudah terbiasa bekerja seperti ini. Tolong kamu ambilkan handphone saya di dalam tas ya!" katanya sambil menyunggingkan senyuman. Aku menurut. Segera pergi menuju ruangan. Dengan ragu aku membuka tas kerja milik Pak Devan karena tidak terbiasa membuka tas orang sembarangan. Ku lihat dalam sebuah buku terdapat lukisan yang belum selesai. Saat aku mengambilnya. Ternyata itu adalah lukisan wajahku. Buku itu seperti buku diary. Terdapat banyak kata-kata yang di tulis beberapa tahun yang lalu. "Wanita ini akan menjadi milikku, namanya Ardilla Maharani, seorang perempuan yang sudah berhasil membuatku
"Tolong jangan pergi dulu!" cegahnya menghalangi jalanku. "Tolong Pak, saya mau ke kantin. Tugas saya sudah selesai, kan?" "Iya, ada yang ingin saya bicarakan sama kamu. Tolong jangan pergi dulu..." cegahnya lagi sambil memegang tanganku. Saat aku berusaha melepaskannya. Tiba-tiba saja seseorang berteriak. "Dasar pelakor!" teriak Bu Ristia yang berdiri di depan pintu ruangan Pak Devan. Matanya melotot sambil memandang ke arahku dengan menahan amarah. Dia berjalan cepat, lalu menjambak rambutku dengan kasar. "Hei, wanita penggoda! Ternyata kamu ada disini juga ya, kenapa kamu tidak tahu diri mendekati kembali anak saya?!" ujarnya sambil mendorong kepalaku dengan kasar. "Mah, sudah Mah, kenapa Mamah melakukan itu? Tindakan Mamah ini keterlaluan!" bentak Pak Devan. "Kamu dan wanita ini yang keterlaluan! Bisa-bisanya di depan bayi di ruangan kampus ini kamu mesra-mesraan dengan wanita kotor ini!" ujarnya sambil menunjukkan telunjuknya ke arahku. "Dia bukan wanita kotor Mah, dia wa
Satu bulan sudah berlalu. Gosip tentang foto syur itu perlahan memudar. Tapi masih selalu ada orang yang membicarakan aku saat aku lewat di depan mereka. Aku berusaha tak mempedulikannya."Katanya foto itu, foto editan loh," bisik seorang mahasiswi pada temannya. "Beneran? Emang kamu tahu darimana kalau foto itu foto editan?" tanya temannya. "Baca nih, di grup chat ada yang menjelaskan soal editing foto jaman sekarang yang lagi ngetrend. Jaman sekarang kan dah canggih banget, jadi kita bisa aja terkecoh dengan hasil foto editan." jelas temannya. "Bener juga sih, kayaknya emang benar deh foto si Ardilla itu foto editan, kita kan bisa cek langsung fotonya di aplikasi." Kata temannya lagi yang membuat hatiku sedikit lega.Senyumku mengembang saat mendengar gosip yang sedang beredar tentang foto-fotoku yang ternyata hasil editan. Aku berjalan menuju ruang kelasku. Tapi, tiba-tiba saja Riko menghampiriku, dia mengulurkan tangannya. "Selamat ya, nama kamu sudah bersih, karena aku yakin