Share

Chapter 9

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Elliot menatap Arabelle yang tersenyum aneh.

"Ara merasa aneh aja, Uncle. Kita udah kayak suami istri, tidur di ranjang yang sama," jawab Arabelle terkekeh dengan kedua pipi yang merona.

Sementara Elliot menelan ludah paksa. Tubuhnya tiba-tiba merasa panas dengan wajah yang juga memerah. Darah yang mengalir dalam tubuhnya berdesir hebat. Seolah-olah kata-kata Arabelle barusan seperti mantra.

"Uncle," panggil Arabelle menyentuh bahu sang paman karena melihat pria itu malah melamun dengan wajah memerah. Elliot tersentak, ia seketika salah tingkah dengan bola mata yang melirik kesana-kemari.

"Wajah Uncle kok merah?" tanya Arabelle bingung. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah Elliot. Tindakan yang berhasil membuat Elliot semakin menegang.

"Uncle sakit? Tapi kok ngak panas." Lagi-lagi Arabelle mengoceh sendiri. Dengan cepat, Elliot menarik tangan Arabelle menjauh dari dirinya. Menetralkan ekpresi wajah sebiasa mungkin.

"Sekarang kamu tidur aja, besok, kan mau sekolah. Ini juga sudah larut." Elliot memaksakan senyum di bibirnya, mengalihkan tatapan agar tidak menubruk mata indah gadis itu.

"Oke." Arabelle lansung merebahkan tubuhnya. Mendekap selimut yang menutupi tubuh.

Elliot memposisikan diri di samping Arabelle. Menatap jauh ke atas pada langit-langit kamar. Elliot menarik nafas dalam-dalam. Belum sempat ia menghembuskan nafas. Lagi-lagi ia tersentak kaget saat Arabelle memeluk tubuhnya dengan kepala gadis itu yang berada di dadanya. Posisi yang benar-benar sangat intim.

"Uncle, malam ini Ara tidur sambil peluk Uncle ya?" cicit Arabelle manja sambil mendusel-dusel hidungnya di dada bidang Elliot. Sandaran tersenyaman baginya. Berada di posisi ini dengan memeluk sang paman, membuat ia merasa begitu senang. Entah kenapa, tapi memeluk Elliot selalu candu baginya.

Elliot mengangkat tangannya yang terasa kaku dan keras untuk memeluk tubuh ramping Arabelle. Terasa sulit, tapi tetap ia paksaan agar gadis itu tidur dengan nyaman.

"Hmm, sekarang tidurlah." Elliot mengelus lembut puncak kepala Arabelle.

"Uncle!" panggil Arabelle memainkan kancing baju Elliot.

"Tidurlah, Ra. Besok kamu masuk sekolah," titah Elliot membuat Arabelle sedikit kesal. Ia akan tidur saat sudah mengantuk.

"Iya, aku tahu, tapi aku mau nanyak sesuatu lho, Uncle."

Kening Elliot mengerjit, mendengar hal tersebut. Ia menarik dagu Arabelle untuk mendongak ke arahnya. Dimana wajah mereka begitu dekat, hanya berjarak lima centimeter. Dari jarak sedekat itu, keduanya bisa merasakan hembusan nafas halus satu sama lain.

"Queen itu pacar Uncle?" tanya Arabelle dengan hati-hati. Sebenarnya ia tahu jawabannya, tapi ia ingin dengar lansung dari mulut sang paman.

"Hmm," jawab Elliot dengan deheman. Ada rasa sedikit sesak di dadanya, membuat ia tidak mampu menjawab selain dengan deheman. Arabelle menundukkan wajahnya.

"Apa dia rekan bisnis, Uncle?"

"Tidak, dia model di bawah agency perusahaan Uncle. Dia cantik, kan?" Elliot terkekeh menanyakan pertanyaan konyol itu. Tentu saja, Queenza cantik.

"Iya, dia sangat cantik. Kalian serasi sekali, tapi Uncle dulu bilang kalau perempuan paling cantik di dunia ini aku. Lalu, kenapa sekarang Queen menjadi perempuan yang paling cantik? Jadi, dulu Uncle bohong donk pas bilang gitu ke aku." Arabelle mendengus, entah mengapa ia merasa sedikit tidak suka kalau gadis lain mendapat pujian dari Elliot.

Tawa Elliot pecah. Astaga, keponakannya ternyata benar-banar polos, manja, dan juga sangat pencemburu.

"Ck, ck. Uncle, kan tadi cuma nanyak? Kamu yang jawab. Kok sekarang jadi kamu yang cemburu. Queen suatu hari nanti akan jadi Tante kamu. Istri Uncle."

"Terus nanti Uncle ngak sayang lagi sama aku." Arabelle memberengut kesal. Ia melepas tubuh Elliot dan berbalik memunggungi sang paman.

Elliot menahan senyumnya, tingkah keponakan kecilnya itu benar-benad sangat menggemaskan. Ia ingin sekali mengepal-ngepal Arabelle hingga jadi bola.

Elliot mendekat ke arah Arabelle. Memeluk pinggang gadis itu dari belakang. Mengecup dalam puncak kepala Arabelle yang beraroma bunga melati. Sangat menyegarkan. Arabelle tersenyum senang, ia tahu Elliot pasti akan membujuknya. Sang paman sangat menyayangi dirinya, dan ia tidak sanggup kalau nanti Elliot berhenti perhatian seperti ini.

"Sejak kamu lahir sampai detik ini. Kamu adalah perempuan satu-satunya yang paling cantik. Rambut, pipi gembul, matamu, hidung, bibir, dan dagu. Adalah ciptaaan tuhan yang paling indah. Bagi Uncle, kamu yang paling cantik, lebih dari Queen," puji Elliot jujur dari lubuk hati terdalam. Baginya, Arabelle yang paling cantik di dunia ini, dari dulu maupun sekarang.

Arabelle tersenyum lebar. Ia sangat senang mendengar hal itu dari bibir Elliot. Rasanya, ada jutaan kupu-kupu yang terbang mengelilingi dirinya. Namun, detik berikutnya, ia mengontrol ekspresi senang dengan mengganti ekpresi menjadi wajah pura-pura cemburut. Arabelle berbalik, kini keduanya bisa saling menatap satu sama lain.

"Aku tidak percaya apa yang Uncle bilang barusan. Pasti, di hati Uncle beda. Queen yang paling cantik," cibir Arabelle mengerucutkan bibir.

"Ngak, Ra. Uncle jujur. Kalau kamu ngak percaya kamu bisa belah dada Uncle dan lihat nama siapa yang ada di hati Uncle." Elliot mulai resah karena mengira Arabelle benar-benar marah. Ayolah, ia tidak tahan menghadapi kemarahan gadis itu.

Tawa Arabelle seketika pecah. Kata-kata Elliot benar-benar sangat lucu. Membelah dada pamannya sendiri dan melihat namanya yang terukir di sana. Oh ayolah, kata-kata itu sangat kuno.

"Uncle serius, Ra," ujar Elliot.

"Ara tahu karena Ara milik Uncle."

"Hmm, Arabelle milik Elliot. Aku sangat menyayangimu." Elliot mengecup kening Arabelle penuh kasih sayang.

"Aku juga."

"Sekarang tidurlah, berhenti berbicara."

Arabelle melipat bibirnya dalam-dalam, sebagai isyarat kalau ia tak akan bicara lagi. Ia memeluk tubuh Elliot kembali menenggelamkan dirinya dalam dekapan nyaman sang paman yang menggiring Arabelle masuk ke dunia mimpi.

----------------

Matahari mulai naik ke tahta besar miliknya seperti biasa. Menjalankan tugasnya untuk menyinari setiap sudut bumi. Membangunkan tubuh manusia yang tertidur lelap untuk segera bergegas.

Kring!

Suara jam weaker dalam kamar berwarna biru langit itu melengking begitu nyaring. Membuat Camelia yang bergelung di dalam selimut tebal yang begitu hangat terpaksa bangun dengan wajah mencebik jelek sekaligus kesal. Bagaimana tidak, ia masih sangat mengantuk tapi suara sialan itu membangunkan dirinya.

"Huhh, untung gue inget kalau hari ini gue harus masuk sekolah. Kalau ngak, udah gue lempar lo sampe hancur," omel Camelia sambil menunjuk-nunjuk jam weker yang sudah ia matikan.

"Ra, ayo bangun. Udah pagi ini, kita, kan mau sekolah," ujar Camelia menepuk-nepukkan tangganya ke samping.

"Ra, kok lo diem? Ya elah, lo tidur udah kayak kuda mati." Camelia mencibir dan menoleh ke samping. Menepuk kembali gembungan yang terasa empuk.

"Lah, badan lo kok empuk banget, Ra." Dengan cepat, Camelia menarik selimut dimana netranya seketika membulat. Ternyata, yang ia bangunkan bukan manusia, tapi bantal gulingnya sendiri.

"Wadoh, sejak kapan Arabelle berubah jadi bantal guling gue?" Camelia memekik histeris panik. Ia segera melompat dari ranjang. Berlari keluar menuju kamar Elliot. Arabelle tidak ada dikamar, lantas di mana gadis itu berada?

Dengan wajah panik bercampur cemas serta khawatir. Camelia mendobrak pintu kamar Elliot dengan cepat. Ia ingin beritahu sang kakak kalau keponakan kesayangannya hilang.

Namun, detik berikutnya. Mulut Camelia membulat sempurna melihat pemandangan di dalam kamar Elliot.

"Aaa!"

----------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status