“Aku akan menghubungimu nanti,” ucap Langit ke wanita yang baru saja menemaninya tidur.
“Oke, El. Aku tunggu kabar darimu,” balas wanita berkebangsaan Prancis itu. Dia bahkan memberikan kiss bye ke Langit, padahal ada orang lain di sana.
Joya—Ibu Langit, menatap putranya dengan dada yang bergemuruh. Bisa-bisanya putra yang sangat dibanggakan, malah tidur dengan sembarang wanita. Kedatangannya ke Prancis untuk menjenguk sang putra yang sudah bertahun-tahun tidak pulang ke Indonesia, membuat Joya begitu syok karena melihat putranya tidur dengan wanita yang bukan istrinya.
Stevani berjalan melewati Joya dan melempar seulas senyum, tapi langsung dibalas dengan tatapan sengit oleh wanita yang hampir menginjak umur enam puluh tahunan itu.
Langit dengan santai turun dari ranjang, mengambil kimono tidur berbahan satin dan mengenakan, sambil berjalan ke arah sang mimi yang sangat disayanginya.
“Kenapa Mimi tidak menghubungiku dulu kalau mau datang? Jika Mimi menghubungi, aku tentunya bisa menjemput Mimi di bandara,” ucap Langit dengan santai. Dia hendak mencium pipi sang mimi, tapi wanita itu memilih menghindar.
Joya sangat kesal dengan kelakuan sang putra, kenapa putra yang sangat disayangi dan selalu sopan juga penurut, kini menjadi urak-urakan, bahkan sampai tidur dengan wanita.
Langit terkejut karena miminya menghindar, tapi mencoba mengulas senyum dan memahami kalau Joya pasti terkejut dengan apa yang dilihatnya.
“Sejak kapan kamu seperti ini, El? Apa ini alasan kamu tidak mau pulang? Karena kamu suka seks bebas?” tanya Joya menatap kecewa ke putranya.
Langit mengulas senyum, lantas menjawab, “Tidak juga.”
Pria berumur hampir dua puluh lima tahun itu berjalan melewati Joya menuju ke dapur.
“El, kenapa kamu jadi seperti ini?” tanya Joya dengan bola mata berkaca, tidak rela melihat putra yang dibanggakannya kini menjadi penggila seks.
“Tidak kenapa-napa, ini menyenangkan,” jawab Langit santai. Pria itu menyalakan alat untuk memanaskan air. Dia hendak membuatkan sang mimi minum.
“Bagaimana kabar Mimi dan Papi?” tanya Langit mencoba mengalihkan pembicaraan tentang dirinya ke kondisi kedua orangtuanya.
Delapan tahun bukan waktu yang singkat, Langit meninggalkan Indonesia delapan tahun lalu dan sampai sekarang belum pernah pulang, meski sang mimi terus membujuknya untuk kembali.
“Jangan mengalihkan pembicaraan, El? Mimi syok mengetahui kamu jadi seperti ini. Pergaulan di sini tidak baik untukmu, mimi mau kamu pulang ke Indonesia. Mimi ga mau kamu buang bibit sembarangan ke empang wanita yang ga jelas,” sungut Joya karena merasa ngeri putranya celap-celup sembarangan.
Langit malah tertawa mendengar ucapan Joya. Dia membuatkan teh untuk sang mimi, lantas berjalan ke arah Joya berdiri dan meletakkan cangkir teh di meja serta meminta Joya untuk duduk.
“Bukan empang sembarangan, Mi. Mereka sudah pilihan dan berkualitas,” ujar Langit dengan santainya, membuat tekanan darah Joya langsung naik.
“El!” teriak Joya dengan amarah membuncah karena putranya malah bercanda, dadanya sampai naik turun dan kepalanya mendadak pening karena ucapan putranya.
“Mereka? Kamu benar-benar tidur dengan lebih dari satu wanita?” Emosi Joya semakin meledak-ledak.
Langit terkekeh, lantas menyandarkan kepala di paha Joya. Dia memejamkan mata sambil melipat kedua tangan di dada, sudah sangat lama dia tidak bermanja seperti ini dengan ibunya.
“Kami hanya bersenang-senang, Mi. Tidak ada bibit yang dibuang ke empang sembarangan,” jawab Langit santai. Entah pria itu seolah tidak merasa bersalah meski sudah membuat tekanan darah ibunya naik.
“Bagaimana bisa kamu bilang tidak buang sembarangan, sedangkan kamu sudah melakukannya dengan lebih satu wanita. El, kenapa kamu jadi seperti ini, sayang?” Joya menatap sedih sang putra yang berbaring di pangkuan.
Langit masih memejamkan mata sambil mengulas senyum, kemudian membalas ucapan Joya.
“Kan sudah ditampung, Mi. Jadi nanti dibuang ke tempat sampah,” ucap Langit yang sangat yakin kalau miminya paham dengan apa yang dia maksud.
“Tidak begitu juga, El. Kenapa kamu buang bibit-bibit berkualitasmu ke tempat sampah!” Joya semakin geram kepada putranya.
Langit membuka mata dan melihat sang mimi yang semakin kesal, hingga bangun dari pangkuan Joya dan kini duduk menatap sang mimi.
“Masukin empang salah, buang salah. Terus aku harus bagaimana, Mimi. Apa masukin empang saja, biar nanti jadi cucu buat Mimi?” Bukannya kasihan melihat sang mimi yang kesal, Langit malah menggoda Joya.
“El! Kamu memang mau buat mimi terkena stroke!” Joya bicara dengan dada naik turun tidak beraturan, sungguh emosinya semakin menjadi-jadi bicara dengan Langit.
Langit tertawa melihat sang mimi kesal, hingga kembali berbaring dan berbantal paha sang mimi, tapi kini dengan posisi miring.
“Mi, Mimi datang buat marahin aku? Padahal aku kangen,” ucap Langit dengan nada manja.
Mendengar ucapan Langit, membuat Joya merasa bersalah. Dia sebenarnya datang juga karena rindu, tapi melihat kelakuan putranya, membuat Joya murka.
“Mimi juga kangen kamu. Pulang ya, EL. Mimi sudah semakin tua, kalau ada apa-apa sama mimi, terus ga bersama kamu, apa kamu ga nyesel kalau mimi pergi dan kamu ga bisa lihat mimi yang terakhir kalinya?”
Langit menghela napas kasar mendengar ucapan sang mimi, hingga kemudian berkata, “Mimi sama Papi saja yang pindah ke sini, bukankah sama saja.”
Pulang ke Indonesia, adalah hal yang paling Langit hindari.
“Tidak bisa, kamu saja yang pulang,” tolak Joya, “kamu tidak mau pulang, apa karena takut bertemu dengannya? Kamu seorang pria, El. Jika kamu berani meniduri banyak wanita, seharusnya kamu berani menghadapi masalahmu, El. Jangan terus lari seperti ini.” Joya bicara sambil mengusap rambut Langit.
Langit terdiam mendengar ucapan Joya, benar dia sedang lari dari kenyataan. Kenyataan bertemu dengan gadis yang sangat dicintainya, tapi sudah mematahkan hatinya.
‘Aku mencoba melupakannya, tapi dia terus hadir di setiap malamku, membuatku tak mampu untuk sekadar menghapus namanya dari hatiku.’
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar