Share

Bertemu Kembali Setelah Dua Puluh Tahun

"Senor, silakan!" Antonio mempersilakan Alejandro Castillo untuk memasuki lift yang akan membawa mereka menuju tempat gala dinner diadakan.

"Tunggu!" Tiba-tiba seorang wanita berteriak, menahan pintu lift yang hampir tertutup rapat.

Antonio segera menyentuh tombol untuk kembali membuka pintu lift lebih lebar.

"Terima kasih!" Wanita itu mengucapkan terima kasih dalam bahasa inggris yang lancar dan menganggukkan kepalanya dengan sopan padanya setelah masuk ke dalam lift.

Antonio hanya mengangguk dan menatapnya datar. Mengawasi gerak-geriknya dari balik kacamata hitamnya. Wanita itu berdiri di sebelah Ale, tanpa memperhatikannya.

Bahkan sepertinya dia tidak menyadari siapa pria yang berdiri di sebelahnya. Dia sama sekali tidak tertarik untuk sekadar menoleh apalagi berbasa-basi menyapanya.

"Dia?" Ale bergumam dalam hati saat menatap wanita yang berdiri di sebelahnya.

Rasanya dia tidak asing dengannya. Meski sudah hampir dua puluh tahun lalu, tetapi dia tidak akan pernah lupa pada wanita yang pernah begitu memikat hatinya.

"Sasmaya Emily Salim," desisnya pelan tetapi cukup untuk didengar siapapun yang ada di dalam lift bersamanya.

Sontak wanita di sebelahnya menoleh dan menatapnya. Mata sebening embun dan tatapan tajam Ale, sesaat bertemu. Mereka saling beradu pandang dan membeku.

"Alejandro Castillo," gumamnya lirih.

"Baguslah kau masih mengingatku." Ale tertawa dan mengembangkan tangannya mengundang wanita itu ke pelukannya.

Wanita itu tertawa terkekeh dan bersedekap tangan. Menatapnya lekat-lekat dari ujung rambut hingga ke kaki.

"Kau masih saja penuh percaya diri Senor Castillo," sahutnya dengan ramah.

"Tidak ingin memelukku? Cukup lama kita tidak bertemu, apa kabarmu mi amor?" Ale masih tetap berharap wanita itu akan menghambur ke pelukannya.

Wanita itu tersenyum dan akhirnya mendekat kemudian memeluknya. Ale tertawa dan merengkuhnya erat-erat.

"Dua puluh tahun lamanya, aku kira tidak akan pernah bertemu denganmu lagi, mi amor," Ale berbisik dengan lembut.

"Aku kira kau sudah melupakan aku." Wanita itu tertawa dan melepaskan diri dari pelukannya.

"Tentu aku tidak akan melupakanmu karena aku masih menunggumu, Senorita Sasmaya." Ale menatapnya dengan serius.

Sasmaya, wanita itu, menatap Ale dan mendesah pelan. Tidak mengira pria di hadapannya ini masih mengingat ucapannya dua puluh tahun lalu yang dikiranya hanya bercanda semata.

"Menungguku? Apa yang kau tunggu Ale?" Sasmaya mengerutkan keningnya menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Menunggumu melepaskan cincin di jarimu dan kau sendiri lagi," sahut Ale dengan santai.

Sasmaya mendesah pelan. Dia sendiri lupa akan semua yang dikatakannya pada pria yang lebih muda empat tahun darinya itu.

"Jangan kau katakan kau lupa apa yang kau ucapkan waktu itu." Ale kembali berbicara dengan serius.

"Sejujurnya aku memang lupa." Sasmaya meringis, salah tingkah.

Ale mendesah kesal, sayangnya lift berhenti di lantai yang ditujunya.

"Senor, kita sudah sampai!" Antonio yang sedari tadi terdiam menyaksikan percakapan mereka berdua, memperingatkannya.

"Sebentar! Hei, beri aku nomor kontakmu!" Ale menatap Sasmaya penuh harap.

"Aku akan mengikuti salah satu akun media sosial official-mu. Kita bisa saling berkirim pesan nanti." Sasmaya tersenyum dan menunjukkan smartphone-nya.

"Baiklah! Jika kau menghilang lagi, kali ini aku akan mencarimu meski ke ujung dunia." Ale menggoyangkan jarinya tanda dia serius dengan ucapannya.

Sasmaya mengangguk dan melambaikan tangannya. Ale meninggalkan lift diiringi pengawal pribadinya, Antonio. Sasmaya menyentuh tombol dan pintu lift pun tertutup kembali.

"Aku tidak pernah melupakan wajah orang-orang yang pernah bertemu denganku meski hanya sekali Toni," ucapnya pada sang pengawal pribadi yang mengiringinya menelusuri lobi.

Membawa mereka pada sebuah ruangan yang merupakan tempat diadakannya gala dinner. Sebuah gala dinner yang diadakan untuk menyambut kedatangannya sebagai brand ambassador sebuah yayasan amal di negeri singa. Peran yang telah dilakoninya selama enam tahun belakangan ini.

"Wanita tadi?" Antonio bertanya dengan hati-hati.

"Sasmaya Emily Salim, itu nama lengkapnya. Apakah kau tahu siapa dia?" Ale menoleh menatap sang pengawal.

Antonio menggelengkan kepalanya. Dia tidak mengenal nama yang baru saja disebutnya. Selama hampir sepuluh tahun menjadi pengawal pribadi sang bintang sepakbola, dia belum pernah mendengar nama itu di antara deretan wanita yang pernah menjadi kekasih atau dekat dengannya.

"Dia salah satu orang yang mempercayai bakatku. Sayang kami terlambat bertemu." Ale terlihat murung saat menceritakan salah satu kisah masa lalunya.

"Aku masih terlalu muda dan dia telah menikah, sewaktu kami pertama kali bertemu," lanjutnya.

Antonio hanya terdiam. Mendengarkan curahan hati sang bintang lapangan hijau itu. Sesuatu yang jarang terjadi.

"Aku tidak mengira akan bertemu dengannya lagi setelah dua puluh tahun lamanya." Ale tersenyum simpul, memasukkan kedua lengannya ke dalam saku celananya.

Bersiap untuk menerima sambutan dari penyelenggara gala dinner. Harus bersikap ramah, sopan dan penuh antusias. Sesuatu yang menjadi ciri khas Alejandro Castillo.

Pesepakbola yang berada di jajaran atlet terkaya di dunia dan memiliki segudang prestasi yang tidak main-main. Namun selalu rendah hati dan dermawan.

"Selamat datang Senor Castillo!" Seorang wanita menyambutnya dengan ramah.

Memimpinnya untuk membaur dengan para tamu undangan dan menikmati acara yang memang dikhususkan untuk menyambut kedatangannya dan juga merayakan kebersamaannya dengan yayasan yang telah berlangsung selama enam tahun.

Berbasa-basi menyapa beberapa orang, berbincang dengan penuh antusias dan tentunya menikmati hidangan istimewa dan hiburan spesial, menjadi sesuatu yang membuatnya cukup sibuk malam ini.

"Toni, aku membutuhkan udara segar." Ungkapnya pada sang pengawal pribadi sembari menjauhi pesta.

Ale menuju ke balkon untuk menghirup udara segar. Keriuhan pesta terkadang membuatnya terasa sesak dan pengap.

Sebuah pemandangan yang tidak diduganya menyambutnya saat kakinya melangkah di area terbuka yang lengang. Hanya ada seorang wanita yang tengah duduk di sebuah kursi, bertopang dagu menatap Marina bay di kejauhan. Sebotol wine dan sebuah gelas cocktail menemaninya.

"Sasmaya, kita bertemu lagi," tegurnya dengan hati-hati sembari melangkah mendekatinya.

Wanita itu menoleh dan membelalakkan matanya saat melihat Ale berdiri di depannya. Tak menduga mereka akan bertemu lagi setelah pertemuan tanpa sengaja di lift tadi.

"Sepertinya hari ini aku melihatmu ada di sekelilingku." Sasmaya terkekeh menatapnya.

"Mungkin ini yang disebut takdir." Ale terkekeh dan duduk di kursi di sebelahnya.

"Mungkin. Hei lihat, cantik sekali bukan Marina bay di malam hari?" Sasmaya tersenyum dan menunjuk pada pemandangan di hadapan mereka yang didominasi pendar lampu-lampu di bangunan tinggi yang menjulang dan di sekitar Marina bay.

"Secantik dirimu," Ale tersenyum, menatapnya lekat-lekat.

"Kau masih seperti yang aku ingat. Apakah waktu tidak berlaku pada dirimu? Sepertinya justru aku yang semakin menua," lanjutnya seperti tengah berkeluh kesah.

Sasmaya tersenyum dan menyentuh lengannya. Menatapnya sebentar seakan-akan mencoba untuk menilai dirinya.

"Tidak juga, sewaktu pertama bertemu denganmu, kau masihlah seorang pemuda dan sekarang kau telah menjadi pria," ucap Sasmaya sepenuh hati.

"Apakah itu ada bedanya bagimu?" Ale tertawa.

"Tentu saja, aku lebih suka seorang pria. Jauh lebih dewasa dan seksi." Sasmaya tertawa diiringi gelak tawa Ale.

"Masih ingat kapan dan di mana pertama kali kita bertemu?" Ale bertanya dengan serius.

"Sejujurnya aku lupa. Aku hanya ingat kita bertemu untuk membicarakan tawaran klub untukmu. Hanya itu." Sasmaya menyentuh dahinya.

"Itu benar, apalagi yang kau ingat?" Ale kembali bertanya.

Sasmaya menyibakkan rambutnya dan menundukkan kepalanya. Bagaimana dia bisa lupa kapan dan di mana bertemu dengan pria ini?

"Ternyata benar, kau tidak pernah mengingatku." Ale mendesah pelan.

Sasmaya mendongakkan kepalanya dan seketika merasa bersalah. Ale terlihat sangat kecewa.

"Maafkan aku. Hanya satu hal yang aku ingat dirimu, bakatmu. Bukankah waktu itu aku pernah berkata kelak kau akan menjadi pesepakbola yang hebat dan itulah yang terjadi." Sasmaya tersenyum lembut.

Ale tersenyum dan menyentuh jari jemarinya dengan lembut. Meraihnya dan mengecupnya. Sasmaya menatapnya dan tidak menolak tindakan pria itu.

Tiba-tiba saja kenangannya kembali ke masa-masa sembilan belas tahun lalu, saat seorang pria mengecup ujung jarinya dan berkata akan menunggunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status