Madrid, 2023
"Feliz cumpleaños! Feliz cumpleaños!" Ucapan dan nyanyian selamat ulang tahun terdengar begitu meriah.Hari ini ulang tahun Alicia Dominguez, seorang model cantik asal Spanyol, yang juga kekasih Alejandro Castillo, pesepakbola terkenal dari negara yang sama."Selamat ulang tahun, mi amor," bisik Ale, panggilan akrab sang pesepakbola, dengan penuh kasih sayang."Gracias mi amor," sahut Alicia penuh kebahagiaan.Mereka berpelukan dan kemudian sorak sorai sahabat, kerabat dan putra-putri mereka mengiringi kemesraan keduanya. Sebuah perayaan ulang tahun yang meriah dilengkapi hadiah yang mewah, seperti biasanya.Siapapun akan mengira Alicia Dominguez dan Alejandro Castillo adalah pasangan yang sempurna dan bahagia. Tetapi benarkah itu?"Ale kapan kau akan menikahiku?" Alicia memeluk sang kekasih dari belakang.Mereka tengah berduaan di balkon kamar mereka setelah perayaan ulang tahun yang meriah itu selesai. Kini tinggal mereka berdua, menikmati malam di kota Madrid."Kenapa?" Ale tidak menjawab pertanyaannya dan justru bertanya, berbalik dan memeluk Alicia."Kita sudah bersama selama lima tahun dan memiliki putra-putri. Apalagi yang kau tunggu Ale?" Alicia menatapnya penuh harap."Untuk apa? Bukankah dengan begini saja kita bahagia?" tanyanya seraya membelai rambut sang kekasih.Alicia terdiam mendengar jawaban Ale. Bagi Ale hidup bersamanya, dengan atau tanpa menikah itu bukanlah sesuatu yang berbeda apalagi penting. Namun bagi dirinya itu sangat berarti, sebuah perbedaan yang sangat mendasar."Aku bahagia bersamamu, tetapi aku ingin sebuah kepastian dan ikatan." Alicia menatapnya lekat-lekat."Kepastian dan ikatan? Apakah itu suatu hal yang penting bagimu? Alicia, aku mencintaimu dan akan selalu membahagiakan dirimu tetapi jangan pernah berusaha untuk mengikatku dalam pernikahan. Aku tidak membutuhkannya." Ale melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkannya sendirian di balkon.Alicia tertunduk untuk sesaat. Wanita cantik berambut gelap itu kembali menelan kekecewaan dengan kerasnya pendirian Ale untuk tidak terikat dalam pernikahan bersamanya."Lima tahun yang sia-sia," gumamnya lirih.Meski diliputi kekecewaan yang mendalam, Alicia tidak bisa membiarkan hari ulangtahunnya berakhir dengan tragis seperti ini.Dengan langkah mantap dan pasti disusulnya kekasih pujaan hatinya. Memeluknya dari belakang dan meminta maaf. Seakan-akan pembicaraan tadi telah dilupakannya."Maafkan aku, mungkin aku hanya terbawa suasana," bisiknya sembari membelai dada bidang lelaki yang masih terdiam tidak menanggapinya.Ale berbalik dan memeluknya kemudian mengangkat tubuhnya membawanya kembali ke kamar mereka. Tidak ada lagi yang mereka berdua bicarakan jika tentang pernikahan."Beristirahatlah, besok aku harus terbang ke Singapura." Ale merebahkan tubuhnya di samping Alicia."Aku ikut, boleh?" tanyanya penuh harap.Tiba-tiba terbersit ide untuk turut menemani Ale ke Singapura. Selama lima tahun hidup bersama, hanya acara di Singapura saja yang tidak pernah dihadirinya. Ale selalu sendirian menghadiri acara yang cukup prestisius di kawasan Asia itu.Ale menoleh, menatapnya dengan heran. Alicia tidak terlalu menyukai acara formal yang dihadiri para jutawan dari berbagai belahan dunia. Jauh dari gosip dan media, eksklusif."Yakin mau ikut?" Ale bertanya dengan hati-hati."Iya, aku akan mencoba menjadi pendampingmu yang hebat!" serunya penuh antusias."Baiklah! Sekarang tidurlah, besok pagi-pagi kita harus bersiap-siap." Ale mengecup keningnya kemudian mematikan lampu.Wanita itu hanya mengangguk. Hidup bersama selama lima tahun membuatnya cukup memahami karakter sang kekasih yang tidak akan melayani perdebatan panjang tak berkesudahan, apalagi jika mengenai pernikahan.Alicia memejamkan mata, mencoba untuk tertidur pulas. Seperti yang diucapkan Ale barusan, besok pagi mereka harus terbang ke negeri singa untuk menghadiri sebuah acara yang sesungguhnya sangat dibencinya.Pagi harinya, mereka disibukkan persiapan untuk terbang ke Singapura. Seperti biasanya, Ale hanya memberikan beberapa instruksi pada para asistennya."Buenos días, Senor!" Alena, asisten pribadi Ale, menyapanya dengan ceria."Alena, bagaimana jadwalku di sana?" Ale merapikan kerah kemejanya dan mematut diri di cermin."Saya akan memberikannya pada Antonio, dia akan memantau semua kegiatan anda selama di Singapura." Wanita berkacamata itu memberikan sebuah map pada pria yang sedari tadi berjaga di sekitar Ale."Kau tidak ikut?" Antonio menerima map itu dan menatap Alena dengan serius."Dia akan bertemu dengan beberapa kolega kita di Barcelona," sahut Ale sembari meraih smartphone-nya.Antonio hanya mengangguk mengerti. Pria berkepala plontos itu kemudian membuka map yang baru diterimanya dan membacanya dengan teliti."Mi amor!" Alicia berseru, memasuki ruangan dengan membawa sehelai gaun.Di belakangnya, Mikaila, asisten pribadinya menyeret sebuah travel bag.Saat melewati Alena, dia melirik sekilas wanita berkacamata itu, mengangkat dagu dan pura-pura tidak melihatnya. Alicia sangat tidak menyukai wanita yang telah lama menjadi asisten pribadi Ale."Aku akan memakai gaun ini untuk gala dinner nanti." Alicia menunjukkan gaun berwarna putih berpotongan dada rendah.Ale melirik sekilas dan hanya mengangguk setuju. Sejujurnya dia tidak terlalu memahami urusan pakaian para wanita. Lagipula dia lebih suka wanita tanpa busana."Saya rasa itu terlalu terbuka senora." Alena menatap Alicia sembari mengerutkan keningnya."Maksudmu?" Alicia mengangkat dagu menatap Alena dengan tatapan tidak suka."Senora, gala dinner yang akan anda hadiri merupakan sebuah acara yang prestisius di kalangan orang-orang kaya dan terhormat di kawasan Asia. Saya rasa, anda perlu menjaga penampilan untuk menjaga image senor Ale." Alena menjelaskan dengan hati-hati.Alicia menatap tajam Alena kemudian membuang pandangannya. Dia tidak pernah sependapat dengan wanita yang selalu berpenampilan elegan itu."Aku akan mencari gaun yang lain!" Alicia melemparkan gaun tadi pada Mikaila.Mikaila terkejut dan hampir terjerembab karenanya. Beruntung Javier, putra pertama Ale berada di dekatnya dan menangkap gadis itu sebelum benar-benar terjatuh."Alicia!" Ale berteriak menegurnya."Kenapa? Aku lelah Ale, aku lelah dengan semuanya!" Alicia berbalik dan membalas teriakannya.Alena bergegas menggandeng Javier dan membawanya keluar. Sedangkan Antonio dan Mikaila pun mengikutinya. Mereka tidak ingin terlibat dalam pertengkaran pasangan itu."Jaga sikapmu! Jangan pernah bersikap kasar pada orang-orangku!" Ale menatap wanita yang berdiri terpaku di anak tangga marmer yang membatasi wardrobe dan ruang kerjanya."Kau selalu saja membela mereka! Mereka tidak pernah menghargaiku, menganggapku tidak sepadan dengan dirimu dan merusak citramu!" Alicia berteriak setengah terisak.Ale mendesah dan menyugar rambutnya dengan kasar. Selalu saja terjadi pertengkaran setiap Alena menegur Alicia, meski asisten pribadinya itu selalu menegur kekasihnya dengan hati-hati."Alicia, tidak ada yang menganggap dirimu seperti itu! Namun sikapmu sendiri yang membuat orang-orang menganggapmu seperti yang kau pikirkan! Sekarang bergegaslah atau kita akan terlambat!" Ale menyambar jaketnya dan bergegas hendak melangkah meninggalkan ruangan."Terserah kau hendak mengenakan gaun seperti apa! Tetapi jangan mengeluh jika media dan netizen berkomentar negatif!" Ale berhenti sebentar saat melewatinya.Alicia hanya terdiam. Ale meneruskan langkah kakinya dan tidak menghiraukannya lagi. Alicia menghela napas pelan, mencoba meredam emosinya.."Selamat pagi Senor!" Pilot dan co-pilot serta para kru pesawat menyapa Ale dengan ramah."Selamat pagi!" Ale pun tersenyum dengan ramah dan mengajak mereka berbincang sebentar, sebelum duduk di kursinya.Satu hal yang menjadikannya sebagai kesayangan publik adalah sikapnya yang ramah dan perhatian pada orang-orang di sekelilingnya. Ale duduk seorang diri menatap pemandangan dari balik jendela jet pribadinya.Menatap kesibukan di luar sana. Lebih tepatnya dia melamun, membayangkan sesuatu yang tidak pernah bisa diungkapkannya dengan gamblang."Selamat pagi Senora!" Terdengar sapaan ramah para awak jet pribadi nya.Semestinya Alicia-lah yang mereka sapa. Ale menoleh, dan dapat melihat wanita itu diam membisu, mengabaikan sapaan ramah dari para awak pesawat. Dia berjalan dengan mengangkat dagu. Angkuh, itulah kesan yang tertangkap dari gerak-geriknya.Ale menghela napas kasar. Mengusap wajahnya dan akhirnya mengambil kacamata hitamnya dan mengenakannya. Bersedekap tangan dan memasang ea
"Senor, silakan!" Antonio mempersilakan Alejandro Castillo untuk memasuki lift yang akan membawa mereka menuju tempat gala dinner diadakan."Tunggu!" Tiba-tiba seorang wanita berteriak, menahan pintu lift yang hampir tertutup rapat.Antonio segera menyentuh tombol untuk kembali membuka pintu lift lebih lebar."Terima kasih!" Wanita itu mengucapkan terima kasih dalam bahasa inggris yang lancar dan menganggukkan kepalanya dengan sopan padanya setelah masuk ke dalam lift.Antonio hanya mengangguk dan menatapnya datar. Mengawasi gerak-geriknya dari balik kacamata hitamnya. Wanita itu berdiri di sebelah Ale, tanpa memperhatikannya.Bahkan sepertinya dia tidak menyadari siapa pria yang berdiri di sebelahnya. Dia sama sekali tidak tertarik untuk sekadar menoleh apalagi berbasa-basi menyapanya."Dia?" Ale bergumam dalam hati saat menatap wanita yang berdiri di sebelahnya.Rasanya dia tidak asing dengannya. Meski sudah hampir dua puluh tahun lalu, tetapi dia tidak akan pernah lupa pada wanita
"Apa kabarmu, mi amor?" Ale menatap Sasmaya lekat-lekat."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku rasa kau pun baik-baik saja bukan?" Sasmaya tersenyum dan menarik tangannya dari genggaman Ale."Yah, bisa dikatakan aku memang baik-baik saja." Ale mengerjapkan matanya."Kemana kau pergi selama ini? Saat aku pergi ke klub aku tidak menemukan dirimu," lanjutnya."Aku sudah meninggalkan klub setelah bertemu denganmu waktu itu. Aku pikir mereka akan tetap berusaha untuk mendapatkanmu, rupanya itu tidak pernah terjadi bukan?" Sasmaya tersenyum sembari menyibakkan rambutnya yang berkibar tertiup angin malam.Ale menatapnya lagi. Sasmaya masih seperti dalam ingatannya. Sasmaya merupakan gambaran khas wanita asia tenggara. Dengan kulit tidak seputih wanita asia timur, dan postur tubuh tidak seperti wanita Eropa, ditambah dengan rambut keunguannya, dia terlihat mungil seperti boneka."Aku menolak untuk melanjutkan negosiasi jika tidak denganmu. Waktu itu pihak klub beralasan kau tengah
"Aku turun di sini." Sasmaya menyentuh tombol lif bersiap untuk keluar."Tunggu!" Ale menahannya dengan menghadangnya menggunakan lengannya."Ale, biarkan aku pergi," pinta Sasmaya dengan sungguh-sungguh."Aku ikut denganmu," sahut Ale dengan santai.Sasmaya mendesah pelan. Sepertinya kali ini dia tidak dapat melarikan diri dari Alejandro Castillo seperti dua puluh tahun lalu."Baiklah!" Sasmaya mengangguk setuju dengan setengah terpaksa.Ale tersenyum simpul dan memberi isyarat Antonio untuk keluar lebih dahulu. Memastikan tidak ada seseorang yang mengenalinya."Tenang saja, tempat ini aman kok. Tidak akan ada orang-orang yang akan mengganggumu sekalipun mereka mengenalimu." Sasmaya tertawa pelan.Ale turut tertawa dan mengikutinya keluar dari lift. Sasmaya mengeluarkan sebuah kunci elektronik dari tasnya dan menuju ke salah satu jajaran lift yang ada di hadapan mereka.Ale tertegun, saat melihat wanit
"Astaga kemana dia?" Ale terbangun keesokan harinya, dan tak menemukan Sasmaya di sampingnya.Terlintas dalam pikirannya, ini akan menjadi sebuah kisah seperti dalam film atau cerita online. Dia akan kehilangan Sasmaya lagi dan menghabiskan hari-hari selanjutnya untuk mencari keberadaan wanita itu."Sialan!" teriaknya sembari melemparkan bantal ke lantai."Astaga Ale! Ada apa denganmu?" Sasmaya menegurnya.Sasmaya keluar dari kamar mandi, dengan mengenakan bathrobe dan tengah mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk."Aku kira kau sudah pergi." Ale mendesah lega, rupanya wanita itu tengah menyegarkan diri di kamar mandi tadi.Ale beranjak dari tempat tidur dan mendekati kemudian memeluknya dari belakang."Bukankah sudah kukatakan one night stand bukanlah gayaku. Lagipula ini penthouse-ku, untuk apa aku melarikan diri?" Sasmaya tersenyum geli melihat kepanikan yang tersisa di ekspresi pria Spanyol itu."Ma
"Jalan kaki?" Ale menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kenapa? Lelah?" Sasmaya menatapnya, mengerjapkan mata, menggodanya."Lelah? Hei, berlari keliling lapangan selama 90 menit pun biasa saja bagiku apalagi sekadar berjalan kaki. Kau meremehkanku mi amor!" Ale tertawa dan mengacak-acak rambut Sasmaya."Lantas apa yang membuatmu keberatan?" Sasmaya berkacak pinggang di depannya."Aku tidak keberatan tetapi aku rasa dirimu yang akan mengalami masalah." Ale tersenyum tipis."Aku? Bukan masalah bagiku untuk berjalan kaki ke Chinatown. Hanya sekitar 15 menit saja dan tidak melelahkan," sahut Sasmaya masih setengah mendongkol dengan penolakan Ale untuk berjalan kaki menuju Chinatown."Oh, dan keesokan harinya akan muncul foto di halaman terdepan portal berita, Alejandro Castillo menghabiskan harinya di Chinatown dengan seorang wanita yang bukan kekasihnya." Ale menyahut dengan santai sembari terkekeh.Sasmaya membelalakkan
"Kita mampir ke kedai itu!" Sasmaya mengajak Ale memasuki sebuah kedai kopi yang sudah buka.Sebuah kedai kopi khas Singapura. Mereka duduk di sudut dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan jalanan di sekitar kedai yang mulai ramai.Sasmaya memesan Kaya Toast, telur rebus dan teh tarik. Menu sarapan khas warga Singapura."Enak, rotinya tipis dan crispy." Ale berkomentar sambil menatap roti bakar berlapis kaya, selai khas negeri singa yang terbuat dari telur, santan, gula dan daun pandan."Ini sarapan yang penuh gizi," sahut Sasmaya, meraih cangkir teh tariknya."Untukmu! Untukku ini hanya cemilan saja," keluh Ale dengan nada memelas.Sasmaya tertawa dan hampir saja tersedak. Kebutuhan nutrisi mereka berdua memang jauh berbeda. Sebagai seorang atlet, aktivitas Ale jauh lebih bervariasi daripada orang biasa."Nanti kita makan siang di Ann Siang Hill. Di sana lebih banyak pilihannya." Sasmaya tersenyum dan meletakkan k
"Kawasan ini mirip dengan Piccadily di Inggris," gumam Ale setelah beberapa saat memandang sekeliling Trengganu street."Oh ya? Aku belum pernah pergi ke sana," sahut Sasmaya penuh rasa ingin tahu.Sasmaya tahu Ale cukup familiar dengan negeri Ratu Elizabeth itu karena dia pernah bermain di salah satu klub ternama negeri itu. Bahkan sepengetahuannya dia menolak tawaran dari klubnya dan memilih untuk bermain di Inggris.Karirnya melesat bak meteor selama bermain di sana yang membuatnya disejajarkan dengan para pemain yang lebih senior darinya."Trotoarnya lebar dan ada banyak toko, restoran hingga teater di sepanjang jalan, surga bagi para wisatawan untuk berjalan kaki seperti di Piccadily." Ale menjelaskan dengan santai.Sasmaya hanya mengangguk mengerti. Mereka berdua berbincang hingga tiba di restauran tujuan. Gadis pelayan menyambut mereka dengan ramahMereka segera masuk dan duduk di salah satu sudut restauran. Sasmaya mengam