"Sheila, lepas!"Arnes mendorong tubuh mungil itu hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya merah, antara marah dan malu karena sadar telah menanggapi pancingan gadis 19 tahun di hadapannya itu."Ini peringatan untuk yang terakhir kalinya, jangan pernah lakukan itu lagi atau...""Atau apa?" tantang Sheila dengan manik cokelat yang tajam.Sikap Arnes yang berubah padanya beberapa hari belakangan dan juga sikap protektifnya membuat Sheila yakin bahwa sebenarnya sang dokter memiliki perasaan pada Sheila. Hanya saja, ia belum tahu sejauh mana sang Paman Dokter berani bertindak untuk mengutarakannya. Atau memang begitulah Arnes, menyembunyikan perasaan dengan bualan tentang usia keduanya yang terlampau jauh."Apa Paman akan bersikap dingin seperti hari-hari sebelumnya? Atau memperlakukanku dengan kasar seperti yang baru saja terjadi?" tantangnya semakin berani. "Sheila, kau harus ingat bahwa usiamu dan a...""Kenapa Paman langsung setuju ketika aku minta Miss Laura berhenti?" t
"Kau mau pergi denganku?"Manik cokelat yang tadinya sayu seketika berbinar. Tubuh di atas ranjang itu beranjak, seketika tegap di hadapan Arnes yang masih berada di ambang pintu. Senyumnya sumringah, mengangguk-anggukkan kepala berulang kali, saking bahagianya."Ke mana?" tanyanya penuh harap.Arnest terkekeh melihat bagaimana perubahan drastis dari satu pertanyaannya. Ekspresi kesal di wajah Sheila musnah, diganti mentari yang biasa menghiasi paginya beberapa hari terakhir. Bahkan ditambah deretan gigi seri yang menambah keindahan gadis di hadapannya."Bagaimana bisa kau berubah secepat ini dengan satu pertanyaan saja, hah?"Tatapan mata Arnes membuat Sheila menunduk malu. Matanya melirik ke kanan dan kiri, seolah mencari jawaban yang juga tak tahu apa. Tangannya saling bertaut, dengan bibir mengerucut, tak berani menjawab pertanyaan Paman Dokternya."Jadi, kau ingin ke mana?" Arnes mengalihkan pembicaraan, tak ingin keduanya kembali beradu mulut seperti yang sudah-sudah."Nonton!"
"Paman..." panggil Sheila lembut. "Siapa yang telepon?" tanyanya lagi."Hah? Oh, ini... Kita sepertinya harus cepat berangkat, takut filmnya keburu mulai!" katanya terbata-bata.Dengan cepat pria itu menarik tangan Sheila untuk pergi sesegera mungkin. Dan tanpa banyak tanya, gadis itu menuruti semua perintah Paman Dokternya. Karena pada dasarnya, ia juga tak ingin semua rencananya malam ini gagal.Namun sayangnya, sepanjang perjalanan menuju bioskop Arnes lebih banyak diam dan termenung. Pria itu sama sekali tak menghiraukan Sheila yang bercerita panjang lebar tentang film yang akan mereka tonton."Kita mau nonton film horor?" tanya Arnes begitu keduanya mencetak tiket."Bukannya aku sudah bilang, ya?" Sheila balik bertanya dengan ekspresi keheranan. "Paman dari tadi melamun?" tanyanya kesal.Arnes kehabisan kata, karena tebakan tu benar adanya. Tapi melihat suasana yang begitu ramai, ia langsung mengalihkan perhatian dengan menarik Sheila ke arah jejeran camilan. Pria itu sepertinya
"Mengakulah! Apa yang kau lihat tadi?" cecar Sheila tiada henti. Gadis itu terus menanyakan hal yang sama selama lima menit terakhir. Tetapi jawaban sang paman dokter masih sama, dan tentu saja tak membuatnya puas. Ia malah semakin gila bertanya."Tidak ada, Sheila! Harus berapa kali ku katakan bahwa aku tak melihat apapun!" tegasnya.Jika mau jujur, sesungguhnya Arnes melihat apa yang dikhawatirkan oleh sang gadis. Mana mungkin ia menolak keindahan dada gadis yang masih ranum dan terbuka tepat di depan matanya. Beruntung ia tahu diri dan cukup bijaksana dengan segera memalingkan muka. Walau begitu, Sheila nampak sekali tak puas dan melihat kebohongan di mata sang paman."Kau bohong!" tebaknya jitu.Tentu saja semua terbaca dari pandangan mata Arnes yang sama sekali tak berani melihat ke arahnya. Pria itu memilih untuk melihat sekeliling, seolah semua itu bisa membuat Sheila lupa akan kejadian tadi."Terserah kau saja!" tutup Arnes yang mulai lelah terus dicecar. "Lagi pula masih ban
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sheila bingung.Tubuhnya sudah tersudutkan di pinggir ranjang empuk. Satu dorongan kecil dari Arnes, rasanya mampu membuatnya jatuh ke atas ranjang. Namun keraguan di manik cokelat itu membuat sang dokter menahan diri untuk bertindak lebih jauh."Bergerak!" jawab Arnes singkat."Be-bergerak?" tanya sang gadis tak mengerti."Karena yang mencintai yang harus melakukan pergerakan," jawabnya seraya mendorong tubuhnya untuk mendekat ke arah Sheila.Bibirnya dengan cepat menyentuh kening Sheila dengan sangat lembut. Tangannya mengelus puncak kepala sang gadis, mengikuti alunan musik dalam kepala. Sementara sang gadis hanya diam, sambil memejamkan mata.Sheila mulai merasakan hidungnya tergelitik oleh sentuhan Arnes. Lalu tak lama bibirnya mulai dikecup, dan semakin lama menjadi hangat. Tanpa sadar ia mulai membuka mulut dan membiarkan lidah Arnes bermain di setiap sela rongga mulutnya. Tak hanya diam, Sheila mulai meremas rambut Arnes yang merundukkan tubuh be
"Kenapa kau diam?" tanya Arnes yang sejak tadi memandangi wajah cantik Sheila di antara sinar mentari pagi dari jendela kamar. "Apakah kau menyesalinya?" tanyanya mulai mencecar.Sebagai seorang pria, ia cukup tahu diri bahwa usia muda Sheila pastilah membuat sesal datang belakangan. Nampak sekali sang gadis tak lagi bergairah untuk berbincang dengannya. Yang dilakukan sepuluh menit terakhir hanyalah termenung memandangi lampu gantung.Namun senyum di wajah Arnes muncul tatkala Sheila menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa kekhawatirannya tak terbukti. Gadis itu malah merebahkan kepalanya dipelukan dada bidang sang dokter. "Bagaimana bisa aku menyesal ketika Paman memberikan kenikmatan seperti tadi?" tanyanya tersenyum malu-malu.Arnes memeluk mesra Sheila. Diendusnya wangi rambut panjang yang terlihat berantakan. Tapi itu semua sama sekali tak mengurangi kesempurnaan Sheila di matanya pagi ini.Bak dimakan cinta buta, pria itu melupakan jadwal praktiknya yang harusnya mulai pukul t
"Ada yang telepon, lalu aku..."Wajah Arnes berubah tegang. Disambarnya ponsel di tangan Sheila dengan cepat. Tanpa perlu berlama-lama, pria itu menekan tombol merah tanda komunikasi tertutup. Jantungnya nyaris copot karena hampir saja ketahuan."Dari siapa?" tanya Sheila penasaran."Oh, klinik!" jawab Arnes seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku dalam jas. "Aku harus berangkat sekarang, kau di rumah sebentar, aku segera kembali sebelum siang." Pria itu mengecup kening Sheila cepat sebelum benar-benar meninggalkan sang gadis di dalam rumah.Sementara Sheila sendiri terpaku sesaat, mulai mencurigai tindak-tanduk Arnes. Paman dokternya itu tak biasanya terburu-buru seperti saat ini. Belum lagi banyak pertanyaan yang tak dijawab, seperti diawal cerita hubungan mereka, di mana Arnes berusaha menutupi perasaannya.Gadis itu berusaha melupakan semua kejadian pagi tadi dengan menyibukkan diri membuka buku pelajaran. Semangat untuk kembali meraih cita-citanya muncul. Apalagi dengan ijin da
"Aku datang!" seru Sheila yang baru saja muncul setelah seharian berkecimpung dengan dunia pelajarnya lagi.Arnes melambaikan tangannya yang masih memegangi bolpoin. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore, pertanda jam kerjanya sudah selesai satu jam lalu. Tapi dengan sengaja ia menunggu Sheila yang masih harus mendapatkan pelajaran tambahan.Sudah hampir sebulan keduanya menjalani kegiatan masing-masing. Arnes dengan kegiatan operasi dan pengembangan klinik menjadi rumah sakit. Sementara Sheila harus fokus mengejar mimpinya untuk menjadi dokter dengan sekolah, pelajaran tambahan dan juga les khusus masuk perguruan tinggi. Nyaris tak ada waktu bagi mereka pergi libur atau sekedar bersenang-senang. Semua kegiatan dilakukan di rumah, bersama."Bagaimana hari ini?" tanya Arnes dengan tangan yang mendorong minumannya ke arah Sheila."Luar biasa!" serunya setengah mengeluh. "Aku ketinggalan banyak, terutama Fisika dan Kimia. Urgh!" keluhnya.Pria itu menertawakan sikap Sheila yang begitu