Share

Chapter 8

"Ra!" Suara bass terdengar lembut seketika membuat Arabelle menyeka cepat air matanya. Lalu, berbalik dan mendapati Elliot.

"Uncle belum tidur?" tanya Arabelle basa-basi. Ia menundukkan kepalanya sedikit, menyembunyikan matanya yang sedikit memerah.

"Seharusnya, Uncle yang bertanya seperti itu. Ini sudah malam, kenapa kamu belum tidur?"

"Hhh, aku tidak bisa tidur."

"Karena kamu menangis."

Arabelle terhenyak mendengar ucapan Elliot. Ia sudah berusaha menyembunyikannya, tapi tetap saja pria di depannya ini tahu. Elliot menarik dagu Arabelle. Membuat wajah gadis itu menatap ke arahnya dengan canggung. Kedua tatapan mereka beradu sejenak ditemani cahaya bulan yang bersinar terang.

Waktu seakan berhenti bagi mereka. Dimana satu sama lain enggan memalingkan wajah karena begitu tenggelam dalam tatapan satu sama lain. Rasa sesak yang sudah ditahan Arabelle sekuat tenaga meledak begitu saja saat menatap mata teduh sang paman.

Arabelle dengan cepat memeluk tubuh Elliot begitu erat. Menenggelamkan kepalanya di dada bidang pria itu. Rasa hangat, nyaman, dan terlindungi menyeruak menyelimuti Arabelle. Entah mengapa, sejak dulu ia tak mampu menyembunyikan apapun dari Elliot. Semuanya terlalu sulit dan mustahil untuk disembunyikan.

Elliot memeluk tubuh Arabelle tak kalah erat. Dimana tangannya mengelus lembut puncak kepala gadis itu. Tubuh mungil Arabelle begitu pas dalam dekapannya. Sungguh sangat nyaman dan berbeda. Ia memejamkan kedua matanya rapat-rapat, menikmati sensasi yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

"Uncle El." Arabelle membuka suara.

"Hmm," dehem Elliot sebagai jawaban.

"Makasih udah selalu ada buat Ara."

"Uncle sayang banget sama kamu, Ra. Unlce tahu kamu ngak mudah buat lupain malam itu."

"Iya, setiap malem Ara ngak bisa tidur. Kalau Ara tutup mata, Momy sama Dady dateng dalam keadaan berdarah-darah. Ara takut," jujur Arabelle meremas kemeja Elliot.

"Ara kenapa ngak cerita sama, Uncle?"

"Ara ngak mau ngerepotin Uncle. Uncle udah jaga Ara bahkan Uncle sampe milih tinggal di kota ini."

"Jadi, Ara merasa berhutang budi sama Uncle?"

Arabelle memundurkan tubuh sedikit sehingga ia bisa mendongak menatap wajah Elliot. Pelukan mereka sama sekali tidak terlepas hanya berjarak sedikit untuk saling memandang.

"Ngak gitu kok," sanggah Arabelle. Ekspresi wajah gadis itu berubah menjadi tidak enak. Bukan begitu maksudnya, tapi ia cuma tidak mau merepotkan sang paman.

"Hidup Uncle El ngak semua tentang Ara. Uncle harus kerja, ngurusin Cam, dan juga ngurusin kantor Dady. Ara cuma ngak mau nambah beban Uncle. Dengan Uncle jaga Ara aja, ngasih Ara tempat tinggal, ngasih keluarga baru buat Ara. Itu udah cukup," lanjut Ara menjelaskan apa yang ia rasa.

Elliot tersenyum kecil. Senyum yang membuat Arabelle menelan ludah. Elliot menarik punggung Arabelle hingga mereka kembali berpelukan. Ia menelusupkan dagunya di ceruk bahu gadis itu. Membuat Arabelle semakin nyaman dan mendekap tubuh Elliot semakin erat.

"Ra, hidup Uncle memang semuanya tentang kamu. Mau dulu ataupun sekarang. Kamu adalah prioritas Uncle. Kamu sama sekali bukan beban, tapi ...." Elliot menghentikan ucapannya. Membuat Arabelle menunggu kelanjutan kalimat sang paman.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Elliot tak kunjung menuntaskan kalimatnya. Hal tersebut membuat Arabelle penasaran. Ia mengurai pelukannya. Menatap Elliot dengan tatapan menuntut.

"Tapi apa, Uncle? Kok ngomong setengah-setengah? Ntar anaknya jadi setengah, lho."

Elliot tertawa renyah mendengar penuturan absurd sang keponakan. Ia mengecup kening Arabelle penuh kasih sayang.

"Mana ada anak Uncle jadi setengah-setengah. Ngawur kamu."

"Terus Uncle mau bilang apa tadi?" Arabelle masih menuntut jawaban. Ia mengerucutkan bibirnya ke depan. Membuat Elliot semakin gemas pada keponakan kecilnya itu.

"Kamu ngak bisa tidur, kan. Gimana, kalau malam ini kamu tidur sama Uncle?" tawar Elliot merubah topik pembicaraan. Arabelle menimang-nimang tawaran sang paman. Terdengar seru dan menggiurkan, tapi bagaimana kalau Camelia tidak menemukan ia tidur di kamar, malah menemukan dirinya tidur di kamar Elliot. Bisa-bisa gadis itu berpikir macam-macam.

Klep.

Elliot menjentikkan jarinya di depan wajah Arabelle. Membuat gadis itu terlonjak kaget dengan pikiran yang seketika buyar.

"Kamu tidak mau? Apa sekarang Ara ngak sayang lagi sama Uncle. Padahal dulu, kamu selalu tidur sama Uncle." Elliot memberengut, berpura-pura menunjukkan wajah sedih, yang membuat Arabelle gelegapan.

"Ngak gitu, Uncle. Ara sayang banget sama Uncle," sosor Arabelle cepat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Menyangkal ucapan Elliot barusan.

"Tapi kamu ngak mau tid---"

"Aku mau, mau banget!" pekik Arabelle cepat sebelum Elliot menuntaskan kalimatnya. Elliot tertawa lucu melihat tingkah Arabelle yang lansung gelagapan.

"Ya udah, kita ke kamar?"

"Ngak." Arabelle menjawab cepat membuat Elliot mengerutkan dahi.

"Kalau ngak digendong ngak mau ikut ke kamar," lanjut Arabelle membuat wajah Elliot memerah seperti kepiting rebus.

"Oke, Uncle gendong kamu." Elliot menyetujui permintaan Arabelle dengan perasaan tidak karuan. Gugup, risih, dan tidak enak bercampur menjadi satu. Elliot meletakkan tangannya di punggung serta lutut Arabelle untuk menggendong Arabelle ala bride-style. Akan tetapi, Arabelle mundur satu langkah membuat tangan Elliot mengambang di udara. Elliit menautkan kedua alisnya bingung. Tadi, katanya gadis itu mau digendong, saat ia setuju gadis itu malah mundur. Apa Arabelle berubah pikiran? Oh, bukankah itu bagus.

"Kena---"

Belum sempat Elliot menyelesaikan kalimat tanya yang akan ia ucapkan. Tubuh Arabelle sudah menubruk tubuhnya hingga ia sampai terjengkang ke belakang. Untung, ia bisa menahan tubuhnya yang kini sudah bertambah berat karena Arabelle yang melompat ke dalam gendongannya dengan gaya persis seperti koala.

Arabelle melingkarkan kedua kakinya kuat di pinggang sang paman, dan tangan yang memeluk leher Elliot erat.

"Aku mau gendong kayak gini. Kayak waktu kecil dulu," ucap Arabelle tersenyum antusias. Dimana wajah gadis itu terlihat semakin cantik.

"Untung Uncle ngak jatuh," kekeh Elliot memangku bokong Arabelle agar keponakan kecilnya tidak jatuh. Ia sangat ingat, saat kecil ia sering menggendong Arabelle seperti ini, tapi itu dulu saat tubuh gadis itu masih kecil. Sekarang, tubuhnya sangat besar. Tentu saja, ia sedikit risih. Namun, jika itu keinginan Arabelle, maka ia pasti akan turuti. Elliot berjalan menuju kamarnya.

"Aku ngak yakin bisa tidur malam ini, biarpun sama Uncle," ujar Arabelle memberengut ragu.

"Dulu waktu kecil kamu kalau tidur sama Uncle nyenyak banget. Bahkan, sampe buat sungai ileran sepanjang sungai nil. Sampai-sampai Uncle ikutan berlayar."

"Ihhh, Uncle jangan diingat-ingat terus donk. Sekarang, kan Ara udah besar. Ngak ileran lagi," sungut Arabelle tidak terima. Sungguh, ia sangat malu sekarang.

"Uncle yakin kamu bakal tidur nyenyak malam ini."

"Tapi, nanti kalau Cam tahu kita tidur bareng, gimana? Pasti dia mikir macem-macem."

"Udah, kamu jangan pusingin Cam. Dia pasti ngerti kok."

Elliot membuka pintu kamarnya. Lalu, menutup pintu itu kembali, sebelum beranjak menuju ranjang king-size miliknya. Tak pernah ia bayangkan, dirinya akan tidur lagi bersama Arabella. Keponakan kecil yang sangat ia sayangi. Elliot merebahkan tubuh Arabelle di atas ranjang, membuat Arabelle terkekeh kecil, kemudian Elliot naik ke sisi seberang gadis itu. Menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Elliot menatap Arabelle yang tersenyum aneh.

----------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status