Share

Aku Masih Menunggumu

"Apa kabarmu, mi amor?" Ale menatap Sasmaya lekat-lekat.

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku rasa kau pun baik-baik saja bukan?" Sasmaya tersenyum dan menarik tangannya dari genggaman Ale.

"Yah, bisa dikatakan aku memang baik-baik saja." Ale mengerjapkan matanya.

"Kemana kau pergi selama ini? Saat aku pergi ke klub aku tidak menemukan dirimu," lanjutnya.

"Aku sudah meninggalkan klub setelah bertemu denganmu waktu itu. Aku pikir mereka akan tetap berusaha untuk mendapatkanmu, rupanya itu tidak pernah terjadi bukan?" Sasmaya tersenyum sembari menyibakkan rambutnya yang berkibar tertiup angin malam.

Ale menatapnya lagi. Sasmaya masih seperti dalam ingatannya. Sasmaya merupakan gambaran khas wanita asia tenggara. Dengan kulit tidak seputih wanita asia timur, dan postur tubuh tidak seperti wanita Eropa, ditambah dengan rambut keunguannya, dia terlihat mungil seperti boneka.

"Aku menolak untuk melanjutkan negosiasi jika tidak denganmu. Waktu itu pihak klub beralasan kau tengah menangani transfer pesepakbola yang lain." Ale menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu.

"Oh begitu. Aku meninggalkan klub tepat setelah bertemu denganmu malam itu." Sasmaya tersenyum dan mengambil gelas cocktail yang sedari tadi berada di atas meja kayu.

"Oh ya? Kenapa? Bukankah karirmu sangat bagus di sana. Kau masih muda dan telah menempati posisi yang penting." Ale mengerutkan keningnya menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Aku hanya magang di sana, dan harus kembali ke negeriku sendiri, setelah kontrakku berakhir." Sasmaya mengguncang gelas cocktail-nya pelan.

"Pantas saja aku tidak pernah mendengar kabarmu lagi, bahkan saat kemarin aku bermain di sana." Ale tertawa hambar.

"Aku benar bukan? Bakatmu tak diragukan lagi. Di mana pun kau bermain, kau selalu menuai prestasi." Sasmaya menatapnya dengan pendar-pendar kekaguman jelas terlihat di bola matanya.

"Mungkin ucapanmu waktu itu membuatku percaya, aku bisa menjadi seperti yang kau ucapkan." Ale mengambil gelas cocktail di tangan Sasmaya saat menyadari wanita itu telah menghabiskan hampir seluruh isinya.

"Hei!" Sasmaya memprotesnya dan hendak merebut kembali gelasnya dari tangan Ale.

"Kau sudah terlalu banyak minum." Ale menjauhkan gelas itu dan meletakkannya di tempat yang tidak dapat dijangkau Sasmaya.

"Hanya beberapa sloki saja," elaknya setengah bergumam.

"Aku rasa kau tidak akan semabuk itu jika hanya beberapa sloki. Sepertinya kau menghabiskan wine ini sendirian." Ale menunjuk botol wine yang hanya tersisa sedikit.

Sasmaya terkekeh. Dia memang telah menghabiskan separuh lebih isi botol Romane Conti itu, tetapi rasanya dia tidak mabuk.

"Hanya sedikit pusing," sahutnya tanpa rasa bersalah.

Ale tertawa, bertopang dagu dan menatapnya dengan seksama. Sasmaya tidak mengelak dari tatapannya, juga tidak tersipu malu-malu. Wanita itu juga menatapnya lekat-lekat.

"Kau sangat mirip dengannya. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?" Keluhnya lirih.

Tangannya terangkat dan jari jemarinya bergerak seperti tengah digerakkan sesuatu, menyentuh pipi Ale. Namun sesaat kemudian dia menarik kembali tangannya.

"Maaf," bisiknya lirih.

Sasmaya membuang muka, bertopang dagu dan menatap Marina bay. Ale tertegun, tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.

"Hei!" Ale menyentuh lengannya pelan. Namun Sasmaya bergeming. Ale terkejut saat melihat butiran bening meluncur turun dari ujung mata sebening embun dan membasahi pipi sehalus porselen.

"Sasmaya apa yang terjadi?" bisiknya serta mengguncang lengan wanita itu.

"Tidak ada, mungkin aku hanya terbawa suasana saja." Sasmaya memaksakan seulas senyum sembari mengusap matanya pelan.

"Kau baik-baik saja?" Ale masih mencemaskannya.

"Iya aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong apa yang membuatmu ada di sini?" Sasmaya baru teringat sesuatu yang sedari tadi ingin ditanyakannya.

"Undangan dari Mr. Kim untuk menghadiri acara ini sebagai ambassador," sahut Ale dengan santai.

""Rupanya benar, kau sangat dermawan dan antusias dengan kegiatan amal seperti ini." Sasmaya tersenyum manis.

Ale tertegun melihat senyum manisnya yang selalu saja membuatnya terpesona. Air mata yang tadi sempat tergenang di pelupuk matanya seperti sirna menghilang begitu saja.

"Kau pasti tahu alasanku." Ale tersenyum dan menyandarkan lengannya di sandaran kursi dengan santai.

"Karena masa kecilmu?" Sasmaya bertanya dengan hati-hati.

Ale mengangguk. Masa kecilnya memang tidak seindah hidupnya saat ini. Dia berasal dari keluarga miskin yang tinggal di kawasan kumuh di salah satu sudut kota Madrid.

"Sekarang semua berubah. Kau bukan lagi pemuda lugu yang menggiring bola dan gugup saat kamera menyorotmu. Tetapi di satu sisi kau masihlah seperti yang orang-orang terdekatmu mengenalmu dulu." Sasmaya menyentuh lengannya dengan lembut.

"Iya benar. Ada yang berubah dan ada yang tidak pernah berubah. Salah satunya adalah aku masih menunggumu hingga saat ini." Ale tersenyum menggoda.

Sasmaya terkekeh mendengarnya. Dia tidak pernah menganggap serius ucapan pria di hadapannya itu. Dia bukan gadis muda yang mudah terbuai rayuan seorang casanova seperti Ale.

"Tidak usah merayuku. Katakan saja apa maumu Senor Alejandro Castillo," sahut wanita cantik itu dengan santai.

"Aku tidak tahu apa yang kumau darimu," sahut Ale, melirik Sasmaya yang tengah menatapnya.

"Kalau begitu, aku tidak bisa membantumu." Sasmaya tersenyum, kemudian kembali menatap kilau lampu-lampu di Marina bay.

"Hei, berkencanlah denganku selama aku di sini." Ale tiba-tiba merengkuh bahunya.

"One night stand? Itu bukan gayaku Senor Alejandro," kembali Sasmaya menjawab dengan santai.

"Semalam saja? Tentu tidak, selama kita mau." Ale masih mencoba untuk bernegosiasi dengannya.

"Besok aku harus kembali ke Indonesia, dan setelah itu aku tidak mungkin bisa bebas berkencan denganmu bukan?" Sasmaya terdengar ragu-ragu.

"Itu bisa diatur, santai saja." Ale terkekeh pelan.

"Terserah kau sajalah," sahut Sasmaya lirih.

"Jadi, sekarang kita berkencan?" Ale kembali menatapnya serius.

Sasmaya menoleh, menghela napas pelan dan mengangguk asal saja. Ale tertawa dan memeluknya erat-erat. Tanpa ragu lagi didekapnya Sasmaya kemudian menciumnya.

"Hei!Hei!" Sasmaya tertawa melihat tingkah gila Ale.

Hanya tawa sekejap, karena setelah itu Ale tidak memberinya kesempatan untuk tertawa. Pria itu menciumnya hingga membuatnya sedikit demi sedikit hilang kendali.

"Bagaimana jika menghabiskan malam ini bersama?" bisiknya di telinga wanita cantik yang dalam dekapannya.

Sasmaya menatapnya lekat-lekat. Dahulu baginya Ale adalah calon bintang sepakbola yang harus didapatkannya untuk klub tempatnya bekerja. Namun kini kehadirannya seperti mengisi sesuatu yang kosong di dalam hatinya.

"Ayo kita pergi, sebelum ada seseorang atau media mempergokimu." Sasmaya melepaskan diri dari pelukannya dan menggandengnya.

Ale hanya menurut saja, sementara Antonio mengikuti mereka. Sasmaya membawanya melalui jalan memutar, menghindari melewati ballroom di mana gala dinner diadakan.

Ada sebuah lift yang dikhususkan untuk penghuni penthouse yang ada di lantai atas.

"Wah ternyata ada lift tersembunyi," Antonio bergumam pelan.

"Bukan seperti itu. Ini hanya untuk menjaga privasi penghuni penthouse karena di lantai ini sering diadakan acara untuk publik." Sasmaya menjelaskan sembari menyentuh tombol lift.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status